Dalam periode kemerdekaan, setelah melalui perjuangan panjang
para pejuang, Indonesia meraih kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945. Peristiwa ini melahirkan babak baru pula bagi sistem
kepenjaraan di Indonesia.
Dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan, beredar surat edaran
yang pertama kali dikeluarkan dalam sejarah kepenjaraan Republik
Indonesia. Tepatnya pada 10 Oktober 1945, bernomor G.8/588, dan
dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman RI yang pertama, Profesor Mr.
Dr. Soepomo.
Profesor Mr. Dr. Soepomo juga memegang pimpinan tertinggi
urusan kepenjaraan RI, sementara pejabat sementara untuk urusan
kepenjaraan sehari-hari dipegang oleh Mr. R.P Notosoesanto, yang
kemudian menjabat Kepala Jawatan Kepenjaraan.
Surat edaran Mentari Kehakiman RI tersebut berisi tentang
serangkaian peraturan baru yang intinya mengatakan bahwa semua
penjara telah dikuasai oleh Republik Indonesia, dan perintah yang
wajib diikuti adalah perintah dari Menteri Kehakiman atau Kepala
Bagian Urusan Penjara. Surat edaran bertanggal 26 Januari 1946 ini
disebut pedoman “Reglemen Penjara”.
Tak luput dibenahi oleh Pemerintah RI adalah mengenai kesehatan
mereka yang terpenjara, mengingat sesama pendudukan Jepang banyak
terpidana mati dalam penjara akibat sakit atau kelaparan. Perlakuan
orang-orang penjara juga mempertimbangkan perikemanusiaan dan
keadilan tanpa pandang bulu (baik orang Indonesia maupun Eropa,
Tionghoa, dan lain-lain).
Sistem dalam kepenjaraan perlahan namun pasti kian diperhatikan,
misalnya soal anak-anak terpenjara, harus tetap diperhatikan soal
pendidikannya. Misalnya dengan pelajaran pekerjaan tangan,
pemberantasan buta huruf, pendidikan rohani, latihan jasmani, latihan
ketrampilan kerja di bengkel-bengkel kerja dengan mulai diberikan
upah atau premi.
Upaya perbaikan terhadap pemasyarakatan terus dilakukan dan
tidak hanya terjadi pada bangsa kita, akan tetapi juga pada bangsabangsa lain. Pada tahun 1933 The International Penal and Penitentiary
Commision (IPPC) (Komisi Internasional Pidana dan Pelaksanaan
Pidana) telah merencanakan dan tahun 1934 mengajukan untuk
29
disetujui oleh The Asembly of The Leaque of Nation (Rapat Umum
Organisasi Bangsa-Bangsa). Naskah IPPC setelah diadakan perbaikanperbaikan dan kemudian pada tahun 1955, disetujui kongres PBB,
yang kita kenal dengan Standart Minimum Rules (SMR) dalam
pembinaan narapidana. Pada tanggal 31 Juli 1957 Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB (Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan
pada pemerintahan dari setiap negara untuk menerima dan
menerapkannya (Sahardjo,2004:34 ).
Pada tanggal 5 Juli 1963 di Istana Negara Republik Indonesia
dalam penganugerahan Doctor Honoris Causa bidang hukum dengan
pidatonya “Pohon Beringin Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan
bahwa tujuan dari pidana penjara adalah “Pemasyarakatan”. Pendapat
DR. Sahardjo, SH tentang mereka yang pernah mendekam di penjara
amatlah mulia “Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan
sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan
pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu
merasa bahwa ia dipandang sebagai manusia”. Gagasan mengenai
Pemasyarakatan tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 27 April
1964 pada Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang,
di kota Bandung. Istilah Kepenjaraan diganti dengan Pemasyarakatan,
saat bersejarah itu akhirnya ditetapkan sebagai hari Pemasyarakatan.
Dalam Konferensi Lembaga dirumuskan sepuluh prinsip-prinsip
pokok yang kemudian disepakati sebagai pedoman, pembinaan
30
terhadap narapidana, prisip-prinsip tersebut dalam subtansinya terlihat
bagaimana cara negara memperlakukan narapidana sangat manusiawi
dengan mengayomi dan memberikan bekal hidup (Dwidja
Priyatno,2006:98).
Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara,
berikan bimbingan bukan penyiksaan agar mereka bertobat,
memberikan pendidikan dan pengajaran kepada narapidana dan anak
didik berdasarkan Pancasila, narapidana dan anak didik harus
diperlakukan sebagai manusia dan lain-lain, prinsip inilah yang
kemudian tereduksi di dalam sistem pemasyarakatan yang kalau dilihat
sangat mengedepankan perlindungan akan hak-hak narapidana, upaya
perlindungan akan hak-hak narapidana tidak sebatas pada retorika
belaka, namun upaya tersebut direalisasikan di dalam Pasal 14 (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar