Hurlock (dalam Betha F & Ahyani R.F, 2011), manifestasi dorongan seksual dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu stimulus yang berada dalam individu berupa bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi. Hormon tersebut dapat menimbulkan dorongan seksual yang menuntut pemuasan. Sedangkan faktor eksternal yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Dorongan eksternal tersebut dapat di peroleh melalui pengalaman berkencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, jenis kelamin, pengaruh orang dewasa, pengaruh buku bacaan dan tontonan porno. Oleh karena itu, stimulus-stimulus yang berasal dari dalam ataupun dari luar individu dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seksual individu yang bersangkutan.
Menurut seksologi Ronosulistyo (dalam Hadi, 2006) remaja merupakan kelompok rentan terhadap rangsangan seksual. Pada fase ini, seseorang sedang berada dalam suatu masa pancaroba hormon yang berbuntut pada tingginya gairah seksual. Menurut Ronosulistyo (dalam Hadi, 2006) faktor-faktor yang menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual pranikah yaitu :
a. Usia
Penelitian Fisgher dan Hall menunjukan bahwa remaja menengah dan remaja akhir, cenderung lebih memiliki sikap permisif dibandingkan remaja awal, dimana cukup besar mempengaruhi sikap mereka tetapi Chilman menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah akan mulai terjadi jika seseorang sudah berusia 16 tahun atau seseorang yang mengalami masa pubertas lebih cepat (dalam Sari, 2008).
b. Jenis Kelamin P
ria cenderung lebih permisif terhadap perilaku seksual pranikah dibandingkan wanita (Faturochman, 1992). Roche (dalam Sari, 2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa pria lebih mementingkan keintiman fisik tanpa memperhatikan keterlibatan emosional dalam hubungan heteroseksual. Sedangkan wanita lebih mementingkan kualitas hubungan sehingga pada wanita keterlibatan emosional mempengaruhi tingkat penerimaan keintiman fisik yang dilakukan pasangannya.
c. Agama
Sekuat-kuatnya mental seseorang remaja agar tidak tergoda dengan pola hidup seks bebas jika remaja terus mengalami godaan dalam kondisi yang bebas dan tidak terkontrol, tentu saja suatu saat akan tergoda pula untuk melakukannya. Godaan semacam ini akan lebih berat lagi bagi re
maja yang memang benteng mental agamanya atau sistem religius yang tidak kuat dalam diri individu.
d. Pendidikan
Pendidikan memiliki hubungan yang significant dan negatif dalam keserbabolehan dalam perilaku seks pranikah (Faturochman,1992). Ini berarti dengan semakin tingginya pendidikan seseorang maka akan semakin tidak permisif terhadap perilaku seks pranikah. Di barat kenyatannya yang terjadi justru sebaliknya, tingkat pendidikan cenderung significant dan positif terhadap perilaku seks pranikah.
e. Kelas Sosial
Secara umum kelas sosial dianggap permisif terhadap perilaku seksual pranikah. Pada kenyataannya (Reiss dalam Sari, 2008) menemukan bahwa pada kelas sosial ekonomi bawah, menengah, dan atas dari segmen konservatif, maka kelas bawah justru lebih konservatif.
f. Ketidakhadiran Orang Tua
Jika ada remaja yang sampai melakukan perilaku seks pranikah, itu hanya karena bebasnya pergaulan dan mungkin dari faktor bimbingan atau pola asuh orang tua dirumah yang tidak peduli atau tidak terbuka untuk membicarakan seks pada anaknya. Padahal disaat ini pergaulan di dunia remaja semakin bebas. Pada keluarga yang tinggal di kota besar, sudah merupakan suatu pola kehidupan yang dimana ayah dan ibu bekerja.
g. Pengalaman Pacaran ( Hubungan Afeksi)
Individu yang pernah menjalin hubungan afeksi atau berpacaran dari umur yang lebih dini, cenderung permisif terhadap perilaku seks pranikah. Begitu juga dengan halnya dengan individu yang telah banyak berpacaran dengan individu yang berusia sebaya dengannya.
Staples (dalam Fatturochman,1992) menyebutkan bahwa pengalaman berpacaran dapat menyebabkan seseorang permisif terhadap perilaku seks pranikah. Sarwono (2013) menyimpulkan bahwa masalah seksualitas timbul karena adanya faktor-faktor berikut :
a. Meningkatnya libido seksual Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas). Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b. Penundaan usia perkawinan
Penyaluran tidak dapat dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan usia menikah (16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria), maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain).
c. Tabu larang
Norma-norma agama tetap berlaku dimana seorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangan berkembang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku lain seperti berciuman dan masturbasi.
d. Kurangnya informasi tentang seks
Individu pada umumnya belum mengetahui secara pasti mengenai masalah seksual secara lengkap. Hal ini justru membuat rasa ingin tahu individu terhadap seksual semakin meningkat, akhirnya hal tersebut mendorong individu untuk mendapatkan informasi yang tidak terkontrol dari media masa.
e. Kurangnya komunikasi antara orangtua dengan anak. Sulit bagi orangtua untuk membicarakan mengenai seksualitas terhadap anaknya. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan orangtua maupun karena sikap yang tidak terbuka dan masih mentabukan untuk pembicaraan mengenai seks. f. Pergaulan bebas Di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita
Menurut seksologi Ronosulistyo (dalam Hadi, 2006) remaja merupakan kelompok rentan terhadap rangsangan seksual. Pada fase ini, seseorang sedang berada dalam suatu masa pancaroba hormon yang berbuntut pada tingginya gairah seksual. Menurut Ronosulistyo (dalam Hadi, 2006) faktor-faktor yang menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual pranikah yaitu :
a. Usia
Penelitian Fisgher dan Hall menunjukan bahwa remaja menengah dan remaja akhir, cenderung lebih memiliki sikap permisif dibandingkan remaja awal, dimana cukup besar mempengaruhi sikap mereka tetapi Chilman menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah akan mulai terjadi jika seseorang sudah berusia 16 tahun atau seseorang yang mengalami masa pubertas lebih cepat (dalam Sari, 2008).
b. Jenis Kelamin P
ria cenderung lebih permisif terhadap perilaku seksual pranikah dibandingkan wanita (Faturochman, 1992). Roche (dalam Sari, 2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa pria lebih mementingkan keintiman fisik tanpa memperhatikan keterlibatan emosional dalam hubungan heteroseksual. Sedangkan wanita lebih mementingkan kualitas hubungan sehingga pada wanita keterlibatan emosional mempengaruhi tingkat penerimaan keintiman fisik yang dilakukan pasangannya.
c. Agama
Sekuat-kuatnya mental seseorang remaja agar tidak tergoda dengan pola hidup seks bebas jika remaja terus mengalami godaan dalam kondisi yang bebas dan tidak terkontrol, tentu saja suatu saat akan tergoda pula untuk melakukannya. Godaan semacam ini akan lebih berat lagi bagi re
maja yang memang benteng mental agamanya atau sistem religius yang tidak kuat dalam diri individu.
d. Pendidikan
Pendidikan memiliki hubungan yang significant dan negatif dalam keserbabolehan dalam perilaku seks pranikah (Faturochman,1992). Ini berarti dengan semakin tingginya pendidikan seseorang maka akan semakin tidak permisif terhadap perilaku seks pranikah. Di barat kenyatannya yang terjadi justru sebaliknya, tingkat pendidikan cenderung significant dan positif terhadap perilaku seks pranikah.
e. Kelas Sosial
Secara umum kelas sosial dianggap permisif terhadap perilaku seksual pranikah. Pada kenyataannya (Reiss dalam Sari, 2008) menemukan bahwa pada kelas sosial ekonomi bawah, menengah, dan atas dari segmen konservatif, maka kelas bawah justru lebih konservatif.
f. Ketidakhadiran Orang Tua
Jika ada remaja yang sampai melakukan perilaku seks pranikah, itu hanya karena bebasnya pergaulan dan mungkin dari faktor bimbingan atau pola asuh orang tua dirumah yang tidak peduli atau tidak terbuka untuk membicarakan seks pada anaknya. Padahal disaat ini pergaulan di dunia remaja semakin bebas. Pada keluarga yang tinggal di kota besar, sudah merupakan suatu pola kehidupan yang dimana ayah dan ibu bekerja.
g. Pengalaman Pacaran ( Hubungan Afeksi)
Individu yang pernah menjalin hubungan afeksi atau berpacaran dari umur yang lebih dini, cenderung permisif terhadap perilaku seks pranikah. Begitu juga dengan halnya dengan individu yang telah banyak berpacaran dengan individu yang berusia sebaya dengannya.
Staples (dalam Fatturochman,1992) menyebutkan bahwa pengalaman berpacaran dapat menyebabkan seseorang permisif terhadap perilaku seks pranikah. Sarwono (2013) menyimpulkan bahwa masalah seksualitas timbul karena adanya faktor-faktor berikut :
a. Meningkatnya libido seksual Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas). Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b. Penundaan usia perkawinan
Penyaluran tidak dapat dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan usia menikah (16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria), maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain).
c. Tabu larang
Norma-norma agama tetap berlaku dimana seorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangan berkembang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku lain seperti berciuman dan masturbasi.
d. Kurangnya informasi tentang seks
Individu pada umumnya belum mengetahui secara pasti mengenai masalah seksual secara lengkap. Hal ini justru membuat rasa ingin tahu individu terhadap seksual semakin meningkat, akhirnya hal tersebut mendorong individu untuk mendapatkan informasi yang tidak terkontrol dari media masa.
e. Kurangnya komunikasi antara orangtua dengan anak. Sulit bagi orangtua untuk membicarakan mengenai seksualitas terhadap anaknya. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan orangtua maupun karena sikap yang tidak terbuka dan masih mentabukan untuk pembicaraan mengenai seks. f. Pergaulan bebas Di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar