Lingkungan organisasi merupakan variabel yang sangat penting dalam
menentukan strategi bisnis suatu perusahaan. Perubahan lingkungan yang terjadi
mengakibatkan individu, organisasi, dihadapkan pada perubahaan yang dinamis
untuk tetap bertahan dan memiliki inovasi dalam persaingan bisnis (Ellitan,
2008:51). Dalam hal itu secara umum teknik akuntansi manajemen biasanya
tidak memperdulikan buruknya perilaku perusahaan terhadap lingkungan.
Perusahaan-perusahaan yang terintegrasi, multinasional, dan besar cenderung
akan menerapakan Akuntansi Manajemen Lingkungan (AML) dalam proses
akuntansi mereka melalui sejumlah pengidentifikasian terhadap biaya-biaya,
21
proses bisnis maupun proses produksi, produk-produk, dan jasa. Meskipun
sistem akuntansi konvensional yang ada tidak cukup mampu untuk disesuaikan
pada biaya-biaya lingkungan dan sebagai hasilnya hanya mampu menunjukkan
akun untuk biaya umum tak langung (Rustika, 2011:13).
Akuntansi manajemen lingkungan (AML) dikembangkann untuk
berbagai keterbatasan dalam akuntansi manajemen konvensional. Beberapa poin
berikut ini dapat menjadi alasan mengapa dan apa yang dapat diberikan oleh
AML dibandingkan dengan akuntansi manajemen konvensional (Ikhsan, 2009):
1. Meningkatnya tingkat kepentingan ‘biaya terkait lingkungan’. Seiring
dengan meningkatnya kesadaran lingkungan, peraturan terkait
lingkungan menjadi semakin ketat sehingga bisnis harus mengeluarkan
investasi yang semakin besar untuk mengakomodasi kepentingan
tersebut. Jika dulu biaya pengelolaan lingkungan relatif kecil, kini
jumlahnya menjadi cukup signifikan bagi perusahaan. Banyak
perusahaan yang kemudian menyadi potensi untuk meningkatkan
efisiensi muncul dan besarnya biaya lingkungan yang harus ditanggung.
2. Lemahnya komunikasi bagian akuntansi dengan bagian lain dalam
perusahaan. Walaupun keseluruhan perusahaan mempunyai visi yang
sama tentang ‘biaya’, namun tiap-tiap departemen tidak selalu mampu
mengkomunikasikannya dalam bahasa yang dapat diterima oleh semua
pihak. Jika di satu sisi bagian keuangan menginginkan efesiensi dan penekanan biaya, di sisi lain bagian lingkungan menginginkan
tambahan biaya untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Walaupun
ecoefficiency bisa menjadi jembatan antar kepentingan ini, namun kedua
bagian tersebut berbicara dari sudut pandang yang bersebrangan.
3. Menyembunyikan biaya lingkungan dalam pos biaya umum (overhead).
Ketidakmampuan akuntansi tradisional menelusuri dan
menyeimbangakan akuntansi lingkungan dengan akuntansi keuangan
menyebabkan semua biaya dari pengolahan limbah, perizinan dan lainlain digbungkan dalam biaya overhead; sebagai konsekuensinya biaya
overhead menjadi ‘membengkak’.
4. Ketidakpastian alokasi biaya lingkungan sebagai biaya tetap. Karena
secara tradisional biaya lingkungan tersembunyi dalam biaya umum,
pada saat diperlukan, akan menjadi sulit untuk menelusuri biaya
sebenarnya dari proses, produk atau lini produksi tertentu. Jika biaya
umum dianggap tetap, biaya limbah sesungguhnya merupakan biaya
variabel yang mengikuti volume limbah yang dihasilkan berbanding
lurus dengan tingkat produksi.
5. Ketidaktepatan perhitungan atas volume (dan biaya) atas bahan baku
yang terbuang. Berapa sebenarnya biaya limbah? Akuntansi tradisional
akan menghitungnya sebagai biaya pengelolaannya, yaitu biaya
pembuangan atau pengolahan. AML akan mengjhitung biaya limbah
sebagai pengolahan ditambah biaya pembelian bahan baku. Sehingga
23
biaya limbah yang dikeluarkan lebih besar (sebenarnya) daripada biaya
yang selama ini diperhitungkan.
6. Tidak dihitungnya keseluruhan biaya lingkungan yang relevan dan
signifikan dalam catatan akuntansi. Banyak sekali biaya yang terkait
dengan pengelolaan lingkungan yang seharusnya diperhitungkan
dengan benar agar tidak terjadi kesalahan pengambilan keputusan.
Biaya tersebut umumnya meliputi biaya pengelolaan limbah, biaya
material dan energi, biaya pembelian material dan energi dan biaya
proses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar