Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum. Artinya,
negara dalam segala akivitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara
dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan
pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum,
yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum
materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan.
Menurut Jimly Asshiddiqie Ide negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh
dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-19, yang populer pada
saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang KapitalisLiberalis.
Dalam perspektif hukum,
Wilhelm Lunstedt berpendapat:
Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and
the condition which make possible peaceful co-existence of masses of
individuals and social groups and the coorporation for other ends
than more existence and propagation.41
Dalam pemahaman ini, Wilhelm Lunstedt nampak menggambarkan
bahwa untuk mencapai social welfare, yang pertama harus diketahui adalah
apa yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan peradaban
tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunsteds mengenai social
welfare ini hampir sama dengan pendapat Roscou Pound, namun demikian ia
ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan sebagian besar manusia
yaitu ingin hidup dan mengembangkannya secara layak.
Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk
berusaha dengan dalil-dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat
dibuktikan bahwa ketertiban hukum harus didasarkan pada suatu skala nilainilai tertentu, yang tidak dirumuskan dengan rumus-rumus yang mutlak akan
tetapi dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang
berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, dan perubahan
keyakinan bangsa.
Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai
jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Mengenai hal ini, Jurgen Habermas
berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal
pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habermas, jaminan
kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan
atas The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the
breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the
state.
Selanjutnya menurut C.A. Kulp dan John W, resiko-resiko tersebut
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berisiko
fundamental dan kelompok berisiko khusus.43
Dalam negara kesejahteraan, menurut Sentanoe Kertonegoro, kedua
kelompok resiko tersebut harus mendapatkan perhatian untuk diatasi.
Alasannya adalah karena resiko fundamental sifatnya adalah makro kolektif
dan dirasakan oleh seluruh atau sebagaian besar masyarakat sebagaimana
resiko ekonomis. Sedangkan resiko khusus yaitu resiko yang sifatnya lebih
kepada makro individual, sehingga dampaknya dirasakan oleh perorangan
atau unit usaha.
Dengan demikian, dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat
digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar
tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan
sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa
mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam
kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam
konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara
wajib mewujudkan keinginan tersebut.
Dalam konteks ini, negara ada dalam
tahapan sebagai negara kesejahteraan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara
Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para
Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang
akan didirikan adalah “Negara Kesejahteraan” (walvaarstaat) bukan “Negara
Penjaga Malam” (nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara
kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara
Pengurus”.
Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan
rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek
sosial ekonomi.
Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Asshidiqie Konstitusi
Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution)
dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat
dalam konstitusi Negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia,
Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria. Selanjutnya menurut Jimly, sejauh
menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945, nampak
dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada Negaranegara sosialis.
Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab
XIV yang didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin
dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial
sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di
Indonesia. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham
“Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan
Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan
sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism.
Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam
penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial
security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.
Sedangkan menurut Mubyarto, Kedua pasal tersebut merupakan suatu
hubungan kausalitas yang menjadi dasar disahkannya UUD 1945 oleh para
pendiri negara, karena baik buruknya Perekonomian Nasional akan ikut
menentukan tinggi rendahnya Kesejahteraan Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar