Sabtu, 16 November 2019

Teori Keagenan dan Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

Permasalahan keagenan tidak hanya terjadi antara pemegang saham dengan manajemen, melainkan di perusahaan yang kepemilikannya dapat juga terjadi antara pemilik saham mayoritas dan manajemen dengan pemegang saham minoritas (Villalonga dan Amit 2006). Salah satu kelemahan praktik tata kelola di Indonesia terkait dengan minimnya pengungkapan mengenai kepemilikan tidak langsung di dalam perusahaan, selain itu juga masih banyak yang belum mengungkapkan anggota dewan direksi atau komisaris yang menjabat di tempat lain, dan minimnya pengungkapan mengenai proses nominasi di jajaran dewan komisaris atau direksi. Kelemahankelemahan tersebut dapat disebabkan dengan struktur kepemilikan yang secara langsung akan mempengaruhi siapa pengendali dari perusahaan tersebut. 
Secara umum struktur kepemilikan dari perusahaan-perusahaan di Asia masih banyak didominasi oleh unsur kekeluargaan (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Classen, Djankov, dan Lang (2000) melakukan penelitian di negara-negara Asia Selatan yang menunjukkan bahwa sulit untuk membedakan batasan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan sebagai manajemen, banyak diantaranya dijalankan oleh anggota keluarga pemilik. Di Indonesia sendiri masih didominasi oleh perusahaan keluarga, perusahaan yang struktur kepemilikannya sudah tersebar hanya sebesar 0,6% (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Carney dan Child (2013) melakukan penelitian kembali mengenai perkembangan struktur kepemilikan di Asia Selatan. Indonesia mengalami sedikit peningkatan di dalam perusahaan yang kepemilikannnya tersebar menjadi 3,8% dan penurunan kepemilikan keluarga di perusahaan terbuka sebesar 11,3% dari survey Classen, Djankov, dan Lang (2003) yaitu dari 68,6% menjadi 57,3% (Carney dan Child 2013). 
Perusahaan dengan dominasi kepemilikan keluarga dapat memiliki kinerja yang lebih efisien dikarenakan biaya untuk melakukan pengawasan yang lebih kecil (Fama dan Jensen, 1983). Biaya pengawasan lebih kecil disebabkan karena kepemilikannya yang terkonsentrasi sehingga konflik yang terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan dengan kepemilikan tersebar. Di samping itu perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang dominan dikelola oleh anggota keluarganya sendiri sehingga dapat lebih dipercaya, sehingga konflik keagenan menjadi berkurang (Fama dan Jensen 1983). Di sisi lain permasalahan keagenan yang timbul bukan lagi antara pemilik dan manajemen, melainkan pemegang saham minoritas dengan pemilik keluarga, termasuk manajemen yang berasal dari keluarga. Pemegang saham mayoritas, dalam hal ini keluarga, memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasinya di dalam perusahaan, melalui manajemennya dan juga pembatasan praktik GCG (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Pembatasan praktik GCG pada akhirnya membatasi perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan untuk perlakuan yang setara terhadap pemegang saham. Sehingga akhirnya konflik kepentingan ini berujung pada ekspropriasi oleh pemegang saham keluarga terhadap pemegang saham minoritas, dengan praktik tata kelola perusahaan yang tidak cukup baik (Faccio, Lang, dan Young 2001).

Tidak ada komentar: