Rabu, 20 November 2019

Tinjauan tentang Negara Kesejahteraan (Welfare State) (skripsi dan tesis)

 Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum. Artinya, negara dalam segala akivitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie Ide negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang KapitalisLiberalis. Dalam perspektif hukum,
 Wilhelm Lunstedt berpendapat: Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and the condition which make possible peaceful co-existence of masses of individuals and social groups and the coorporation for other ends than more existence and propagation.41 Dalam pemahaman ini, Wilhelm Lunstedt nampak menggambarkan bahwa untuk mencapai social welfare, yang pertama harus diketahui adalah apa yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan peradaban tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunsteds mengenai social welfare ini hampir sama dengan pendapat Roscou Pound, namun demikian ia ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan sebagian besar manusia yaitu ingin hidup dan mengembangkannya secara layak. 
 Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk berusaha dengan dalil-dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat dibuktikan bahwa ketertiban hukum harus didasarkan pada suatu skala nilainilai tertentu, yang tidak dirumuskan dengan rumus-rumus yang mutlak akan tetapi dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, dan perubahan keyakinan bangsa. Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Mengenai hal ini, Jurgen Habermas berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habermas, jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state. 
Selanjutnya menurut C.A. Kulp dan John W, resiko-resiko tersebut dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berisiko fundamental dan kelompok berisiko khusus.43 Dalam negara kesejahteraan, menurut Sentanoe Kertonegoro, kedua kelompok resiko tersebut harus mendapatkan perhatian untuk diatasi. Alasannya adalah karena resiko fundamental sifatnya adalah makro kolektif dan dirasakan oleh seluruh atau sebagaian besar masyarakat sebagaimana resiko ekonomis. Sedangkan resiko khusus yaitu resiko yang sifatnya lebih kepada makro individual, sehingga dampaknya dirasakan oleh perorangan atau unit usaha.
 Dengan demikian, dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. 
Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebagai negara kesejahteraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang akan didirikan adalah “Negara Kesejahteraan” (walvaarstaat) bukan “Negara Penjaga Malam” (nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara Pengurus”.
Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi. Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Asshidiqie Konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat dalam konstitusi Negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria. Selanjutnya menurut Jimly, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada Negaranegara sosialis.
Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham “Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat. Sedangkan menurut Mubyarto, Kedua pasal tersebut merupakan suatu hubungan kausalitas yang menjadi dasar disahkannya UUD 1945 oleh para pendiri negara, karena baik buruknya Perekonomian Nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya Kesejahteraan Sosial

Tidak ada komentar: