Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan
dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian
hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan
pemisahan kekuasaan dari Montesquieu. Keteraturan masyarakat berkaitan
erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari
kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara
berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan
dalam kehidupan bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai
kepastian hukum itu sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai
kepastian hukum dari beberapa ahli.
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu
adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan
pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta
harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari
kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.
Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya
bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut
Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan
manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu
kurang adil.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M.
Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam
situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan
mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut;
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum
yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya
keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami
sistem hukum .
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan
tidak menyamaratakan .
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan
bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum
dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus
diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan
instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam
mengaktualisasikannya pada hukum positif.
Nusrhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum
dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang
berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri. Persyaratan
internal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kejelasan konsep yang
digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki
kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan.
Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat
atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan
hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang mempunyai
kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan. Artinya
ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan antara satu
dengan yang lain. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan
hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang
dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat
menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan
yang harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8
(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi,
maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain
harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian
antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah
aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan.
Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian
dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum
harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga
siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang
satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang
mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan
kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar