a.
Etnis
Melayu di Malaysia
Penduduk
Malaysia bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai kelompok suku. Suku
Melayu mendominasi dengan persentase sebesar 50,4%. Menurut konstitusi
Malaysia, orang Melayu didefinisikan sebagai orang Muslim, menggunakan bahasa
Melayu yang menjalankan adat dan budaya Melayu. Oleh karena itu, secara teknis
seorang Muslim dan ras mana pun yang menjalankan kebiasaan dan budaya Melayu
dapat dipandang sebagai orang Melayu dan memiliki hak yang sama ketika
berhadapan dengan hak-hak istimewa orang Melayu seperti yang dinyatakan di
dalam konstitusi.
Pengertian
orang mengenai “Melayu” sering keliru dan dicampurbaurkan. Hal ini disebabkan
karena pengertian bahasa adalah “ras” dan ada pula yang mengartikan “etnis”
atau suku (bangsa), sedangkan dalam pengertian umum Melayu sering kita harus
menelusuri kembali apa yang dicatat oleh sejarah. Orang Melayu mendiami wilayah
Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan
Barat, Temiang (Aceh Timur), Pesisir Timur Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan
Pesisir Palembang.
Jika
kita mencoba mencari tahu makna “Melayu” akan ditemukan beberapa definisi. Jika
membuka situs en.wikpja. com, akan ditemukan dua definisi berbeda yaitu suku
(etnik) dan sebagai kumpulan orang bukan geografis). Lain lagi apabila kita
membuka eia.com, makna Melayu lebih cocok ke definisi suku (etnik), sedangkan
icocok ke definisi suku. Hal ini harus dibedakan, meskipun kadang dipakai
begitu saja dengan mengabaikan maknanya yang tepat dan masing-masing kata. Misalkan
pada ciri-ciri fisik, seperti warna kulit, bentuk tubuh, rambut, bentuk wajah,
dll. Ras juga didasarkan pada keturunan gen yang saling berdekatan. Orang yang
rasis berarti memandang sesuatu berdasarkan alasan-alasan ras. Cara pandang
rasialis menyesatkan dan sering memicu timbulnya konflik dan kerusuhan sosial
politik sehingga menimbulkan kerugian dan kerusakan. Tidak dapat dipungkiri
masih ada komunitas atau kelompok orang di dunia ini yang menganggap rasnya
paling baik.
Selanjutnya
etnik biasanya lebih kesamaan karakter yang diekspresikan pada ranah budaya,
gaya hidup,seni, agama, dan bukan sekadar tarnpilan fisik. Meskipun demikian,
dengan perbedaan etnik (suku). Karenanya kadang ras dan etnik sering disamakan.
Landasan ras yang digunakan adalah pendapat Antropolog Jerman Johann Friedrich
Blumenbach (1752—1840) mengatakan:
“Malay
variety. Tawny-coloured; hair black, sofi, curly, thick and plentifri; head
moderately narrowed; forehead slightly swelling; nose fr/I, rather wide, as it
were diffuse, end thick; mouth large, upper jaw somewhat prominent with the
parts of the face when seen in profile, sufficiently prominent and distinct
from each other. This last variety includes the islanders of the Paqfic Ocean,
together with the inhabitants of the Marianne, the Philippine, the Molucca and
the Sunda Islands, and of the Malayan peninsula.
I
wish to call it the Malay because the majority of the men of this variety,
especially those who inhabit the Indian islands close to the Malacca peninsula,
as well as the Sandwich, the Society, and the Friendly Islanders, and also the
Malambi of Madagascar down to the inhabitants of Easter Island, use the Malay
idiom”.
Namun,
banyak yang sepakat bahwa setelah pusat imperium Melayu berada di Melaka 1400 M
dan Parameswara di-Islamkan oleh Syekh dan Pasai, maka sejak itu terbentuklah
suatu wadalh baru bagi orang Islam yang disebarkan dan Melaka ke segenap
penjuru di Nusantara. Penyebaran melalui rute dagang ini diikuti perkawinan
dengan putri raja setempat. Hal ini bukan saja membentuk masyarakat Islam,
melainkan juga membentuk Budaya Melayu sehingga pada masa kedatangan orang
Barat telah terbentuk kerajaan-kerajaan maritim di sepanjang kuala-kuala sungai
di pesisir timur Sumatra dan Kalimantan serta di Thailand Selatan, bahkan
sampai di Jayakarta dan Indonesia Timur. Sejak itu terbentuklah definisi jati
din Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada faktor genealogis, tetapi
dipersatukan oleh faktor kultural yang sama, yaitu kesamaan dalam beragama
Islam, berbahasa Melayu, dan beradat-istiadat Melayu.[1]
Menurut
kesepakatan para ahli-ahli Barat orang-orang Melayu (Malaios) didefinisikan
sebagai orang Islam dengan bahasa Melayu, mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa
dan berusaha memperluas pengetahuan mereka, juga mempelajari bahasa Arab. Suka
mengembara, suatu ras yang paling gelisah di dunia, suka mendirikan
kampung-kampung, namun dengan mudah meninggalkannya. Mereka bersih dan
berketurunan balk, sangat gemar akan musik dan sangat berkasih sayang”.
Menurut
J.M Gullick dalam Malay Society In The
Late 19th Century: The Beginning Of Change, pada orang Melayu ada beberapa
nilai yang menonjol, yaitu[2]:
a.
adanya konsep status,
yaitu senang mengejar status yang lebih tinggi;
b.
bertindak patut menurut
adat dan pendapat orang banyak;
c.
jika menerima malu
dapat berbuat amok atau sindiran;
d.
tidak suka berbicara
keras—keras dengan tekanan terhadap setiap kata atau kalimat;
e.
cenderung bersifat
konservatif;
f.
berpijak pada yang esa;
g.
sangat mementingkan
penegakan hukum untuk keamanan, ketertiban, dan kemakmuran masyarakat. Hal ini
banyak dituangkan dalam bentuk adat;
h.
mementingkan budi dan
baliasa yang menunjukkan sopan, santun, dan tingginya peradaban Melayu;
i.
mengutamakan pendidikan
dan ilmu;
j.
mementing budaya
Melayu;
k.
musyawarah dan mufakat
merupakan sendi kehidupan sosial orang Melayu;
l.
ramah tamah dan terbuka
kepada tamu;
m. melawan
hanya pada saat terdesak.
Menurut
pengakuan Vallentijn, (1712 M) seorang peneliti Belanda, bahasa Melayu tidak
hanya dituturkan di seluruh Nusantara dan juga negeri-negeri Timur. Sebagai
suatu bahasa yang dikenal dan dimengerti semua orang, bahasa Melayu juga
diketahui dan digunakan di Persia, bahkan melampaui negeri dan sampai ke
Filipina. Penerjemah Vallentijn bahkan telah mendengar bahasa Melayu digunakan
di jalanan kota Kanton.
Dan
uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Melayu itu adalah: Melayu
adatnya, Melayu bahasanya dan Islam agamanya.
b.
Etnis
Cina di Malaysia
Salah
satu ras lain yang mendominasi di Malaysia adalah etnik China- Malaysia yang
jumlahnya 23,7%. Nenek moyang China di Malaysia memiliki asal usul yang
berbeda-beda. Mereka dikenali dari berbagai bahasa yang digunakan. Jumlah paling besar
orang China di Malaysia berasal dan Provinsi Fujian dan Guang Dong di China
Selatan. Pada abad ke-19 dan ke-20 berbagai macam perdagangan dan profesi
membuat mereka sama dengan kelompok dialeknya sendiri. Akibatnya, penyebaran
kelompok dialek di Semenanjung Malaya dan Borneo utara berbeda antara satu
kawasan dengan kawasan lainnya, tiap wilayah telah dicemani oleh etnik China
dan kelompok yang memiliki dialek khusus.
Penduduk
China yang berasal dan bagian selatan Fujian yang nmbentuk jumlah paling besar
disebut sebagal China Hokkien. Sebagian besar penduduk China di Malaya yang
dating sebelum abad ke-1 8 datang dan Amoy dan Zhangzhou. Mereka tinggal di
daerah Penang dan Malaka kemudian membentuk
bagian besar dan penduduk lokal China di sana. Dan abad ke-19 hingga sekarang
makin banyak China Hokkian bermukim di Malaya. Mereka mendominasi sektor
perkebunan karet dan sektor-sektor keuangan di Malaya. Sebagian besar orang
China yang berbahasa Hokkian kebanyakan tinggal di Semenanjung Malaya dan
membentuk kelompok dialek yang lebih besar dl banyak negara bagian seperti
Penang, Malaka, Kelantan, Terengganu, dan.Kedah. Di wilayah Borneo, China
Hokkian pun berjumlah cukup besar di kalangan komunitas China dan dapat
ditemukan di kota-kota besar khususnya Kuching dan Sibu.[3]
Pendatang
China Fuzhou (juga dikenal dengan sebutan Hokchew
atau Foochow di antara kaum Hokkian
dan Kanton) juga datang dengan jumlah yang besar selama abad ke-19. Mereka inilah
yang kemudian mendominasi dalam bidang perusahaan dan industri pada abad ke 20.
China Foochow membentuk kelompok dialek terbesar di negara bagian Sarawak
terutama sekitar Sungai Rajang, walaupun sejumlah Foochow ini juga tinggal di
beberapa kota di kawasan Semenanjung Malaya, misalnya di Sitiawan (Perak) dan
Yong Peng (Johor).
Sejumlah
besar kaum Hakka membangun pemukiman di bagian barat Malaya dan Borneo utara.
Pada abad ke-19, mereka bekerja di sektor pertambangan karena di kawasan
tersebut baja dan emas diternukan. Keturunan dan para penambang itu membenrnk
komunitasChina yang cukup besar jumlahnya di Selangor, Perak (terutama di
kotaTaiping dan Ipoh), Sarawak, dan Negeri Sembilan. Setelah industri industri
emas dan timah menurun pada abad ke20, banyak di antara mereka kembali ke
industri perkebunan karet sehingga sebagian dan para China Hakka mi tinggal di
Kedah (terutama di Sungai Petani) dan Johor (terutama di Kulai dan Kluang) .
China
Kanton juga ikut serta dalam perdagangan emas dan baja bersama kaum Hakka, dan
sering bentrok untuk memperebutkan hak-hak penambangan. Dan penghujung abad
ke-19, orang-orang China Kanton mengubah kegiatan ekonominya dengan berfokus
pada pengembangan bidang perbankan setelah industri penambangan baja menurun.
Orang-orang Kanton itu membangun pemukiman di daerah perkotaan dan akhirnya
membentuk suatu komunitas China dalam jumlah yang besar di Kuala Lumpur, Kinta
Valley (Perak), Pahang, Negeri Sembilan, dan kota-kota utama di Sabah,
khususnya Sandakan.
Para
imigran dan kawasan Chaoshan China mulai membangun pemukiman di Malaya dalam
jumlah yang besar mulai abad ke 18, terutama di Provinsi Wellesley dan Kedah.
Para imigran mi bertanggungjawab membangun industri perkebunan lada di Malaya.
Kemudian, banyak lagi China Teochew yang bermigrasi ke Johor atas dorongan
Temenggung Ibrahim pada abad ke-19. Kota-kota baru yang dibangun dan ditinggali
oleh para pekerja perkebunan dan kawasan Chaosan. Orang-orang Teochew berjumlah
sangat besar dalam komunitas China di Johor Baru dan kota-kota utama sepanjang
daerah pantai Johor Barat (terutama Pontian, Muar, dan dalam jumlah yang lebih
rendah di Batu Pahat) yang merupakan kota bagi daerah pedalaman di negara
bagian Johor.
Banyak
wilayah-wilayah di Sarawak dan Sabah juga ditinggali orang-orang Teochews,
kebanyakan dan mereka adalah keturunan para pekerja perkebunan yang juga
menanam lada, sebagaimana meniru apa yang dilakukan kaumnya di Johor. Jumlah
yang lebih kecil dan orang-orang Teochew juga dapat ditemukan di negara bagian
lainnya, terutama Sabak Bernam (Selangor). Di sana orang-orang Teochew banyak
yang menjadi petani padi sebagaimana sama dengan yang terjadi di daerah
pedalaman negara bagian Malaka.
Imigran
dan Hainan (China) mulai berpindah ke Malaya dan Borneo Utara mulai abad ke-19.
Jumlah mereka sangat sedikit. Orang-orang Hainan ada yang bekerja sebagai koki
di keluargakeluarga China yang kaya di kawasan selat, sedangkan yang lainnya
berbisnis di bidang penikanan. Mereka membentuk suatu kelompok dialek yang
banyak di distrik Kemaman (Terengganu) dan Pulau Ketam (Selangor), juga di
Penang dan Johor Baru. Komunitas Hainan yang jumlahnya lebih sedikit dapat
ditemukan di Sarawak dan Sabah yang banyak bekerja sebagai pemilik warung kopi
baik di kota maupun di desa.
c.
Etnis
Lain di Malaysia
Selain
itu, terdapat suku asli (Aborigin) di Sabah dan Sarawak sejumlah 11% dan
keseluruhan penduduk. Melebihi separo bagian dan keseluruhan penduduk, pribumi
non-melayu menjadi kelompok dominan di negara bagian Sarawak (30%-nya adalah
Dayak Iban), dan mendekati 60% penduduk Sabah (1 8%-nya adalah KadazanDusun,
dan 17%-nya adalah Suku Bajau).
Bumiputra non-Melayu itu terbagi atas puluhan kumpulan ras tetapi
memihiki budaya umum yang sama. Hingga abad ke-20, kebanyakan dan mereka
mengamalkan kepercayaan tradisional, tetapi kini telah banyak yang telah
memeluk Kristen dan Islam. Masuknya ras lain sedikit banyak mengurangi
persentase penduduk pribumi di kedua negara bagian itu. Juga terdapat kelompok
aborigin dengan jumlah sedikit di Semenanjung, mereka biasa disebut orang ash.
Sedangkan,
etnik India-Malaysia sebanyak 7,1% penduduk. Sebagian besar komunitas India
adalah Tamil (85%), tetapi berbagai kelompok lainnya juga ada, termasuk India
Malayam, Punjab, dan Gujarat. Sebagian lagi penduduk Malaysia berdarah campuran
Timur Tengah, Thailand, dan Indonesia. Ada penduduk keturunan Eropa dan
Eurasia, termasuk Inggris yang menetap di Malaysia sejak zaman kolonial, dan
komunitas ‘Kristang’ banyak terdapat di negeri bagian Malaka. Sejumlah kecil
orang Khmer dan Vietnam juga ada yang menetap di Malaysia sebagai pengungsi
Perang Vietnam.[4]
Persebaran
penduduk Malaysia tidak merata, dengan lebih dari 17 juta jiwa tinggal di
Malaysia Barat (Semenanjung Malaysia), sedangkan tidak lebih dan 7 juta jiwa
tinggal di Malaysia Timur. Karena tumbuhnya industri padat tenaga kerja,
Malaysia memiliki 10% sampai 20% pekerja imigran dengan besarnya ketidakpastian
jumlah pekerja ilegal, terutama yang berasal dan Indonesia. Terdapat sejuta
pekerja imigran legal dan mungkin orang asing ilegal lainnya. Menurut sensus
terakhir negara bagian Sabah memiliki hampir 25% dan 2,7 juta penduduknya
terdaftar sebagai pekerja imigran ilegal. Tetapi, gambaran 25% ini diduga
kurang dari setengah gambaran yang diperkirakan oleh lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.
Sebagai
tambahan, menurut World Refrgee Survey 2008 yang diterbitkan oleh Komisi
Pengungsi dan Imigran Amerika Serikat, Malaysia menampung pengungsi dan pencari
suaka mendekati angka 155.700. Dan jumlah ini hampir 70.500 pengungsi dan
pencari suaka berasal dari Filipina, 69.700 dan Myanmar, dan 21.800 dan
Indonesia. Komisi Pengungsi dan Imigran Amerika Serikat menamai Malaysia
sebagai salah satu dari sepuluh tempat terburuk bagi pengungsi karena adanya
praktik diskriminasi negara kepada pengungsi. Petugas Malaysia dilaporkan
memulangkan pendatang secara langsung kepada penyelundup manusia pada 2007 [5]
d.
Konflik
Etnis di Malaysia
Ketimpangan
terjadi sejak awal dan diperlebar selama penjajahan. Selama penguasaan
kolonialisme Inggris, Melayu diberikan hak-hak istimewa dibandingkan etnik
non-Melayu, misalnya diberikan quota yang lebih banyak pekerjaan di sektor
pemerintahan. Ketika Federasi Malaya (Malaysia Barat) mendeklarasikan
kemerdekaannya pada 1957, Konstitusinya berisikan sebuah ketetapan (dalam ayat
153) yang memberikan hak-hak khusus bagi bangsa Melayu. Artinya memang konstitusi
yang digunakan di Malaysia seringkali hanya berpihak pada kepentingan salah
satu ras (suku) saja.
Komisi
Reid, yang menyusun draft konstitusi itu menyatakan bahwa, “In due course the present preferences should
be reduced and should ultimately cease.” Ketika Malaya bergabung dengan
Singapura, Sabah, dan Sarawak pada 1963 dalam Federasi Malaysia) konstitusi
barn mempertahankan artikel 153, dan definisi bumiputra diperluas dengan
mencakup suku-suku ash di Sabah dan Sarawak di Malaysia Timur. Karena terjadi
ketegangan antara pemerintah pusat (federal) dengan negara bagian dan
penentangan terhadap hak-hak khusus etnik Melayu, maka Singapura keluar dan
Federasi pada 1965.
Komisi
Reid menekankan bahwa maksud dari artikel 153 tersebut adalah menghilangkan
ketidakseimbangan antara etnik China dan Malaysia untuk menciptakan kesetaraan
ekonomi. Tetapi, di masa-masa awal pembangunan untuk mengisi kemerdekaan
Malaysia, pendapatan ekonomi bumiputra tidak juga meningkat dan hanya
mendapatkan 2,4% dan seluruh ekonomi, sisanya dikuasai China dan pihak-pihak
luar negeri. Inilah yang memicu kerusuhan rasial pada 13 Mei 1969 tersebut.
Karena
kerusuhan, pemerintah mengumumkan keadaan darurat dan Parlemen dibekukan.
Pemerintah membentuk National Operations
Council (NOC), diketuai olehTunAbdul Razak. Target awal kebijakan NEP
adalah untuk mengubah rasio kepemilikan ekonomi di Malaysia dari 2,4:33:63
(bumiputra: orang Malaysia lain: orang luar negeri) menjadi 30:40:30. Target
itu dilakukan dengan meredistribusi kekayaan untuk meningkatkan kepemilikan
perusahaan-perusahaan milik bumiputra dan 2,4% menjadi 30% dan seluruh
kepemilikan saham nasional. Target 30% untuk bumiputra digagas oleh Ismail
Abdul Rahman setelah pemerintahannya tidak mampu mendatangkan konsensus dalam
sebuah tujuan kebijakan yang sesuai.[6]
Kerusuhan
1969 yang menyebabkan kematian ribuan orang menyadarkan bahwa jika ketimpangan
tidak diatasi maka akan terjadi sebuah kehancuran negeri. Hal inilah yang
memicu munculnya Kebijakan Ekonomi
Baru (New Economic Policy/NEP),
sebuah kebijakan yang ambisius dan kontroversial untuk mengubah struktur ekonomi
sosial masyarakat Malaysia. Diluncurkan
pada 1971 di bawah pimpinan Perdana Menteri Tun Abdul Razak, NEP bertujuan
menghilangkan ketimpangan ekonomi antara minoritas etnik China yang kaya dengan
mayoritas etnik Melayu yang miskin.[7]
Pada
1975, pemerintah menciptakan insentif untuk memperluas industri manufaktur
berskala besar dan bagi industri energi intensif. Heavy Industries Corporation
of Malaysia (HICOM), misalnya, dibangun untuk membantu industri besi,
aluminium, kertas, dan ampas kayu, baja, semen, sepeda motor, dan rekayasa
teknologi berat. Pada saat yang sama, insentif ekspor juga diberikan.[8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar