Scott (2003) dalam Wardhani dan Joseph (2010)
mendefinisikan bahwa manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan melalui
pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu, misalnya untuk
memenuhi kepentingan sendiri atau meningkatkan nilai pasar perusahaan mereka.
Serta membagi cara pemahaman atas mnajemen laba menjadi dua. Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitisnya
dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (biaya politik). Kedua, dengan memandang manajemen
laba dari perspektif efficient
contracting (kontrak efisien). Manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham
perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba
sepanjang waktu.
Menurut Sugiri (1998) dalam Ningsaptiti (2010) membagi
definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:
a. Definisi
sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya
berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit
ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan
besarnya laba.
b. Definisi
luas
Manajemen laba merupakan tindakan
manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas
suatu unit usaha dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan
peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.
Dalam menyiapakan laporan mungkin manajer dapat
memindah laba antar perioda pada saat sebagian laba ekonomi diketahui sebagai
laba akuntansi dalam laporan keuangan. Perpindahan tersebut dapat dicapai
melalui pengakuan biaya pensiun, penyesuaian penaksiran umur ekonomis
perusahaan, dan penyesuaian penghapusan piutang. Jika manajer tidak dapat
memindah laba antar perioda maka laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan sama
dengan laba ekonomi pada setiap perioda (Isnanta, 2008).
Dalam positif accounting
theory (teori
akuntansi positif) terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya
manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986 dalam Isnanta, 2008), yaitu:
a. Bonus
Plan Hypothesis (hipotesis rencana bonus)
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan
utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus
besar berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan. Dalam suatu perusahaan yang memiliki rencana
pemberian bonus, maka seorang manajer perusahaan akan melakukan penaikan laba
saat ini yakni dengan memilih metode akuntansi yang mampu menggeser laba dari
masa depan ke masa kini. Tindakan ini dilakukan dikarenakan manajer termotivasi
untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk masa kini.
Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk
mendapatkan bonus) dan cap (tingkat
laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey,
maka tidak akan ada bonus yang diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di
atas cap, maka manajer juga tidak
akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil
laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya,
begitu pula sebaliknya. Jadi manajer hanya akan menaikkan laba bersih
perusahaan hanya jika laba bersih berada di antara bogey dan cap.
b. Debt Covenant Hypothesis
(hipotesis perjanjian hutang)
Dalam suatu perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity (hutang terhadap ekuitas)
cukup tinggi, maka akan mendorong manajer perusahaan untuk cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba.
Perusahaan dengan rasio debt to equity
yang tinggi akan berakibat menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan
dari pihak kreditor dan bahkan perusahaan dapat terancam melanggar perjanjian
utang.
c. Political Cost Hypothesis (hipotesis
biaya politik)
Dalam suatu perusahaan besar yang memiliki biaya
politik tinggi, akan mendorong manajer untuk memilih metode akuntansi yang
menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa
mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Adanya biaya politik
dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media
dan konsumen. Agency theory terdapat
asumsi bahwa setiap individu semata mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri
sehingga akan dapat menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.
Sedangkan pemegang saham sebagai pihak principal tentu akan mengadakan kontrak
dengan tujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya sendiri yakni supaya
profitabilitas yang selalu meningkat. Seorang manajer dalam perusahaan berindak
sebagai agent dan cenderung akan
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya sendiri
yang antara lain seperti dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak
kompensasi.
Scott (2000) yang dikutip dalam Setiyawan (2011)
menyatakan bahwa terdapat beberapa pola dalam manjemen laba, yaitu:
a. Taking a Bath
Taking
a bath terjadi pada saat reorganisasi seperti pengangkatan CEO baru. Teknik ini mengakui adanya
biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan
sehingga mengharuskan manajemen membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang
akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi.
b. Income
Minimazation
Dilakukan pada saat perusahaan
pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika
laba periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan
mengambil laba periode sebelumnya.
c. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba
menurun. Tindakan atas income
maximization bertujuan untuk melaporkan net
income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan
oleh perusahaan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka
panjang.
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan
cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba
yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai laba yang relatif
stabil.
Scott (2000) dalam Setyantomo (2011) mengemukakan
beberapa motivasi terjadinya mnajemen laba:
a. Bonus Purpose
Manajer yang memiliki
informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk melakukan laba
dengan memaksimalkan laba saat ini.
b. Political Motivations
Manajemen laba digunakan untuk
mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan
pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
c. Taxation Motivations
Motivasi penghematan pajak
menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi
digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
d. Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung
menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka dan jika kinerja
perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak
diberhentikan.
e. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki harga pasar
sehingga perlu menetapkan nilai saham yang akan ditawarkan. Hal ini menyebabkan
manajer perusahaan yang go public
melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas
sahamnya.
f. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi mengenai kinerja
perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu
disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja
yang baik.
Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im
(2000) dalam Setiyawan (2011) dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu:
a. Memanfaatkan Peluang Untuk Membuat Estimasi Akuntansi.
Cara manajemen mempengaruhi
laba melalui judgement (perkiraan)
terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih,
estimasi biaya garansi, amortisasi aktiva tak berwujud, dan lain-lain.
b. Mengubah Metode Akuntansi.
Perubahan metode akuntansi
yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: mengubah metode
depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode
depresiasi garis lurus.
c. Menggeser Periode Biaya atau Pendapatan.
Sebagai contoh rekayasa
periode biaya atau pendapatan antara lain, yaitu: mempercepat atau menunda
pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat
atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, menunda
atau mempercepat pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva
tetap yang sudah tak dipakai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar