Dalam realitasnya bilamana terdapat hubungan tolak tarik antara
politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena
subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada
hukum. Jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam
kedudukan yang lebih lemah. Dalam hal ini, Lev mengatakan bahwa untuk
memahami sistem hukum di tengah-tengah transformasi politik harus
diamati dari bawah dan dilihat peran sosial politik apa yang diberikan orang
kepadanya. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi
beralasan bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh
politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga dalam
implementasinya. Sri Soemantri pernah menggambarkan hubungan antara
hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang
keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan dengan rel dan politik diibaratkan
dengan lokomotif, maka sering dilihat lokomotif itu keluar dari rel yang
seharusnya dilalui.
Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik dalam berhadapan
dengan hukum, apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf dapat memperjelas
mengapa hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau
identik dengan kekuasaan. Dengan merangkum karya tiga sosiolog yakni
Pareto, Mosca, dan Aron kemudian Dahrendorf mencatat ada enam ciri
kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik. Pertama,
jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai. Kedua,
memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk memelihara dominasinya berupa
kekayaan materiil, intelektual, dan penghormatan moral. Ketiga, dalam
pertentangan selalu terorganisasi lebih baik daripada kelompok yang
ditundukkan. Keempat, kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang
memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elit penguasa
diartikan sebagai elit penguasa dalam bidang politik. Kelima, kelas penguasa
selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada
kelas/kelompoknya sendiri. Keenam, ada reduksi perubahan sosial terhadap
perubahan komposisi kelas penguasa.
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk
politik, maka politik akan sangat menentukan hukum sehingga studi ini
meletakkan politik sebagai variabel bebas dan hukum sebagai variabel
terpengaruh. Dalam kaitan ini, konfigurasi politik suatu negara akan
melahirkan karakter produk hukum tertentu di negara bersangkutan. Di
dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, yaitu susunan sistem
politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara
penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini
ditentukan atas mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Di negara yang
menganut sistem demokrasi atau konfigurasinya demokratis terdapat
pluralitas organisasi di mana organisasi-organisasi penting relatif otonom.
Dilihat dari hubungan antara pemerintah dan wakil rakyat, di dalam konfigurasi politik demokratis ini terdapat kebebasan bagi rakyat melalui
wakil-wakilnya untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah. Sehingga
dengan kondisi ini produk hukumnya berkarakter responsif/populistik.
Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam
proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya
bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu
di dalam masyarakat.
Sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, yaitu
susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat
aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan
kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elite
kekuasaaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka,
dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan
dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta di balik semua
itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. Oleh sebab
itu, dalam konteks ini produk hukumnya berkarakter
ortodoks/konservatif/elitis. Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah
produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi elit politik, lebih
mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni
menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Berlawanan dengan
hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan
kelompok atau individu-individu di dalam masyarakat. Perubahan
konfigurasi politik dari otoriter ke demokrasi atau sebaliknya berimplikasi
pada perubahan karakter produk hukum.
Menurut Bernard L. Tanya, dalam konteks politik hukum hidup
bernegara memiliki core atau pokok pikiran, yaitu demokrasi yang merakyat,
demokrasinya rakyat secara keseluruhan. Sebuah demokrasi substantif, di
mana seluruh rakyat dan kepentingannya menjadi poros penyelenggaraan negara. Dalam demokrasi yang berbasis kerakyatan, tidak diijinkan modelmodel “demokrasi angka” dan juga tidak diperbolehkan hadirnya “demokrasi
lalat”. “Demokrasi angka” ditolak, karena yang dipentingkan bukan
mayoritas minoritas tetapi keseluruhan rakyat. Demikian juga “demokrasi
lalat” ditolak, karena yang dipentingkan adalah hikmat kebijaksanaan.Titik simpul politik hukum dalam hidup bernegara ini adalah pada
keputusan-keputusan menyangkut hidup bernegara. Pertama, sebuah
keputusan haruslah merakyat, dalam arti luas harus merupakan hasil
persetujuan dan berisi kehendak/kepentingan rakyat seutuhnya. Sebuah
keputusan tidak boleh hanya representasi kepentingan golongan tertentu atau
kelompok tertentu. Kedua, keputusan yang merakyat, yang dihasilkan
melalui wakil-wakilnya, harus dijadikan titik tolak bagi seluruh kebijakan
lembaga dan aparatur negara. Ketiga, penentuan isi keputusan mengenai
apapun (baik-buruk dan berhak-tidak berhak), bukan ditentukan oleh selera
wakil-wakil di parlemen dan penyelenggara negara, tetapi oleh rakyat
seutuhnya. Dengan demikian, tugas hukum dalam konteks politik hukum di
bidang ini adalah menjamin dan memastikan bahwa seluruh keputusan dan
kebijakan para wakil di parlemen dan penyelenggara negara keputusan yang
tidak memenuhi kualifikasi merakyat harus ditolak dan batal dengan
sendirinya. Selain itu, pihak yang mengambil keputusan dimaksud harus
diadili dan dihukum karena telah melakukan “kejahatan demokrasi”.
Sejalan dengan pendapat Bernard L. Tanya, Sunaryati Hartono
mengatakan bahwa apabila kita menempatkan hukum sebagai jembatan yang
akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan, maka terlebih dahulu
kita harus mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh
rakyat Indonesia. Setelah kita mengetahui bagaimana bentuk masyarakat
yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia, dapatlah dicari sistem hukum yang
bagaimana yang dapat mewujudkan cita-cita yang dimaksud, dan politik
hukum yang bagaimana yang dapat menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki. Berhubungan dengan bentuk masyarakat yang oleh rakyat
Indonesia, menurut Sunaryati Hartono adalah suatu masyarakat yang adil dan
makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang wajar dan
berperikemanusiaan, yang pada gilirannya tercapai keselarasan, keserasian,
dan ketentraman di seluruh negeri. Sementara itu, terkait dengan sistem
hukum nasional yang dapat mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan
oleh rakyat Indonesia tersebut, menurut Sunaryati Hartono adalah hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, yang akan diwujudkan melalui politik hukum nasional
merupakan sistem hukum yang bersumber dan berakar pada berbagai sistem
hukum yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, yang meliputi sistem
hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Eropa. Dengan
perkataan lain dapat dikatakan bahwa sistem hukum adat, sistem hukum
Islam, dan sistem hukum Eropa merupakan bahan baku pembentukan sistem
hukum nasional yang holistik dan komperhensif melalui politik hukum
nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka seluruh komponen dan unsur-unsur
hukum nasional harus dibangun secara simultan, sinkron, dan terpadu.
Dengan menggunakan pendekatan sistemik tersebut, diharapkan akan
terbentuk dan terwujud sebuah sistem hukum nasional yang holistik dan
komprehensif yang berdasarkan filsafat Pancasila dan jiwa Undang-Undang
Dasar 1945 serta sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan kebutuhan
masyarakat Indonesia di masa yang akan datang.16
Bagir Manan berpendapat bahwa tiada negara tanpa politik hukum.
Politik hukum ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada yang bersifat
temporer. Politik hukum yang bersifat tetap, berkaitan dengan sikap hukum
yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan
hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap, antara lain
a. Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia;
b. Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk
memperkokoh sendi-sendi Pancasila;
c. Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada
warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama.
Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada
kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan
bangsa;
d. Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan
masyarakat;
e. Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai
subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan
dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;
f. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi
masyarakat; dan
g. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum
(keadilan sosial bagi seluruh rakyat), terwujudnya masyarakat
Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya
negara berdasarkan atas hukum dan berkonstitusi.
Politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari
waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk ke dalam kategori ini
hal-hal seperti penentuan prioritas pembentukan peraturan perundangundangan. Penghapusan sisa-sisa peraturan perundang-undangan kolonial,
pembaruan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, penyusunan
peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan
sebagainya. Politik hukum tidak terlepas dari kebijaksanaan di bidang lain.
Penyusunan politik hukum harus diusahakan selalu seiring dengan aspekaspek kebijaksanaan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Namun demikian, setidak-tidaknya ada dua lingkup utama politik hukum,
yaitu:
a. Politik pembentukan hukum; dan
b. Politik penegakan hukum.
Politik penegakan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkutan
dengan pencptaan, pembaharuan, dan pengembangan hukum. Politik
pembentukan hukum mencakup :
a. Kebijaksanaan (pembentukan) peraturan perundang-undangan;
b. Kebijasanaan (pembentukan) hukum yurisprudensi atau putusan
hakim; dan
c. Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar