Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan
kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya
dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis.
Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku
memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan
pilihan rasional.
1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat
sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti
struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum,
permasalahan dan program yang ditonjolkan partai.
2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkan
kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya
pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar
34
belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat
tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.
3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah
pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan
unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.
4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi
psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam
pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini
merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau
keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.
5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai
produk kalkulasi untung rugi.
Yang dipertimbangkan tidak hanya
ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi
hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif
berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan
kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai
wakil rakyat atau pejabat pemerintah.
Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku
memilih sebagai berikut:
1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa
Sunyalangu Kabupaten Banyumas menemukan bahwa
karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai
cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih
warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi
Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai
kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga
daripada program yang ditawarkan OPP.
Faktor alasan
sosiologis berpengaruh besar dalam perilaku memilih
masyarakat.
35
2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan,
profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak
mempengaruhi perilaku memilih.
3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku
memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa
rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai,
budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap
perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat.
4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa
faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan
perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan
faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku
memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas,
penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada
salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai
pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis,
dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku
memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan
Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas
tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih
mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya.
Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi
dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya
orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan
nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan
pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah
menjabat.
Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi
dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang
dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal
adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye
(Rohrscheneider, 2002:367). Ciri khas pemilih ini adalah loyalias
yang tinggi.
Orientasi
policy-problemsoving
Tinggi Pemilih rasional Pemilih kritis
Rendah Pemilih skeptis Pemilih
tradisonal
37
Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak
memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak
menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari
golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput)
dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah,
2008:121-123)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar