Jumat, 16 Desember 2016

Gambaran Perlawanan di Wilayah Sahrawi (skripsi dan tesis)

Sahrawi atau disebut juga dengan West Sahara merupakan wilayah yang telah memiliki pemerintahan sendiri namun bagi Maroko, Sahrawi merupakan satu kesatuan. Keinginan Sahrawi menjadi sebuah negara terlepas dari pemerintahan Maroko  menyebabkan Maroko dan Sahrawi mengalami konflik berkepanjangan. Serupa dengan berbagi gerakan separatisme di dunia maka gerakan di wilayah Sahrawi merupakan gerakan yang dibangun atas keinginan rakyat untuk mendapatkan pemerataan hasil pembangunan. Namun yang menjadi perbedaan dari gerakan di Sahrawi ini adalah letak yang berada di antara Maroko dan Mauritania membuat kedua negara ini terus melakukan klaim terhadap wilayah ini sementara bagi rakyat di wilayah ini juga tetap untuk mempertahankan upaya memisahkan dan memerdekakan diri.
Dalam perundingan terakhir yang dilaksanakan antara pemerintah Maroko, Front Polisario selaku perwakilan gerakan di Sahrawi dan wakil sekjen PBB selaku penengah  pada bulan Juli dan Agustus 2007 di New York ternyata tidak membuahkan hasil. Pemerintah Maroko menawarkan untuk melakukan otonomi khusus bagi wilayah Sahrawi namun oleh perwakilan gerakan, usul tersebut ditolak dan tetap menginginkan kemerdekaan. Pada hasil akhir perundingan maka disepakati untuk melakukan referendum. Namun masih besar kemungkinan bahwa pemerintah Maroko untuk melakukan berbagai kebijakan termasuk melakukan kebijakan pertahanan untuk mempertahankan wilayah Sahrawi dalam wilayah kesatuan negara.
Gerakan perlawanan di wilayah Sahrawi merupakan gerakan yang dilatar belakangi ketidak adilan dalam bidang ekonomi dan menjadi sebuah perilaku politik dimana upaya ini diteruskan menjadi upaya artikulasi dari kepentingan yang terbentuk dalam suatu masyarakat. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan alasan separatisme seperti pada wilayah Sahrawi yaitu pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern, konflik diantara kelompok-kelompok pemimpin politik dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keberadaan kelompok intelektual merupakan alasan yang melatar belakangi terbentuknya gerakan perlawanan Sahrawi, yaitu adanya sekelompok mahasiswa pada tahun 1971. Bibit ini kemudian memunculkan kelompok Front Polisario yang muncul pada tahun 1973. Ancaman separatisme ini semakin rumit karena negara tetangga Maroko seperti Aljazair dan Mauritania juga melibatkan diri bahkan Kenya dan Burundi, dua negara Afrika Tengah ikut mendukung kelompok Front Polisario.[1]
 Sementara pengaruh kepentingan kelompok pemimpin pemerintah yang membawa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintah menjadi menyusup ke segala kehidupan masyarakat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu semakin mudah dipengaruhi. Maka dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang teroganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Pada perkembangan terakhir, Sahrawi menolak adanya tawaran otonomi pemerintah Maroko, dengan demikian keputusan ini menegaskan keinginan  Sahrawi untuk tetap menuntut adanya pemisahan wilayah sehingga mereka dapat menentukan nasibnya sendiri. Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1754 (2007) akhirnya diputuskan untuk melakukan referendum untuk keputusan tersebut. Meskipun demikian, referendum tersebut juga masih melalui berbagai pertemuan.
Keputusan untuk melakukan referendum ini Dalam perundingan terakhir yaitu dalam perundingan Manhasset yang diwakili oleh kelompok Polisario (perwakilan Sahrawi), perwakilan pemerintah Maroko, perwakilan United Nations Mission for the Referendum in Western Sahara (MINURSO) dan perwakilan negara penengah yaitu Algeria dan Mauritania.[2]
Pelaksanaan referendum ini bagi pemerintah Maroko menjadi suatu ancaman. Referendum menjadi proses yang memdekatkan upaya pemisahan wilayah yang dilakukan oleh gerakan separatisme di Sahrawi. Oleh karenanya, kebijakan pertahanan Maroko menjadi suatu upaya yang harus dilakukan dalam mencegah pemisahan wilayah Sahrawi.
Dalam menghadapi upaya pemisahan ini maka pemerintah Maroko menjalankan kebijakan pertahanan melalui dua skenario yaitu kebijakan pertahanan yang didasarkan hanya pada kekuatan bangsa dalam bidang militer dan kebijakan pertahanan yang dilakukan melalui peningkatan mutu hubungan diplomatis. Dalam dua skenario ini jelas bahwa skenario yang terakhir diambil pemerintah Maroko adalah penggunaan kekuatan militer atau melalui konfrontasi langsung. Kerugian ini akan semakin meluas seiring dengan makin besarnya kekuatan militer yang dimiliki oleh kedua belah pihak.[3]
Kedua skenario yang dirancang oleh kebijakan pertahanan Maroko ini tidak terpisah dari kekuatan bangsa Maroko sendiri. Dalam bidang militer maka kekuatan militer pemerintah Maroko terletak pada kekuatan Maroccon Royal Guard. Maroccon Royal Guard merupakan pasukan angkatan bersenjata yang berada di bawah langsung kepimpinan King Hassan. Pasukan ini memiliki 6000 pasukan dengan perincian sebagai berikut:
·         4 Batalion Infantri dengan masing-masing terdiri dari 25 perwira dan 1000 pasukan.
·         2 skuadron kavaleri[4]
Upaya Maroko dalam bidang militer adalah  dengan membangun kekuatan militer yang berpusat pada pemeliharaan kemampuan seandainya terjadi konfrontasi langsung. Tercakup didalamnya kerangka strategis dan perkembangan aktif mengenai pertahanan yang terkoordinir. Dasar landasan lain adalah mengenai strategi dibangunnya pasukan “elit” untuk memperlancar angkatan perangnya.[5]
Dalam peningkatan hubungan diplomasi maka pemerintah Maroko melakukan antara lain dengan menawarkan kompensasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Maroko dalam kurun waktu 1956-1999. Dalam kurun waktu ini maka banyak terjadi kasus pelanggaran HAM seperti penculikan dan hilangnya, penganiayaan serta penyiksaan warga Sahrawi. Hal ini juga menjadi upaya untuk ”menawarkan sejarah” yang timbul pada hubungan historis antara Sahrawi dan Maroko. Pada bulan Maret 2007, pemerintah Maroko juga  memperlakukan undang-undang anti penyiksaan. Sebenarnya hubungan diplomatis ini masih menjadi agenda yang banyak kekurangan apabila dipandang oleh Sahrawi karena banyak isu lainnya yang masih belum mendapatkan perbaikan dari pemerintah Maroko. Isu tersebut antara lain adalah masalah kebebasan pers.[6]



Tidak ada komentar: