Jumat, 16 Desember 2016

Konflik Etnis Antara Etnis Malyu dan Non Melayu di Malaysia (skripsi dan tesis)


a.    Etnis Melayu di Malaysia
Penduduk Malaysia bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai kelompok suku. Suku Melayu mendominasi dengan persentase sebesar 50,4%. Menurut konstitusi Malaysia, orang Melayu didefinisikan sebagai orang Muslim, menggunakan bahasa Melayu yang menjalankan adat dan budaya Melayu. Oleh karena itu, secara teknis seorang Muslim dan ras mana pun yang menjalankan kebiasaan dan budaya Melayu dapat dipandang sebagai orang Melayu dan memiliki hak yang sama ketika berhadapan dengan hak-hak istimewa orang Melayu seperti yang dinyatakan di dalam konstitusi.
Pengertian orang mengenai “Melayu” sering keliru dan dicampurbaurkan. Hal ini disebabkan karena pengertian bahasa adalah “ras” dan ada pula yang mengartikan “etnis” atau suku (bangsa), sedangkan dalam pengertian umum Melayu sering kita harus menelusuri kembali apa yang dicatat oleh sejarah. Orang Melayu mendiami wilayah Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Temiang (Aceh Timur), Pesisir Timur Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan Pesisir Palembang.
Jika kita mencoba mencari tahu makna “Melayu” akan ditemukan beberapa definisi. Jika membuka situs en.wikpja. com, akan ditemukan dua definisi berbeda yaitu suku (etnik) dan sebagai kumpulan orang bukan geografis). Lain lagi apabila kita membuka eia.com, makna Melayu lebih cocok ke definisi suku (etnik), sedangkan icocok ke definisi suku. Hal ini harus dibedakan, meskipun kadang dipakai begitu saja dengan mengabaikan maknanya yang tepat dan masing-masing kata. Misalkan pada ciri-ciri fisik, seperti warna kulit, bentuk tubuh, rambut, bentuk wajah, dll. Ras juga didasarkan pada keturunan gen yang saling berdekatan. Orang yang rasis berarti memandang sesuatu berdasarkan alasan-alasan ras. Cara pandang rasialis menyesatkan dan sering memicu timbulnya konflik dan kerusuhan sosial politik sehingga menimbulkan kerugian dan kerusakan. Tidak dapat dipungkiri masih ada komunitas atau kelompok orang di dunia ini yang menganggap rasnya paling baik.
Selanjutnya etnik biasanya lebih kesamaan karakter yang diekspresikan pada ranah budaya, gaya hidup,seni, agama, dan bukan sekadar tarnpilan fisik. Meskipun demikian, dengan perbedaan etnik (suku). Karenanya kadang ras dan etnik sering disamakan. Landasan ras yang digunakan adalah pendapat Antropolog Jerman Johann Friedrich Blumenbach (1752—1840) mengatakan:
Malay variety. Tawny-coloured; hair black, sofi, curly, thick and plentifri; head moderately narrowed; forehead slightly swelling; nose fr/I, rather wide, as it were diffuse, end thick; mouth large, upper jaw somewhat prominent with the parts of the face when seen in profile, sufficiently prominent and distinct from each other. This last variety includes the islanders of the Paqfic Ocean, together with the inhabitants of the Marianne, the Philippine, the Molucca and the Sunda Islands, and of the Malayan peninsula.
I wish to call it the Malay because the majority of the men of this variety, especially those who inhabit the Indian islands close to the Malacca peninsula, as well as the Sandwich, the Society, and the Friendly Islanders, and also the Malambi of Madagascar down to the inhabitants of Easter Island, use the Malay idiom”.

Namun, banyak yang sepakat bahwa setelah pusat imperium Melayu berada di Melaka 1400 M dan Parameswara di-Islamkan oleh Syekh dan Pasai, maka sejak itu terbentuklah suatu wadalh baru bagi orang Islam yang disebarkan dan Melaka ke segenap penjuru di Nusantara. Penyebaran melalui rute dagang ini diikuti perkawinan dengan putri raja setempat. Hal ini bukan saja membentuk masyarakat Islam, melainkan juga membentuk Budaya Melayu sehingga pada masa kedatangan orang Barat telah terbentuk kerajaan-kerajaan maritim di sepanjang kuala-kuala sungai di pesisir timur Sumatra dan Kalimantan serta di Thailand Selatan, bahkan sampai di Jayakarta dan Indonesia Timur. Sejak itu terbentuklah definisi jati din Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada faktor genealogis, tetapi dipersatukan oleh faktor kultural yang sama, yaitu kesamaan dalam beragama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat-istiadat Melayu.[1]
Menurut kesepakatan para ahli-ahli Barat orang-orang Melayu (Malaios) didefinisikan sebagai orang Islam dengan bahasa Melayu, mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa dan berusaha memperluas pengetahuan mereka, juga mempelajari bahasa Arab. Suka mengembara, suatu ras yang paling gelisah di dunia, suka mendirikan kampung-kampung, namun dengan mudah meninggalkannya. Mereka bersih dan berketurunan balk, sangat gemar akan musik dan sangat berkasih sayang”.
Menurut J.M Gullick dalam Malay Society In The Late 19th Century: The Beginning Of Change, pada orang Melayu ada beberapa nilai yang menonjol, yaitu[2]:
a.         adanya konsep status, yaitu senang mengejar status yang lebih tinggi;
b.        bertindak patut menurut adat dan pendapat orang banyak;
c.         jika menerima malu dapat berbuat amok atau sindiran;
d.        tidak suka berbicara keras—keras dengan tekanan terhadap setiap kata atau kalimat;
e.         cenderung bersifat konservatif;
f.         berpijak pada yang esa;
g.        sangat mementingkan penegakan hukum untuk keamanan, ketertiban, dan kemakmuran masyarakat. Hal ini banyak dituangkan dalam bentuk adat;
h.        mementingkan budi dan baliasa yang menunjukkan sopan, santun, dan tingginya peradaban Melayu;
i.          mengutamakan pendidikan dan ilmu;
j.          mementing budaya Melayu;
k.        musyawarah dan mufakat merupakan sendi kehidupan sosial orang Melayu;
l.          ramah tamah dan terbuka kepada tamu;
m.      melawan hanya pada saat terdesak.
Menurut pengakuan Vallentijn, (1712 M) seorang peneliti Belanda, bahasa Melayu tidak hanya dituturkan di seluruh Nusantara dan juga negeri-negeri Timur. Sebagai suatu bahasa yang dikenal dan dimengerti semua orang, bahasa Melayu juga diketahui dan digunakan di Persia, bahkan melampaui negeri dan sampai ke Filipina. Penerjemah Vallentijn bahkan telah mendengar bahasa Melayu digunakan di jalanan kota Kanton.
Dan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Melayu itu adalah: Melayu adatnya, Melayu bahasanya dan Islam agamanya.
b.   Etnis Cina di Malaysia
Salah satu ras lain yang mendominasi di Malaysia adalah etnik China- Malaysia yang jumlahnya 23,7%. Nenek moyang China di Malaysia memiliki asal usul yang berbeda-beda. Mereka dikenali dari berbagai  bahasa yang digunakan. Jumlah paling besar orang China di Malaysia berasal dan Provinsi Fujian dan Guang Dong di China Selatan. Pada abad ke-19 dan ke-20 berbagai macam perdagangan dan profesi membuat mereka sama dengan kelompok dialeknya sendiri. Akibatnya, penyebaran kelompok dialek di Semenanjung Malaya dan Borneo utara berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya, tiap wilayah telah dicemani oleh etnik China dan kelompok yang memiliki dialek khusus.
Penduduk China yang berasal dan bagian selatan Fujian yang nmbentuk jumlah paling besar disebut sebagal China Hokkien. Sebagian besar penduduk China di Malaya yang dating sebelum abad ke-1 8 datang dan Amoy dan Zhangzhou. Mereka tinggal di daerah Penang dan Malaka  kemudian membentuk bagian besar dan penduduk lokal China di sana. Dan abad ke-19 hingga sekarang makin banyak China Hokkian bermukim di Malaya. Mereka mendominasi sektor perkebunan karet dan sektor-sektor keuangan di Malaya. Sebagian besar orang China yang berbahasa Hokkian kebanyakan tinggal di Semenanjung Malaya dan membentuk kelompok dialek yang lebih besar dl banyak negara bagian seperti Penang, Malaka, Kelantan, Terengganu, dan.Kedah. Di wilayah Borneo, China Hokkian pun berjumlah cukup besar di kalangan komunitas China dan dapat ditemukan di kota-kota besar khususnya Kuching dan Sibu.[3]
Pendatang China Fuzhou (juga dikenal dengan sebutan Hokchew atau Foochow di antara kaum Hokkian dan Kanton) juga datang dengan jumlah yang besar selama abad ke-19. Mereka inilah yang kemudian mendominasi dalam bidang perusahaan dan industri pada abad ke 20. China Foochow membentuk kelompok dialek terbesar di negara bagian Sarawak terutama sekitar Sungai Rajang, walaupun sejumlah Foochow ini juga tinggal di beberapa kota di kawasan Semenanjung Malaya, misalnya di Sitiawan (Perak) dan Yong Peng (Johor).
Sejumlah besar kaum Hakka membangun pemukiman di bagian barat Malaya dan Borneo utara. Pada abad ke-19, mereka bekerja di sektor pertambangan karena di kawasan tersebut baja dan emas diternukan. Keturunan dan para penambang itu membenrnk komunitasChina yang cukup besar jumlahnya di Selangor, Perak (terutama di kotaTaiping dan Ipoh), Sarawak, dan Negeri Sembilan. Setelah industri industri emas dan timah menurun pada abad ke20, banyak di antara mereka kembali ke industri perkebunan karet sehingga sebagian dan para China Hakka mi tinggal di Kedah (terutama di Sungai Petani) dan Johor (terutama di Kulai dan Kluang) .
China Kanton juga ikut serta dalam perdagangan emas dan baja bersama kaum Hakka, dan sering bentrok untuk memperebutkan hak-hak penambangan. Dan penghujung abad ke-19, orang-orang China Kanton mengubah kegiatan ekonominya dengan berfokus pada pengembangan bidang perbankan setelah industri penambangan baja menurun. Orang-orang Kanton itu membangun pemukiman di daerah perkotaan dan akhirnya membentuk suatu komunitas China dalam jumlah yang besar di Kuala Lumpur, Kinta Valley (Perak), Pahang, Negeri Sembilan, dan kota-kota utama di Sabah, khususnya Sandakan.
Para imigran dan kawasan Chaoshan China mulai membangun pemukiman di Malaya dalam jumlah yang besar mulai abad ke 18, terutama di Provinsi Wellesley dan Kedah. Para imigran mi bertanggungjawab membangun industri perkebunan lada di Malaya. Kemudian, banyak lagi China Teochew yang bermigrasi ke Johor atas dorongan Temenggung Ibrahim pada abad ke-19. Kota-kota baru yang dibangun dan ditinggali oleh para pekerja perkebunan dan kawasan Chaosan. Orang-orang Teochew berjumlah sangat besar dalam komunitas China di Johor Baru dan kota-kota utama sepanjang daerah pantai Johor Barat (terutama Pontian, Muar, dan dalam jumlah yang lebih rendah di Batu Pahat) yang merupakan kota bagi daerah pedalaman di negara bagian Johor.
Banyak wilayah-wilayah di Sarawak dan Sabah juga ditinggali orang-orang Teochews, kebanyakan dan mereka adalah keturunan para pekerja perkebunan yang juga menanam lada, sebagaimana meniru apa yang dilakukan kaumnya di Johor. Jumlah yang lebih kecil dan orang-orang Teochew juga dapat ditemukan di negara bagian lainnya, terutama Sabak Bernam (Selangor). Di sana orang-orang Teochew banyak yang menjadi petani padi sebagaimana sama dengan yang terjadi di daerah pedalaman negara bagian Malaka.
Imigran dan Hainan (China) mulai berpindah ke Malaya dan Borneo Utara mulai abad ke-19. Jumlah mereka sangat sedikit. Orang-orang Hainan ada yang bekerja sebagai koki di keluargakeluarga China yang kaya di kawasan selat, sedangkan yang lainnya berbisnis di bidang penikanan. Mereka membentuk suatu kelompok dialek yang banyak di distrik Kemaman (Terengganu) dan Pulau Ketam (Selangor), juga di Penang dan Johor Baru. Komunitas Hainan yang jumlahnya lebih sedikit dapat ditemukan di Sarawak dan Sabah yang banyak bekerja sebagai pemilik warung kopi baik di kota maupun di desa.

c.    Etnis Lain di Malaysia
Selain itu, terdapat suku asli (Aborigin) di Sabah dan Sarawak sejumlah 11% dan keseluruhan penduduk. Melebihi separo bagian dan keseluruhan penduduk, pribumi non-melayu menjadi kelompok dominan di negara bagian Sarawak (30%-nya adalah Dayak Iban), dan mendekati 60% penduduk Sabah (1 8%-nya adalah KadazanDusun, dan 17%-nya adalah Suku Bajau).  Bumiputra non-Melayu itu terbagi atas puluhan kumpulan ras tetapi memihiki budaya umum yang sama. Hingga abad ke-20, kebanyakan dan mereka mengamalkan kepercayaan tradisional, tetapi kini telah banyak yang telah memeluk Kristen dan Islam. Masuknya ras lain sedikit banyak mengurangi persentase penduduk pribumi di kedua negara bagian itu. Juga terdapat kelompok aborigin dengan jumlah sedikit di Semenanjung, mereka biasa disebut orang ash.
Sedangkan, etnik India-Malaysia sebanyak 7,1% penduduk. Sebagian besar komunitas India adalah Tamil (85%), tetapi berbagai kelompok lainnya juga ada, termasuk India Malayam, Punjab, dan Gujarat. Sebagian lagi penduduk Malaysia berdarah campuran Timur Tengah, Thailand, dan Indonesia. Ada penduduk keturunan Eropa dan Eurasia, termasuk Inggris yang menetap di Malaysia sejak zaman kolonial, dan komunitas ‘Kristang’ banyak terdapat di negeri bagian Malaka. Sejumlah kecil orang Khmer dan Vietnam juga ada yang menetap di Malaysia sebagai pengungsi Perang Vietnam.[4]
Persebaran penduduk Malaysia tidak merata, dengan lebih dari 17 juta jiwa tinggal di Malaysia Barat (Semenanjung Malaysia), sedangkan tidak lebih dan 7 juta jiwa tinggal di Malaysia Timur. Karena tumbuhnya industri padat tenaga kerja, Malaysia memiliki 10% sampai 20% pekerja imigran dengan besarnya ketidakpastian jumlah pekerja ilegal, terutama yang berasal dan Indonesia. Terdapat sejuta pekerja imigran legal dan mungkin orang asing ilegal lainnya. Menurut sensus terakhir negara bagian Sabah memiliki hampir 25% dan 2,7 juta penduduknya terdaftar sebagai pekerja imigran ilegal. Tetapi, gambaran 25% ini diduga kurang dari setengah gambaran yang diperkirakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Sebagai tambahan, menurut World Refrgee Survey 2008 yang diterbitkan oleh Komisi Pengungsi dan Imigran Amerika Serikat, Malaysia menampung pengungsi dan pencari suaka mendekati angka 155.700. Dan jumlah ini hampir 70.500 pengungsi dan pencari suaka berasal dari Filipina, 69.700 dan Myanmar, dan 21.800 dan Indonesia. Komisi Pengungsi dan Imigran Amerika Serikat menamai Malaysia sebagai salah satu dari sepuluh tempat terburuk bagi pengungsi karena adanya praktik diskriminasi negara kepada pengungsi. Petugas Malaysia dilaporkan memulangkan pendatang secara langsung kepada penyelundup manusia pada 2007 [5]

d.   Konflik Etnis di Malaysia
Ketimpangan terjadi sejak awal dan diperlebar selama penjajahan. Selama penguasaan kolonialisme Inggris, Melayu diberikan hak-hak istimewa dibandingkan etnik non-Melayu, misalnya diberikan quota yang lebih banyak pekerjaan di sektor pemerintahan. Ketika Federasi Malaya (Malaysia Barat) mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1957, Konstitusinya berisikan sebuah ketetapan (dalam ayat 153) yang memberikan hak-hak khusus bagi bangsa Melayu. Artinya memang konstitusi yang digunakan di Malaysia seringkali hanya berpihak pada kepentingan salah satu ras (suku) saja.
Komisi Reid, yang menyusun draft konstitusi itu menyatakan bahwa, “In due course the present preferences should be reduced and should ultimately cease.” Ketika Malaya bergabung dengan Singapura, Sabah, dan Sarawak pada 1963 dalam Federasi Malaysia) konstitusi barn mempertahankan artikel 153, dan definisi bumiputra diperluas dengan mencakup suku-suku ash di Sabah dan Sarawak di Malaysia Timur. Karena terjadi ketegangan antara pemerintah pusat (federal) dengan negara bagian dan penentangan terhadap hak-hak khusus etnik Melayu, maka Singapura keluar dan Federasi pada 1965.
Komisi Reid menekankan bahwa maksud dari artikel 153 tersebut adalah menghilangkan ketidakseimbangan antara etnik China dan Malaysia untuk menciptakan kesetaraan ekonomi. Tetapi, di masa-masa awal pembangunan untuk mengisi kemerdekaan Malaysia, pendapatan ekonomi bumiputra tidak juga meningkat dan hanya mendapatkan 2,4% dan seluruh ekonomi, sisanya dikuasai China dan pihak-pihak luar negeri. Inilah yang memicu kerusuhan rasial pada 13 Mei 1969 tersebut.
Karena kerusuhan, pemerintah mengumumkan keadaan darurat dan Parlemen dibekukan. Pemerintah membentuk National Operations Council (NOC), diketuai olehTunAbdul Razak. Target awal kebijakan NEP adalah untuk mengubah rasio kepemilikan ekonomi di Malaysia dari 2,4:33:63 (bumiputra: orang Malaysia lain: orang luar negeri) menjadi 30:40:30. Target itu dilakukan dengan meredistribusi kekayaan untuk meningkatkan kepemilikan perusahaan-perusahaan milik bumiputra dan 2,4% menjadi 30% dan seluruh kepemilikan saham nasional. Target 30% untuk bumiputra digagas oleh Ismail Abdul Rahman setelah pemerintahannya tidak mampu mendatangkan konsensus dalam sebuah tujuan kebijakan yang sesuai.[6]
Kerusuhan 1969 yang menyebabkan kematian ribuan orang menyadarkan bahwa jika ketimpangan tidak diatasi maka akan terjadi sebuah kehancuran negeri. Hal inilah yang memicu munculnya Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy/NEP), sebuah kebijakan yang ambisius dan kontroversial untuk mengubah struktur ekonomi sosial masyarakat  Malaysia. Diluncurkan pada 1971 di bawah pimpinan Perdana Menteri Tun Abdul Razak, NEP bertujuan menghilangkan ketimpangan ekonomi antara minoritas etnik China yang kaya dengan mayoritas etnik Melayu yang miskin.[7]
Pada 1975, pemerintah menciptakan insentif untuk memperluas industri manufaktur berskala besar dan bagi industri energi intensif. Heavy Industries Corporation of Malaysia (HICOM), misalnya, dibangun untuk membantu industri besi, aluminium, kertas, dan ampas kayu, baja, semen, sepeda motor, dan rekayasa teknologi berat. Pada saat yang sama, insentif ekspor juga diberikan.[8]



Tidak ada komentar: