Banyak model pertumbuhan ekonomi yang telah dikembangkan baik oleh Kaum
Klasik, Neoklasik maupun Institusionalis. Pengembangan tersebut didasari atas
anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan
sarana yang tepat untuk mencapai kemakmuran suatu bangsa. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi berdampak pada tingginya peluang kerja, sehingga memperkecil
pengangguran. Semakin kecilnya pengangguran berdampak semakin meningkatnya
kemakmuran suatu bangsa. Model
pertumbuhan ekonomi yang berkembang, antara lain yang tergabung dalam mashab analitis meliputi model pertumbuhan ekonomi Klasik, model Keynesian (Harrod-Domar dalam sistem Regional), model pertumbuhan ekonomi Neoklasik, dan model
pertumbuhan Institusionalis. Teori-teori pembangunan
ekonomi dalam mashab ini berusaha mengungkapkan proses pertumbuhan ekonomi
secara logis dan taat azas (konsisten) tetapi kurang menekankan kepada aspek
empiris (historis)nya.
a. Model
Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Model pertumbuhan ekonomi yang diterapkan oleh suatu negara tidak terlepas
dari fokus kebijakan pembangunan yang dilakukan negara tersebut. Sebagian besar
negara yang sedang berkembang, fokus kebijakan utamanya pada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi
dan stabilitas, pengambil kebijakan membutuhkan pemahaman tentang faktor-faktor
pertumbuhan dan efeknya terhadap pertumbuhan (Dewan dan Hussein, 2001).
Model pertumbuhan
ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823). Inti dari ajaran Smith adalah agar masyarakat diberi kebebasan
seluas-luasnya dalam menentukan kegiatan ekonomi apa yang dirasa terbaik untuk
dilakukan. Menurut Smith sistem ekonomi pasar bebas akan menciptakan efisiensi,
membawa ekonomi kepada kondisi full
employment, dan menjamin pertumbuhan ekonomi sampai tercapai posisi
stasioner (stationary state). Posisi
stasioner terjadi apabila sumber daya alam telah sepenuhnya dimanfaatkan. Tugas
pemerintah adalah menciptakan kondisi dan menyediakan fasilitas yang mendorong
pihak swasta berperan optimal dalam perekonomian. Dalam hal ini pemerintah
berkewajiban menyediakan prasarana sehingga aktivitas swasta menjadi lancar.
Terhadap pemikiran Smith, perlu dicatat pendapat Joseph Schumpeter yang mengatakan
bahwa posisi stasioner tidak akan terjadi karena manusia akan terus melakukan
inovasi.
Dua
aspek utama pertumbuhan ekonomi menurut Adam Smith adalah pertumbuhan output
total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara (pertumbuhan
output total) menurut Smith adalah
sumber daya alam yang tersedia (faktor produksi “tanah), sumber daya
manusia (jumlah penduduk) dan stok modal yang ada.
Sumber daya alam yang tersedia merupakan
wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah
sumber alam yang tersedia merupakan “batas maksimum” bagi pertumbuhan suatu
perekonomian. Maksudnya, jika sumber daya ini belum digunakan sepenuhnya, maka
jumlah penduduk dan stok kapital yang ada memegang peranan dalam pertumbuhan output. Tetapi pertumbuhan output
tersebut akan berhenti jika semua sumber daya alam tersebut telah digunakan
secara penuh.
Sumber daya manusia mempunyai peranan
yang pasif dalam proses pertumbuhan output. Maksudnya, jumlah penduduk akan
menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem pembagian kerja
antar pelaku ekonomi. Dalam hal ini, Adam Smith memandang pekerja sebagai salah
satu input bagi proses produksi. Menurut Adam Smith, perkembangan penduduk akan
mendorong pertumbuhan ekonomi karena perkembangan penduduk akan memperluas
pasar. Pada tahap ini dianggap bahwa berapapun jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan dalam proses produksi akan tersedia lewat proses pertumbuhan atau
penurunan penduduk.
Stok kapital memegang peran paling
penting dalam menentukan cepat lambatnya proses pertumbuhan output. Besar kecilnya stok kapital
dalam perekonomian pada saat tertentu akan sangat menentukan output yang diproduksi dan dengan
demikian akan menentukan kecepatan pertumbuhan ekonomi. Apa yang terjadi pada
tingkat output tergantung pada apa yang terjadi pada stok kapital dan laju
pertumbuhan stok kapital sampai tahap pertumbuhan dimana sumber-sumber alam
mulai membatasi.
Jumlah penduduk menurut Adam Smith akan
meningkat jika tingkat upah yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah
subsisten yaitu tingkat upah yang
pas-pasan untuk hidup. Jika tingkat upah di atas tingkat subsisten maka
jumlah penduduk akan meningkat sebaliknya jika upah yang berlaku lebih rendah
dari tingkat upah subsiten, maka jumlah penduduk akan menurun.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam teori
Smith, pandangannya masih banyak yang relevan untuk diterapkan dalam
perencanaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan
pemerintah daerah adalah memberi kebebasan kepada setiap orang/badan untuk
berusaha (pada lokasi yang diperkenankan); tidak mengeluarkan peraturan yang
menghambat pergerakan orang dan barang; tidak membuat tarif pajak daerah yang
lebih tinggi dari daerah lain sehingga memberi iklim yang kundusif bagi
pengusaha dan investor; menjaga keamanan dan ketertiban sehingga relatif aman
untuk berusaha, menyediakan fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi
secara efisien dan tidak membuat prosedur penanaman modal yang rumit.
David
Ricardo (1772-1823) mengembangkan teori pertumbuhan klasik lebih lanjut. Tetapi
garis besar dari proses pertumbuhan dan kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik
oleh David Ricardo tidak terlalu berbeda dengan teori Adam Smith. David Ricardo
menganggap jumlah faktor produksi tanah (yaitu sumber-sumber alam) tidak bisa
bertambah, sehingga akan bertindak sebagai faktor pembatas dalam proses
pertumbuhan suatu masyarakat (Boediono, 1985)
b. Model Keynesian (Harrod-Domar dalam sistem
Regional)
Pada tahun 1940 dan 1950an dalam mengkaji
pertumbuhan ekonomi para ekonom lebih menekankan pada aspek mobilitas kapital (K) dalam jangka
panjang, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tergantung pada akumulasi kapital
(tabungan dan investasi). Beberapa ekonom pada periode ini menyatakan bahwa
pertumbuhan merupakan fenomena jangka pendek. Pendapat ini didasarkan pada
asumsi mereka bahwa dalam perkembangannya investasi kapital mengarah pada terjadinya
penurunan marginal produktivitas kapital. Tokoh ekonom pada periode ini
diantaranya adalah Harrod-Domar yang
terkenal dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar, dan Kaldor.
Harrod-Domar
menyatakan bahwa pertumbuhan pendapatan (DY) fungsi dari ratio kenaikan investasi (DI) dengan kecenderungan menabung (a) :
1
DY = DI (2.7)
a
Sedangkan I
fungsi dari kecenderungan menabung dikalikan produktivitas modal (s) :
DI
= a.s (2.8)
I
Apa yang dikemukakan Harrod-Domar tersebut tidak
jauh berbeda dengan yang dikemukakan Kaldor. Ia menyatakan bahwa pertumbuhan
pendapatan fungsi dari peningkatan investasi neto yang dinyatakan sebagai
proporsi stok modal (It / Kt ) pada periode t dikalikan
modal perkapita (b) plus koefisien kemajuan teknikal (a):
Yt + 1 - Yt It
= an + bn (2.9)
Yt
Kt
Baik Harrod-Domar maupun Kaldor menekankan pada pentingnya
investasi untuk mencapai pertumbuhan. Semakin tinggi investasi akan semakin
tinggi pertumbuhan pendapatan. Untuk mempertinggi investasi perlu mempertinggi tabungan.
Persoalan yang muncul dari konsep tersebut apabila diterapkan di negara yang
sedang berkembang akan menimbulkan masalah baru. Pertumbuhan pendapatan akan
menimbulkan kesenjangan pendapatan. Untuk mencapai pertumbuhan pendapatan
dibutuhkan investasi, sedangkan investasi merupakan fungsi dari tabungan. Karena investasi fungsi dari
tabungan maka untuk meningkatkan investasi harus mempertinggi tabungan.
Peningkatan tabungan hanya dapat dilakukan oleh kelompok tertentu saja (yang
berpendapatan tinggi). Akibatnya mereka yang melakukan investasi hanya kelompok
tertentu saja (yang berpendapatan tinggi), sehingga hanya sekelompok tertentu
saja yang menikmati peningkatan pendapatan, terjadilah kesenjangan. Jadi dalam
teori ini ketimpangan merupakan konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi.
c. Model
Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
Pandangan
Neo Klasik tentang pertumbuhan ekonomi berbeda dengan Kaum Klasik. Para ekonom
tahun 1950an tidak sependapat bahwa pertumbuhan ekonomi hanya ditentukan oleh
mobilitas kapital, tetapi pertumbuhan merupakan fungsi dari input. Pada masa
ini para ekonom mulai memperkenalkan fungsi produksi nasional untuk menentukan
pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi pada hakekatnya merupakan hubungan antara
input yang terdiri dari Kapital (K), Tenaga Kerja (L) dan Teknologi (T) dengan
output. Studi diawali oleh Solow dan Swan pada tahun 1956 dengan mendasarkan
pada teori Neoklasik, dengan menggunakan struktur dan asumsi teori produksi
Neoklasik (Dewan dan Hussein, 2001). Salah satu ciri Kaum NeoKlasik adalah
mengandalkan terjadinya asas Tricle Down
Effect, dalam proses pembangunan. Menurut paham ini hasil pembangunan akan
terdistribusi secara merata melalui mekanisme pasar, tanpa perlu campur tangan
pemerintah (institusi). Menurut teori ini jika pusat-pusat pertumbuhan
mengalami pertumbuhan ekonomi maka secara otomatis (melalui mekanisme pasar)
berdampak pada pertumbuhan wilayah yang lain, tidak diperlukan campur tangan
pemerintah ataupun institusi. Model yang dibangun didasarkan pada fungsi
Cobb-Douglas, dengan asumsi constant
return to scale:
Yt
= TK t α Lt
1- α (2.10) Kritikan
terhadap model ini bahwa model ini tidak dapat menjelaskan perbedaan kinerja
ekonomi antar negara. Studi Hall dan Jones (1998) menunjukkan bahwa
produktivitas antar negara berbeda. Perbedaan produktivitas antar negara tidak
dapat dijelaskan melalui input yang digunakan. Aktivitas ekspor dan impor
mempunyai andil yang cukup besar dalam
produktivitas suatu negara, tetapi tidak dimasukkan dalam model Solow –Swan. Teori
Solow-Swan ini digantikan dengan model Pertumbuhan
Endogen dengan menggunakan asumsi constant
and
increasing return to capital.
Model pertumbuhan endogen memandang
pentingnya perdagangan internasional sebagai faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran perlunya perdagangan internasional dimasukkan
dalam model pertumbuhan karena melalui perdagangan internasional dapat
meningkatkan produktivitas. Atas dasar pemikiran tersebut maka model
pertumbuhan endogen dipandang cocok untuk diterapkan. Dalam model ini
perdagangan internasional diukur melalui aktivitas ekspor dan impor.
Yi
= F( Ai ,Ki ,Li ) (2.11)
Y adalah output, A = indeks produktivitas, K=modal
dan L= tenaga kerja, subskrip i tahun. Sedangkan indeks produktivitas (A)
fungsi dari impor (M) dan ekspor (X)
:
Ai
= F (Xi , Mi ) (2.12)
Model ini mengkritik bahwa model Neoklasik tidak dapat menjelaskan
perbedaan pendapatan perkapita (Sligitz, 2001). Menurut Ray (1995) model
pertumbuhan Neoklasik mempunyai kelemahan sebagai berikut: 1) Deminishing return to capital yang berimplikasi
pertumbuhan pendapatan antar sektor yang konvergen tetapi kenyataannya terdapat
perbedaan antara yang maju dan berkembang. 2) Tidak mampu memasukkan dampak eksternal yang
dibatasi dengan asumsi constant return to
scale 3) Dalam model Neoklasik indeks produktivitas sebagai exogenous, misalnya tidak terwujud dalam
peralatan modal. Akibatnya kesimpulan menjadi tidak realistis.
Kelemahan tersebut mengakibatkan
variasi kinerja pembangunan antar negara. Disamping itu variasi kinerja
tersebut tidak lepas dari pengalaman tentang proses pembangunan di negara
sedang berkembang (Boediono, 2001) sebagai berikut:
Pertama, stabilitas ekonomi makro
merupakan prasyarat esensial untuk mendapatkan kinerja pertumbuhan ekonomi yang
sangat diperlukan dalam proses pembangunan secara keseluruhan. Apapun prioritas
pembangunan, baik pembangunan sektor pertanian, industrialisasi, pemerataan
peluang berusaha, dan pengentasan kemiskinan, proses implementasinya akan
terhambat bila perekonomian makro bergejolak.
Kedua, pertumbuhan tidak mengalami penetesan kebawah. Asas tricle down ini sangat dekat dengan pendekatan Neoklasik yang
mengutamakan pemberian insentif bagi masyarakat yang mampu melakukan tabungan
untuk kemudian diinvestasikan, karena investasi inilah kuncinya terjadi
pertumbuhan.
Ketiga,
tidak ada kebijakan parsial yang secara manjur dapat mendorong terjadinya proses pembangunan yang sukses.
Pembangunan mencakup berbagai variabel yang saling kait mengkait sehingga
membutuhkan pendekatan yang integratif dan komprehensif.
Keempat, keberadaan
institusi. Proses pembangunan membutuhkan dukungan kelembagaan yang melibatkan
masyarakat seluas mungkin dan mampu merespon secara positif perubahan lingkungan yang sangat cepat.
Institusi tidak hanya terbatas pada pengertian organisasi tetapi termasuk
“aturan main” (behavioral rule) yang
menentukan dan mengatur bentuk interaksi manusia baik secara individu maupun
secara berkelompok. Melalui institusi tersebut maka pelaku interaksi mampu
mengantisipasi perilaku pihak lain dalam proses interaksi tersebut.
Untuk memperoleh model yang dapat
menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita antar negara Romer dan Weil (1992)
mencoba menjelaskannya dengan memasukkan Human Capital (H) kedalam model.
Dengan memasukkan Human Capital kedalam model Solow, maka model tersebut
menjadi lebih cocok untuk menganalisis pertumbuhan antar negara (Bulhol, 2004).
Mengapa suatu negara mengalami pertumbuhan yang pesat sementara yang lain
mengalami pertumbuhan yang rendah dapat dijelaskan melalui kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki.
Y = T Kt α Ltβ Ht1-α -β (2.13)
Hal yang senada dilakukan oleh Hall dan Jones
(1999); dan Klenow dan Rodriguez-Clare(1997). Mereka mengembangkan model yang
dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita antar negara. Model tersebut
didasarkan pada teori produksi Cobb-Doglass yang merupakan kombinasi antara
modal pisik dengan kualitas sumberdaya manusia (H):
Yi
= Ki a (Ai
Hi )1-a (2.14)
A tidak hanya mengukur teknologi atau pengetahuan
tetapi juga faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap output diluar modal
pisik dan layanan sumberdaya manusia. Dengan membagi model 2.15 dengan jumlah
tenaga kerja (L) dan mentranformasi dalam bentuk log dapat diketahui pendapatan
yang diterima setiap individu (Y/L):
Yi Ki Hi
Ln = a Ln + (1-a) Ln + (1-a) Ln Ai (2.15)
Li Li Li
Model 2.16 dapat menjelaskan terjadinya perbedaan
(kesenjangan) pendapatan perpekerja. Kesenjangan pendapatan perpekerja terjadi
karena perbedaan kontribusi modal pisik perpekerja, peran setiap pekerja dan
residual. Dalam model tersebut
peningkatan pendapatan perpekerja ditentukan oleh a yang merespon perubahan A (residual) dan modal
fisik perpekerja. Model tersebut akan lebih berguna jika mencirikan semua
peningkatan terahadap residual, selama peningkatan A sebagai sumber utama
peningkatan output perpekerja. Untuk itu Klenow dan Rodriguez-Clare dan Hall
dan Jones mengeluarkan a Ln (Yi / Li )
dari model, sehingga model menjadi
(Romer, 2001):
Yi Ki Yi Hi
(1- a) Ln = ( aLn - a Ln
) + (1-a) Ln
+ (1-a) Ln Ai
Li Li Li Li
Ki Hi
=
( a Ln + (1-a) Ln
+ (1-a) Ln Ai (2.16)
Yi Li
Dengan membagi model 2.17 dengan (1-a) diperoleh model :
Yi a Ki Hi
Ln =
Ln + Ln +
Ln Ai (2.17)
Li 1 -
a Yi Li
Model diatas menunjukkan bahwa output perpekerja
tergantung pada intensitas modal pisik ( Ki / Yi : Capital –output ratio), layanan tenagakerja
perpekerja, dan residual. Perbedaan intensitas modal pisik, tenagakerja
perpekerja menimbulkan kesenjangan pendapatan.
Teori Neoklasik
yang merupakan penerus dari teori klasik menganjurkan agar kondisi selalu
diarahkan menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar sempurna perekonomian bisa
tumbuh maksimal. Kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam
perdagangan termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin
kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan perlunya penyebarluasan
informasi pasar. Harus diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik
dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kestabilan politik (Tarigan, 2007).
d. Model
Pertumbuhan Kaum Institusionalis.
Model-model yang dikembangkan Kaum
Neoklasik tersebut di atas menghasilkan variasi kinerja pembangunan, mendorong
Stiglitz (2001) mencoba mengupas faktor-faktor yang menyebabkan variasi yang
sangat lebar dalam kinerja pembangunan antar negara. Mengapa beberapa negara
atau wilayah sebuah negara dalam kurun waktu tertentu mengalami keterbelakangan
tertentu sedangkan beberapa negara atau wilayah suatu negara mengalami
perkembangan yang melejit dengan cepat dalam tataran tertentu. Pelacakan
dilakukan pada budaya dan institusi yang
terbelakang. Pengamatan dilakukan di mantan negara-negara sosialis menyimpulkan
bahwa yang diperlukan adalah sebuah kebijakan kolektif antar pemerintah dan
pasar yang dapat menciptakan institusi yang diperlukan agar “pasar” dapat berfungsi.
Pemikiran Stiglits tersebut mendapat dukungan dari Vinot Thomas (peneliti Bank
Dunia) yang kemudian menerbitkan The
Quality of Growth yang menekankan bahwa pengamatan kinerja proses
pembangunan biasanya dihubungkan dengan pertumbuhan pendapatan nasional
perkapita (Budiono, 2001).
Apa yang dikemukakan oleh Mankiw,
Romer dan Weil juga dikritik oleh J.Temple’s yang menyatakan bahwa masalah
perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara yang satu dengan yang lain tidak
hanya karena masalah input. Negara yang pendapatannya rendah bukan karena
kurangnya input, tetapi juga masalah efisiensi dan teknologi. Masalah efisiensi
dan teknologi ditentukan oleh tatanan institusi yang ada (Tample’s, 1999 dalam
Boulhol, 2004). Dari pernyataan tersebut berarti bahwa institusi perlu
diperhatikan dalam membahas pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini didukung oleh
Stiglitz, yang menyatakan bahwa aspek kelembagaan (institusi) perlu mendapat
penajaman pengamatan dalam pembangunan. Atas dasar itu Stiglitz memodifikasi
model pertumbuhan Neoklasik dengan memasukkan Informasi, Pengetahuan dan
Teknologi serta Organisasional Capital. Jika
model Neoklasik fungsi produksi agregat : Q
= F (K,L,H) oleh Stiglitz
dimodifikasi menjadi :
Q = F(A,K,L,H). Dalam hal ini Q adalah jumlah
produksi K kapital, L tenagakerja, H kapital sumberdaya manusia, sedangkan A
terdiri dari Informasi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Kapital
Organisasional (termasuk institusi). Hanya saja Stiglitz belum memasukkan
institusi secara eksplisit kedalam model sebagai variabel bebas, tetapi
menginterprestasikannya melalui konstanta.
Y = A
Kt α Ltβ Ht1-α -β (2.18)
Faktor-faktor
pertumbuhan baik mikro maupun makro dapat berfungsi dengan baik jika manusia
mempunyai pengetahuan untuk mengendalikannya. Manusia harus mampu
mengekploitasi pengetahuan yang relevan dalam rangka pengendalian faktor
pertumbuhan. Pengetahuan hanya dapat diekploitasi dan dikembangkan jika manusia
dengan spesialisasi pengetahuan masing-masing dapat bekerja sama. Untuk dapat bekerja
sama dengan sistem koordinasi yang baik diperlukan institusi untuk mengatur dan
menjamin kepastian hak masing-masing. Atas dasar pemikiran inilah muncul model
pertumbuhan menurut Institutional
Economics. Faktor lain yang mendorong munculnya ekonomi kelembagaan adalah
kegagalan pasar. Mekanisme pasar yang diandalkan oleh Kaum Neoklasik ternyata
tidak mampu berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Model
Ekonomi Kelembagaan lebih menekankan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
melalui efisiensi. Melalui efisiensi diharapkan pertumbuhan dapat terdistribusi
secara merata. Jika pertumbuhan terdistribusi secara merata maka peningkatan kesenjangan sebagaimana yang
terjadi pada model Horrod-Domar maupun Kaldor dapat dihindari. Efisiensi dapat
terwujud apabila penataan institusi pada masing-masing negara didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan riil pada setiap negara.
Menanggapi apa yang dikemukakan
Stiglitz Kaum Institusionalis menilai bahwa
Stiglitz menganggap bahwa institusi antar negara bersifat konvergen.
Pendapat ini sangat berbeda dengan realitas, institusi antar negara bersifat
divergen. Oleh karena itu untuk melihat peranan institusi dalam pembangunan
Kaum Instutusionalis menganjurkan memperlakukan institusi (I) sebagai variabel
bebas dalam model pertumbuhan, mengingat bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh
biaya transaksi dan biaya transformasi produksi. Jaringan institusi berhubungan
secara integral dengan kedua biaya tersebut.
Sehingga model 2.19 dikembangkan
menjadi:
Y = a Kt
α Ltβ Htλ It 1-α - β -λ (2.19)
Institusional Economics menekankan
pentingnya institusi dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi
dengan pendekatan institusional merupakan”Institution
Building Proces.” Agar pembangunan tersebut berhasil, membutuhkan sistem
perencanaan dan institusi yang mapan, dalam arti dapat mengelola proses
pembangunan selama periode waktu tertentu. Institusi yang bertanggung jawab
dibutuhkan khusus untuk mengkoordinasi setiap tahap proses pembangunan ekonomi
(Mehlum, 2002). Paham ini menyatakan bahwa tanpa adanya institusi yang
berkualitas pertumbuhan ekonomi tidak optimum. Perlu dilakukan inovasi-inovasi
institusi yang mampu mengkoordinir dan memfasilitasi perkembangan tenaga kerja,
akumulasi kapital maupun perkembangan teknologi. Sebagaimana dikatakan oleh
North bahwa: Sejarah studi pembangunan ekonomi merupakan studi inovasi
institusi yang dapat menyederhanakan pertukaran yang kompleks dengan cara
menurunkan biaya transaksi dan produksi (North, 1994). Perbedaan yang berkelanjutan
dalam pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijelaskan tanpa melalui institusi
(Olson, 1996). Penataan institusi yang
tepat dibutuhkan untuk membentuk kerangka kerja untuk kerjasama manusia di
pasar dan dalam organisasi sehingga kerjasama tersebut rasional, dapat
diprediksi dan dapat diterima.
Menurut
paham ini pembangunan ekonomi diukur dengan perkembangan pendapatan
sektor-sektor ekonomi yang ada. Jika pertumbuhan pendapatan sektor-sektor
tersebut tinggi berarti pertumbuhan ekonomi tinggi pula. Pertumbuhan pendapatan
masing-masing sektor sangat ditentukan oleh kapital, tenaga kerja, kapital
sumberdaya manusia dan institusi (Stiglitz, 2001). Efektif tidaknya keempat
faktor di atas sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi yang ada ( Mehlum,
2002).
Institusi
dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jika: 1) institusi terkait dengan
aktivitas-aktivitas produktif, 2) institusi dapat melakukan fungsi koordinasi
secara efektif, 3) mampu menurunkan biaya transaksi, 4) institusi mampu
memberikan jaminan hak (property right)
sehingga investor dapat menggunakan teknologi yang baik dan efisien sehingga
produknya kompetitif.
Jadi
institusi berkaitan dengan masalah kualitas institusi, bukan hanya persoalan
kuantitas. Jika unit-unit usaha berada dalam lingkungan institusi yang lemah
(kualitas rendah) tidak dapat berkembang secara kompleks, tidak dapat membentuk
kontrak-kontrak jangka panjang dan multi kontrak yang melibatkan tiga kelompok
yang mencirikan pertukaran ekonomi dalam industri yang ekonomis (Aron, 1997). Dengan tidak
terpenuhinya atau tidak adanya institusi mengakibatkan aktivitas ekonomi
menjadi terbatas pada pertukaran interpersonal, pada produksi skala kecil dan
perdagangan lokal. Akibatnya pertumbuhan ekonomi rendah (Sevinc dan Hakan,
2003). Kegagalan institusi juga dapat mengakibatkan tidak berfungsinya pasar,
staknasi ekonomi dan krisis yang parah.(Caballero, 2000). Sebaliknya jika
unit-unit usaha berada dalam lingkungan institusi yang berkualitas maka mereka
dapat melakukan kontrak-kontrak jangka panjang, ada jaminan hak, penggunaan
teknologi berkualitas yang mendorong munculnya entrepreneurship. Berkembangnya entrepreneurship dalam unit-unit
usaha memacu pertumbuhan ekonomi. Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesenjangan pendapatan disebabkan karena
perbedaan pendapatan yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok tertentu.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan produktivitas(A) faktor produksi
modal (K) dan tenagakerja (L).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar