Jumat, 16 Desember 2016

Proses Penandatangan Kebijakan FLEGT VPA oleh Uni Eropa dan Indonesia (skripsi dan tesis)

    
FLEGT ( Forest Law Enforcement, Governance and Trade) adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra. FLEGT dibangun di atas penegakan hukum kehutanan daerah sebelumnya dan tata kelola (FLEG). Kantor pusat FLEGT ( Forest Law Enforcement, Governance and Trade)  adalah di Barcelona, Spanyol;  dengan kantor tambahan di Brussels Belgia, Joensuu Finlandia dan Kuala Lumpur Malaysia.
Secara umum proses penandatangan telah dimuat dalam panduan FLEGT VPA itu sendiri, yaitu[1]:
Tahap 1: Informasi dan konsensus bangunan
Jika sinyal negara penghasil kayu yang tertarik VPA dan meminta informasi lebih lanjut, Uni Eropa dan mitra-mitranya menyediakan bahan-bahan. Mereka juga tersedia untuk bertukar dan berbagi informasi tentang VPA dengan perwakilan negara dan pemangku kepentingan. Berdasarkan informasi yang diterimanya, pemerintah kemudian menilai apakah VPA akan menjadi tepat, dengan masukan dari sektor swasta dan masyarakat sipil. Fase ini berakhir baik ketika negara penghasil kayu dan Uni Eropa sepakat untuk memulai negosiasi VPA formal, atau ketika negara penghasil kayu memutuskan bahwa VPA tidak akan sesuai untuk situasi tersebut.
Tahap 2: Negosiasi Formal
Kesepakatan harus dicapai pada isi VPA selama fase ini. Uni Eropa dan negara bernegosiasi membahas rincian dari sistem jaminan legalitas dan komitmen tata kelola hutan yang akan dimasukkan dalam lampiran teks hukum perjanjian. Persyaratan sistem jaminan legalitas adalah bahwa itu adalah hasil dari yang inklusif, proses multipihak. Untuk mendapatkan di negara konsensus, negara negosiasi mengembangkan dan menyelenggarakan proses konsultasi yang memungkinkan para pemangku kepentingan hutan untuk memberikan masukan. Ini posisi di negara tersebut kemudian dibahas dengan Uni Eropa selama negosiasi.
 Tahap 3: Ratifikasi dan Implementasi
Setelah penandatangan, VPA harus diratifikasi oleh lembaga legislatif baik pemerintah negara mitra dan Uni Eropa. Pertama, VPA diterjemahkan ke dalam 24 bahasa resmi Uni Eropa, dan kemudian ditandatangani oleh Dewan Uni Eropa (wakil dari Dewan Kepresidenan), Komisi Eropa dan legislatif dari negara mitra. Parlemen Eropa kemudian menyetujui perjanjian. Setelah ratifikasi, keputusan Dewan diterbitkan.
Tidak semua negara memiliki sistem di tempat yang memungkinkan mereka untuk mulai mengendalikan, memverifikasi dan segera lisensi kayu legal, sehingga negara mitra dapat mulai mengembangkan sistem yang disepakati dalam VPA sebelum ratifikasi. Selama pengembangan sistem, negara mitra menempatkan di tempat sistem jaminan legalitas, membangun kapasitas dan upgrade atau mengembangkan prosedur baru.
Negara mitra menggunakan auditor independen untuk memeriksa bahwa sistem jaminan legalitas beroperasi dengan benar dan bahwa sistem verifikasi bekerja. Komite Pelaksanaan Gabungan, yang terdiri dari wakil-wakil dari negara mitra dan Uni Eropa, bertanggung jawab untuk pengawasan dan penyelesaian sengketa selama pengembangan sistem ini dan tahap implementasi.


Tahap 4: Perizinan
Selama fase perizinan, setiap pengiriman kayu atau produk kayu dari negara mitra ke Uni Eropa harus disertai dengan lisensi FLEGT. Lisensi menyatakan bahwa pengiriman ini hukum sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam VPA. Pengiriman tanpa izin akan ditolak di perbatasan Uni Eropa.
Hal sama berlaku untuk penantangan FLEGT VPA anatar Uni Eropa dan Indonesia yang di dasarkan pada 4 tahap di atas (Tahap 1: Informasi dan konsensus bangunan, Tahap 2: Negosiasi Formal, Tahap 3: Ratifikasi dan Implementasi dan Tahap 4: Perizinan. Namun apabila merunut kerjasama yang dilakukan antara Uni Eropa dan Indonesia maka FLEGT VPA sebenarnya diawali oleh penetapan kebijakan mengenai forest law dimana pada tahun 1980, berbagai negara di Eropa  telah melakukan berbagai kebijakan seperti gerakan internasional yang kuat untuk menyelamatkan hutan tropis, termasuk ide untuk memboikot produk-produk kayu dari hutan tropis. Pada kenyataannya, gerakan ini tidak efektif karena dipegaruhi oleh berbagai hal yaitu (1) kekuatan hukum yang belum mengikat baik pembeli dari negara-negara Eropa sehingga gerakan ini tidak memenuhi tujuannnya untuk menyelematkan hutan tropis (2) gerakan ini tidak memberikan tekanan bagi pemerintah yang mengekspor hutan kayu tropis seperti Indonesia untuk lebih memperhatikan kebijakan mengenai penyelamatan hutan tropis. Oleh karenanya negara-negara Eropa akhirnya mempertimbangkan untuk menggunakan  cara lain dalam menyelamatkan hutan tropis. [2]
Pada tahun 1993, arah kebijakan Uni Eropa menyelamatkan hutan tropis yang semula dengan gerakan boikot kemudian digantikan dengan berbagai kerjasama. Khususnya untuk Indonesia maka dilakukan kerjasama dengan bentuk kelompok kerja di Indonesia memprakarsai pembangunan sertifikasi kayu berkelanjutan pertama. Pada tahun 1998 kemudian terbentuklah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang dipimpin oleh Profesor Emil Salim (mantan Menteri Lingkungan Hidup). [3]
Untuk Indonesia, sejak tahun 2003 para pemangku kepentingan mulai mengupayakan suatu definisi legalitas yang akan digunakan untuk mengaudit unit usaha kehutanan. Pada awalnya proses ini dipimpin oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dan LSM lingkungan hidup seperti Telapak, Environmental Investigation Agency (EIA), dan The Nature Conservancy (TNC), dengan masukan dari berbagai organisasi seperti The Forest Trust dan Tropical Forest Foundation. Telapak khususnya memainkan peran penting dalam menyusun masukan dan menghimpun dukungan dari berbagai LSM setempat yang berbasis di daerah.[4]
Pada perkembangannya, bentuk kerjasama secara kelembagaan ini menunjukkan adanya pengaruh lebih baik sehingga mengarahkan Uni Eropa untuk melakukan adopsi dari bentuk kerjasama ini lebih lanjut. Partisipasi dalam mengembangkan definisi legalitas semakin luas sejak tahun 2006 sampai 2008 dengan melibatkan pemerintah dan industri di tingkat nasional maupun provinsi. Pada bulan Desember 2008 tim kerja multi-pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai fasilitator proses, serta dukungan Dewan Kehutanan Nasional, secara formal menyerahkan kepada pemerintah suatu standar legalitas dan usulan sistem jaminan legalitas. Pemerintah dan suatu tim kecil yang merupakan kelompok pemangku kepentingan selanjutnya mempersiapkan usulan tersebut menjadi peraturan yang pada akhirnya disahkan pada bulan Juni 2009. Indonesia dan UE memulai perundingan VPA pada bulan Januari 2007 tetapi barulah setelah bulan Juli 2009 dialog semakin intensif setelah diselesaikannya sistem jaminan legalitas kayu Indonesia (TLAS). Sejak Maret 2007 sampai April 2011 telah diadakan tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group), tujuh Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert Meeting) dan delapan Konferensi Video untuk menyelesaikan dan menyepakati teks VPA serta lampiran-lampirannya.  [5]
FLEGT-VPA akhirnya ditandatangani oleh UE dan Indonesia pada tanggal 30 September 2013 di Brussels setelah beberapa kali mengalami kemunduran. Sedangkan ratifikasi untuk kerjasama oleh Parlemen Eropa baru terealisasi pada tanggal 27 Februari 2014 di Strasbourg, Prancis. Dengan demikian kerjasama ini telah resmi mengikat secara hukum bagi UE dan Indonesia
 Pada setiap tahap proses perancangan dan perundingan, representasi dari kelompok masyarakat sipil, asosiasi hutan dan industri kayu maupun berbagai kementerian terkait lainnya telah dapat berhubungan secara langsung dengan Kementerian Kehutanan serta memberi kontribusi kepada perundingan dengan UE melalui berbagai bentuk dan ruang dialog yang diuraikan di atas. Di berbagai tahap, pemerintah telah memimpin konsultasi publik di berbagai daerah dengan mengundang para wakil industri di daerah, pemerintah dan masyarakat sipil untuk memberi komentar mengenai sistem yang sedang berkembang. Dialog nasional mencakup serangkaian yang terdiri atas 12 program di radio nasional , dengan panggilan telepon kepada para pejabat, masyarakat sipil, sektor swasta dan termasuk sebuah siaran langsung dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dan Duta Besar UE Hasil akhirnya adalah sebuah sistem jaminan legalitas nasional dan VPA yang mendapat dukungan luas dari semua pemangku kepentingan Indonesia.[6]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa  proses penetapan kebijakan FLEGT VPA oleh Uni Eropa di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan tahaan yang sudah termuat dalam FLEGT VPA sendiri. Namun dalam pelaksanaanya terdapat beberapa kali perubahan yang berbeda dalam hal target waktu. Proses peneapan kebijakan FLEGT VPA dimulai pada bulan Desember 2008 dengan adanya tim kerja multi-pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai fasilitator proses, serta dukungan Dewan Kehutanan Nasional. Dalam proses tersebut secara formal menyerahkan kepada pemerintah suatu standar legalitas dan usulan sistem jaminan legalitas. Pada bulan Juli 2009 dialog semakin intensif setelah diselesaikannya sistem jaminan legalitas kayu Indonesia (TLAS). Sejak Maret 2007 sampai April 2011 telah diadakan tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group), tujuh Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert Meeting) dan delapan Konferensi Video untuk menyelesaikan dan menyepakati teks VPA serta lampiran-lampirannya. 



Tidak ada komentar: