FLEGT ( Forest Law
Enforcement, Governance and Trade) adalah perjanjian
bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan
tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa
kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan
perundangan negara mitra. FLEGT dibangun di atas penegakan hukum kehutanan
daerah sebelumnya dan tata kelola (FLEG). Kantor pusat FLEGT ( Forest Law
Enforcement, Governance and Trade) adalah di Barcelona, Spanyol; dengan kantor tambahan di Brussels Belgia, Joensuu
Finlandia dan Kuala Lumpur Malaysia.
Secara umum
proses penandatangan telah dimuat dalam panduan FLEGT VPA itu sendiri, yaitu[1]:
Tahap
1: Informasi dan konsensus bangunan
Jika
sinyal negara penghasil kayu yang tertarik VPA dan meminta informasi lebih
lanjut, Uni Eropa dan mitra-mitranya menyediakan bahan-bahan. Mereka juga
tersedia untuk bertukar dan berbagi informasi tentang VPA dengan perwakilan
negara dan pemangku kepentingan. Berdasarkan informasi yang diterimanya,
pemerintah kemudian menilai apakah VPA akan menjadi tepat, dengan masukan dari
sektor swasta dan masyarakat sipil. Fase ini berakhir baik ketika negara
penghasil kayu dan Uni Eropa sepakat untuk memulai negosiasi VPA formal, atau
ketika negara penghasil kayu memutuskan bahwa VPA tidak akan sesuai untuk
situasi tersebut.
Tahap
2: Negosiasi Formal
Kesepakatan
harus dicapai pada isi VPA selama fase ini. Uni Eropa dan negara bernegosiasi
membahas rincian dari sistem jaminan legalitas dan komitmen tata kelola hutan
yang akan dimasukkan dalam lampiran teks hukum perjanjian. Persyaratan sistem
jaminan legalitas adalah bahwa itu adalah hasil dari yang inklusif, proses
multipihak. Untuk mendapatkan di negara konsensus, negara negosiasi
mengembangkan dan menyelenggarakan proses konsultasi yang memungkinkan para
pemangku kepentingan hutan untuk memberikan masukan. Ini posisi di negara
tersebut kemudian dibahas dengan Uni Eropa selama negosiasi.
Tahap 3: Ratifikasi dan Implementasi
Setelah
penandatangan, VPA harus diratifikasi oleh lembaga legislatif baik pemerintah
negara mitra dan Uni Eropa. Pertama,
VPA diterjemahkan ke dalam 24 bahasa resmi Uni Eropa, dan kemudian
ditandatangani oleh Dewan Uni Eropa (wakil dari Dewan Kepresidenan), Komisi
Eropa dan legislatif dari negara mitra. Parlemen Eropa kemudian menyetujui
perjanjian. Setelah ratifikasi, keputusan Dewan diterbitkan.
Tidak
semua negara memiliki sistem di tempat yang memungkinkan mereka untuk mulai
mengendalikan, memverifikasi dan segera lisensi kayu legal, sehingga negara
mitra dapat mulai mengembangkan sistem yang disepakati dalam VPA sebelum
ratifikasi. Selama pengembangan sistem, negara mitra menempatkan di tempat
sistem jaminan legalitas, membangun kapasitas dan upgrade atau mengembangkan prosedur
baru.
Negara
mitra menggunakan auditor independen untuk memeriksa bahwa sistem jaminan
legalitas beroperasi dengan benar dan bahwa sistem verifikasi bekerja. Komite
Pelaksanaan Gabungan, yang terdiri dari wakil-wakil dari negara mitra dan Uni
Eropa, bertanggung jawab untuk pengawasan dan penyelesaian sengketa selama
pengembangan sistem ini dan tahap implementasi.
Tahap
4: Perizinan
Selama
fase perizinan, setiap pengiriman kayu atau produk kayu dari negara mitra ke
Uni Eropa harus disertai dengan lisensi FLEGT. Lisensi menyatakan bahwa
pengiriman ini hukum sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam VPA.
Pengiriman tanpa izin akan ditolak di perbatasan Uni Eropa.
Hal sama berlaku
untuk penantangan FLEGT VPA anatar Uni Eropa dan Indonesia yang di dasarkan
pada 4 tahap di atas (Tahap 1: Informasi dan konsensus bangunan, Tahap 2:
Negosiasi Formal, Tahap 3: Ratifikasi dan Implementasi dan Tahap 4: Perizinan.
Namun apabila merunut kerjasama yang dilakukan antara Uni Eropa dan Indonesia
maka FLEGT VPA sebenarnya diawali oleh penetapan kebijakan mengenai forest law
dimana pada tahun 1980, berbagai negara di Eropa telah melakukan berbagai kebijakan seperti
gerakan internasional yang kuat untuk menyelamatkan hutan tropis, termasuk ide
untuk memboikot produk-produk kayu dari hutan tropis. Pada kenyataannya,
gerakan ini tidak efektif karena dipegaruhi oleh berbagai hal yaitu (1)
kekuatan hukum yang belum mengikat baik pembeli dari negara-negara Eropa
sehingga gerakan ini tidak memenuhi tujuannnya untuk menyelematkan hutan tropis
(2) gerakan ini tidak memberikan tekanan bagi pemerintah yang mengekspor hutan
kayu tropis seperti Indonesia untuk lebih memperhatikan kebijakan mengenai
penyelamatan hutan tropis. Oleh karenanya negara-negara Eropa akhirnya mempertimbangkan
untuk menggunakan cara lain dalam
menyelamatkan hutan tropis. [2]
Pada tahun 1993,
arah kebijakan Uni Eropa menyelamatkan hutan tropis yang semula dengan gerakan
boikot kemudian digantikan dengan berbagai kerjasama. Khususnya untuk Indonesia
maka dilakukan kerjasama dengan bentuk kelompok kerja di Indonesia memprakarsai
pembangunan sertifikasi kayu berkelanjutan pertama. Pada tahun 1998 kemudian
terbentuklah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang dipimpin oleh Profesor Emil
Salim (mantan Menteri Lingkungan Hidup). [3]
Untuk Indonesia,
sejak tahun 2003 para pemangku kepentingan mulai mengupayakan suatu definisi
legalitas yang akan digunakan untuk mengaudit unit usaha kehutanan. Pada
awalnya proses ini dipimpin oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dan LSM
lingkungan hidup seperti Telapak, Environmental
Investigation Agency (EIA), dan The
Nature Conservancy (TNC), dengan masukan dari berbagai organisasi seperti
The Forest Trust dan Tropical Forest Foundation. Telapak khususnya memainkan
peran penting dalam menyusun masukan dan menghimpun dukungan dari berbagai LSM
setempat yang berbasis di daerah.[4]
Pada
perkembangannya, bentuk kerjasama secara kelembagaan ini menunjukkan adanya
pengaruh lebih baik sehingga mengarahkan Uni Eropa untuk melakukan adopsi dari
bentuk kerjasama ini lebih lanjut. Partisipasi dalam mengembangkan definisi
legalitas semakin luas sejak tahun 2006 sampai 2008 dengan melibatkan
pemerintah dan industri di tingkat nasional maupun provinsi. Pada bulan
Desember 2008 tim kerja multi-pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)
sebagai fasilitator proses, serta dukungan Dewan Kehutanan Nasional, secara
formal menyerahkan kepada pemerintah suatu standar legalitas dan usulan sistem
jaminan legalitas. Pemerintah dan suatu tim kecil yang merupakan kelompok
pemangku kepentingan selanjutnya mempersiapkan usulan tersebut menjadi
peraturan yang pada akhirnya disahkan pada bulan Juni 2009. Indonesia dan UE
memulai perundingan VPA pada bulan Januari 2007 tetapi barulah setelah bulan
Juli 2009 dialog semakin intensif setelah diselesaikannya sistem jaminan
legalitas kayu Indonesia (TLAS). Sejak Maret 2007 sampai April 2011 telah
diadakan tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior
Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group), tujuh
Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert
Meeting) dan delapan Konferensi Video untuk menyelesaikan dan menyepakati
teks VPA serta lampiran-lampirannya. [5]
FLEGT-VPA
akhirnya ditandatangani oleh UE dan Indonesia pada tanggal 30 September 2013 di
Brussels setelah beberapa kali mengalami kemunduran. Sedangkan ratifikasi untuk
kerjasama oleh Parlemen Eropa baru terealisasi pada tanggal 27 Februari 2014 di
Strasbourg, Prancis. Dengan demikian kerjasama ini telah resmi mengikat secara
hukum bagi UE dan Indonesia
Pada setiap tahap proses perancangan dan
perundingan, representasi dari kelompok masyarakat sipil, asosiasi hutan dan
industri kayu maupun berbagai kementerian terkait lainnya telah dapat
berhubungan secara langsung dengan Kementerian Kehutanan serta memberi
kontribusi kepada perundingan dengan UE melalui berbagai bentuk dan ruang
dialog yang diuraikan di atas. Di berbagai tahap, pemerintah telah memimpin
konsultasi publik di berbagai daerah dengan mengundang para wakil industri di
daerah, pemerintah dan masyarakat sipil untuk memberi komentar mengenai sistem
yang sedang berkembang. Dialog nasional mencakup serangkaian yang terdiri atas
12 program di radio nasional , dengan panggilan telepon kepada para pejabat,
masyarakat sipil, sektor swasta dan termasuk sebuah siaran langsung dengan
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dan Duta Besar UE Hasil akhirnya
adalah sebuah sistem jaminan legalitas nasional dan VPA yang mendapat dukungan
luas dari semua pemangku kepentingan Indonesia.[6]
Berdasarkan uraian
di atas maka dapat diketahui bahwa
proses penetapan kebijakan FLEGT VPA oleh Uni Eropa di Indonesia dilaksanakan
sesuai dengan tahaan yang sudah termuat dalam FLEGT VPA sendiri. Namun dalam
pelaksanaanya terdapat beberapa kali perubahan yang berbeda dalam hal target
waktu. Proses peneapan kebijakan FLEGT VPA dimulai pada bulan Desember 2008
dengan adanya tim kerja multi-pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)
sebagai fasilitator proses, serta dukungan Dewan Kehutanan Nasional. Dalam
proses tersebut secara formal menyerahkan kepada pemerintah suatu standar
legalitas dan usulan sistem jaminan legalitas. Pada bulan Juli 2009 dialog
semakin intensif setelah diselesaikannya sistem jaminan legalitas kayu
Indonesia (TLAS). Sejak Maret 2007 sampai April 2011 telah diadakan tiga
Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok Kerja
Teknis (Technical Working Group), tujuh Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert
Meeting) dan delapan Konferensi Video untuk menyelesaikan dan menyepakati teks
VPA serta lampiran-lampirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar