Berangkat
dari ekonomi agraris di bagian Timur dan perdagangan di Semenanjung Malaysia,
kini Malaysia telah berubah menjadi Negara industri yang didukung oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi maju. Hal ini tidak lepas dari peran seorang perdana
menteri yang sangat menonjol di Malaysia, yaitu Mahathir Mohamad. Ambisi
Mahathir adalah merestrukturisasi masyarakat Malaysia menuju tatanan bisnis dan
komunitas industri Melayu. Secara ideologis pandangan dan kebijakan itu
dipengaruhi oleh ide tentang “Nilai Asia” (Asian
Value) yang dipelopori oleh para pemimpin Asia yang salah satunya juga
Mahathir Mohamad. Instabilitas pemerintah yang lemah akan menimbulkan kekacauan
dan itu tidak akan mendukung proses pembangunan negara berkembang ke arah
perbaikan.
Sejak
awal masa pemerintahannya sebagai perdana menteri pada 1981, Mahathir
menggarisbawahi komitmennya untuk meneruskan kebijakan yang telah dirintis oleh
para pemimpin Malaysia pasca kerusuhan 13 Mei 1969, terutama untuk mengejar
tujuan-tujuan yang telah diletakkan dalam Look East Policy. Mahathir
ingin menjadikan Malaysia suatu negara industry dengan mengemukakan konsep dan
ide-ide baru seperti Kebijaksanaan Pandang Ke Timur dan Kebijakan Pembangunan
Nasional dan Rangka Rancangan Jangka Panjang Kedua (RRJP2).[1]
Keberhasilan
Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) menghasilkan perdebatab
di kalangan politisi dan pengamat. NEP telah menargetkan pembagian 30% ekonomi
pada bumiputra, tetapi berdasarkan statistik resmi pemerintah, NEP tidak
berhasil mencapai target itu. Meskipun kebijakan ekonomi tersebut berakhir pada
1990, pemerintah Malaysia tetap sering mengacu padanya karena tetap saja ada
banyak keuntungan yang didapat oleh kaum Bumiputra. Pada 2005, beberapa
politisi dan United Malays National Organization (UMNO) menginginkan
dilakukannya restorasi pada NEP sebagai bagian dan New National Agenda (NNA). Pada 2008, Menteri Besar Penang Lim Guan
Eng, membuat terobosan kebijakan dan secara terang-terangan mengumumkan bahwa
pemerintahan barunya akan bebas dan pengaruh dan gaya NEP.[2]
Bersamaan
dengan redistribusi kekayaan mi juga
dilakukan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mi akan membuat
saham dan pendapatan kaum non-bumiputra juga menurun, sedangkan kepentingan
bisnis bumiputra diharapkan meningkat. Anggapan ini mengacu pada ‘teori kue
yang mengembang’ (expanding pie theory): saham bumiputra pada kue tersebut akan
meningkat tanpa mengurangi inisan kue non-bumlputra. Teori mi juga ditegaskan
secara terang-terangan dalam Rencana Malaysia ke-2 (Second Malaysia Plan).
Terbukti
bahwa hampir semua tujuan yang dirumuskan dalam konsolidasi Barisan Nasional
(BN) di awal era 1970-an berhasil dicapai sebelum 1990. Banyak indikator yang
menunjukkan bahwa dua tujuan Look East Policy yang telah dicanangkan, yakni
untuk memberantas kemiskinan dan strukturisasi masyarakat Malaysia dengan
mengutamakan ekonomi bumiputra telah dicapai oleh pemerintah.
Misalnya, angka kemiskinan di Malaysia telah berkurang sampai 15% di tahun
1990. Data lain juga menunjukkan bahwa jumlah keluarga miskin turun dan 39,6% pada
tahun 1976 menjadi 13,4% pada tahun 1993.
Kesenjangan ekonomi juga semakin sempit. Selama 20 tahun penerapan Look East Policy, angka GDP tumbuh rata-rata
6,7% per tahun. [3]
Beberapa
tokoh bumiputra sendiri juga ada yang menginginkan agar Look East Policy
dikurangi dan dihilangkan.
Misalnya, Perdana Menteri Datuk Sen Abdullah Ahmad Badawi dalam pidatonya di
depan UMNO pada 2004. Tetapi, tidak semua pimpinan politik bumiputra mempunyai
pandangan yang sama. Badruddin Airuklin, yang terpilih sebagai ketua deputi
tetap UMNO. dengan bangga ia menyatakaƱ, “Tak ada ras lain pun yang
mempertanyakan hak istimewa kita, pemimpin, dan agama kita”.[4]
Berdasarkan pernyataan ini dapat diketahui kebanggaan yang kental pemerintah
Malaysia akan keberhasilan pembangunan ekonomi dalam kebijakan New Era Policy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar