Sahrawi atau disebut juga dengan West Sahara merupakan wilayah yang telah memiliki pemerintahan
sendiri namun bagi Maroko, Sahrawi merupakan satu kesatuan. Keinginan Sahrawi
menjadi sebuah negara terlepas dari pemerintahan Maroko menyebabkan Maroko dan Sahrawi mengalami
konflik berkepanjangan. Serupa dengan berbagi gerakan separatisme di dunia maka
gerakan di wilayah Sahrawi merupakan gerakan yang dibangun atas keinginan
rakyat untuk mendapatkan pemerataan hasil pembangunan. Namun yang menjadi
perbedaan dari gerakan di Sahrawi ini adalah letak yang berada di antara Maroko
dan Mauritania membuat kedua negara ini terus melakukan klaim terhadap wilayah
ini sementara bagi rakyat di wilayah ini juga tetap untuk mempertahankan upaya
memisahkan dan memerdekakan diri.
Dalam perundingan terakhir yang dilaksanakan antara
pemerintah Maroko, Front Polisario selaku perwakilan gerakan di Sahrawi dan
wakil sekjen PBB selaku penengah pada
bulan Juli dan Agustus 2007 di New York ternyata tidak membuahkan hasil.
Pemerintah Maroko menawarkan untuk melakukan otonomi khusus bagi wilayah
Sahrawi namun oleh perwakilan gerakan, usul tersebut ditolak dan tetap
menginginkan kemerdekaan. Pada hasil akhir perundingan maka disepakati untuk
melakukan referendum. Namun masih besar kemungkinan bahwa pemerintah Maroko
untuk melakukan berbagai kebijakan termasuk melakukan kebijakan pertahanan
untuk mempertahankan wilayah Sahrawi dalam wilayah kesatuan negara.
Gerakan perlawanan di wilayah Sahrawi merupakan gerakan
yang dilatar belakangi ketidak adilan dalam bidang ekonomi dan menjadi sebuah
perilaku politik dimana upaya ini diteruskan menjadi upaya artikulasi dari
kepentingan yang terbentuk dalam suatu masyarakat. Terdapat beberapa alasan
yang menyebabkan alasan separatisme seperti pada wilayah Sahrawi yaitu pengaruh
kaum intelektual dan komunikasi massa modern, konflik diantara
kelompok-kelompok pemimpin politik dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam
urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keberadaan kelompok intelektual
merupakan alasan yang melatar belakangi terbentuknya gerakan perlawanan Sahrawi,
yaitu adanya sekelompok mahasiswa pada tahun 1971. Bibit ini kemudian
memunculkan kelompok Front Polisario yang muncul pada tahun 1973. Ancaman
separatisme ini semakin rumit karena negara tetangga Maroko seperti Aljazair
dan Mauritania juga melibatkan diri bahkan Kenya dan Burundi, dua negara Afrika
Tengah ikut mendukung kelompok Front Polisario.[1]
Sementara pengaruh
kepentingan kelompok pemimpin pemerintah yang membawa konsekuensi
tindakan-tindakan pemerintah menjadi menyusup ke segala kehidupan masyarakat.
Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu semakin mudah
dipengaruhi. Maka dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah merangsang
timbulnya tuntutan-tuntutan yang teroganisir untuk ikut serta dalam pembuatan
keputusan politik.
Pada perkembangan terakhir, Sahrawi menolak adanya
tawaran otonomi pemerintah Maroko, dengan demikian keputusan ini menegaskan
keinginan Sahrawi untuk tetap menuntut
adanya pemisahan wilayah sehingga mereka dapat menentukan nasibnya sendiri.
Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1754 (2007) akhirnya diputuskan untuk
melakukan referendum untuk keputusan tersebut. Meskipun demikian, referendum
tersebut juga masih melalui berbagai pertemuan.
Keputusan untuk melakukan referendum ini Dalam
perundingan terakhir yaitu dalam perundingan Manhasset yang diwakili oleh
kelompok Polisario (perwakilan Sahrawi), perwakilan pemerintah Maroko, perwakilan
United Nations Mission for the Referendum
in Western Sahara (MINURSO) dan perwakilan negara penengah yaitu Algeria dan
Mauritania.[2]
Pelaksanaan referendum ini bagi pemerintah Maroko menjadi
suatu ancaman. Referendum
menjadi proses yang memdekatkan upaya pemisahan wilayah yang dilakukan oleh
gerakan separatisme di Sahrawi. Oleh karenanya, kebijakan pertahanan Maroko
menjadi suatu upaya yang harus dilakukan dalam mencegah pemisahan wilayah
Sahrawi.
Dalam
menghadapi upaya pemisahan ini maka pemerintah Maroko menjalankan kebijakan
pertahanan melalui dua skenario yaitu kebijakan pertahanan yang didasarkan
hanya pada kekuatan bangsa dalam bidang militer dan kebijakan pertahanan yang
dilakukan melalui peningkatan mutu hubungan diplomatis. Dalam dua skenario ini
jelas bahwa skenario yang terakhir diambil pemerintah Maroko adalah penggunaan
kekuatan militer atau melalui konfrontasi langsung. Kerugian ini akan semakin
meluas seiring dengan makin besarnya kekuatan militer yang dimiliki oleh kedua
belah pihak.[3]
Kedua skenario yang dirancang oleh kebijakan pertahanan
Maroko ini tidak terpisah dari kekuatan bangsa Maroko sendiri. Dalam bidang
militer maka kekuatan militer pemerintah Maroko terletak pada kekuatan Maroccon Royal Guard. Maroccon Royal Guard merupakan pasukan
angkatan bersenjata yang berada di bawah langsung kepimpinan King Hassan. Pasukan
ini memiliki 6000 pasukan dengan perincian sebagai berikut:
·
4 Batalion Infantri dengan masing-masing terdiri dari 25 perwira
dan 1000 pasukan.
·
2 skuadron kavaleri[4]
Upaya Maroko dalam bidang militer adalah dengan membangun kekuatan militer yang
berpusat pada pemeliharaan kemampuan seandainya terjadi konfrontasi langsung.
Tercakup didalamnya kerangka strategis dan perkembangan aktif mengenai
pertahanan yang terkoordinir. Dasar landasan lain adalah mengenai strategi
dibangunnya pasukan “elit” untuk memperlancar angkatan perangnya.[5]
Dalam peningkatan hubungan diplomasi maka pemerintah
Maroko melakukan antara lain dengan menawarkan kompensasi terhadap pelanggaran
hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Maroko dalam kurun waktu 1956-1999.
Dalam kurun waktu ini maka banyak terjadi kasus pelanggaran HAM seperti
penculikan dan hilangnya, penganiayaan serta penyiksaan warga Sahrawi. Hal ini
juga menjadi upaya untuk ”menawarkan sejarah” yang timbul pada hubungan
historis antara Sahrawi dan Maroko. Pada bulan Maret 2007, pemerintah Maroko
juga memperlakukan undang-undang anti
penyiksaan. Sebenarnya hubungan diplomatis ini masih menjadi agenda yang banyak
kekurangan apabila dipandang oleh Sahrawi karena banyak isu lainnya yang masih
belum mendapatkan perbaikan dari pemerintah Maroko. Isu tersebut antara lain
adalah masalah kebebasan pers.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar