A. Definisi dan Fungsi
Edible film adalah lapisan
tipis sebagai pengemas bahan makanan yang dapat dimakan. Penggunaan edible
film dengan kemampuannya sebagai penghambat uap air, lemak, dan O2 di
dalam setiap sistem pangan diharapkan dapat mengurangi timbulnya sampah dari
bahan pengemas (McHugh dan Krochta, 1994). Edible film juga berfungsi
untuk menghambat perpindahan larutan, memperbaiki sifat mekanik makanan,
melindungi senyawa flavor volatil, dan sebagai pembawa bahan aditif pada
makanan (Fennema, 1976).
Penggunaan edible film sebagai pengemas bahan pangan
memiliki beberapa keunggulan, di antaranya bisa langsung dikonsumsi bersama
dengan produk yang dikemas. Bahan pembuat edible film relatif tidak
mahal. Edible film dapat mengurangi atau menghilangkan penggunaan
pengemas inedible, mengurangi polusi lingkungan, meningkatkan sifat
mekanik, organoleptik, kualitas gizi, serta daya simpannya (Guilbert dan
Biquet, 1990 dalam Bureau dan Multon, 1996).
Komponen edible film (biopolimer) dibagi dalam tiga
kategori, yaitu hidrokoloid, lipid, dan komposit (campuran). Hidrokoloid yang
dapat digunakan meliputi protein, derivat selulosa, alginat, pektin, pati, dan
polisakarida lainnya. Lipid yang dapat digunakan meliputi lilin (waxes),
asil gliserol, dan asam lemak. Komposit merupakan campuran antara komponen
lipid dan hidrokoloid. Film komposit dapat berupa dua lapis (bilayer)
yakni lapisan pertama berupa hidrokoloid dan lapisan lainnya lipid atau
merupakan gabungan antara komponen lipid dan hidrokoloid yang membentuk satu
lapis film (McHugh dan Krochta, 1994).
Edible film yang dibuat dari
hidrokoloid memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap O2,
CO2, dan lipid serta memiliki sifat-sifat mekanis yang
mampu meningkatkan integritas struktural pada produk yang mudah retak.
Kekurangan edible film dari hidrokoloid ini adalah tidak dapat
melindungi produk dari migrasi uap air karena sifatnya yang hidrofilik.
Sedangkan edible film yang dibuat dari lipid memiliki sifat-sifat yang
sangat baik untuk melindungi produk dari migrasi uap air. Pemakaian lipid
sebagai komponen murni dalam pembuatan edible film sangat terbatas
karena kurangnya ketahanan serta integritas struktural film yang
dihasilkan. Untuk mengatasi kelemahan kedua jenis edible film tersebut
maka dilakukan penggabungan keduanya. Hidrokoloid pada edible film
komposit mampu memberikan integritas struktural serta ketahanan yang baik dan
lipid mampu melindungi produk dari migrasi uap air (McHugh dan Krochta, 1994).
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Edible Film
Dalam pembuatan edible film, faktor-faktor yang
perlu diperhatikan antara lain:
- Suhu
- Konsentrasi Polimer
- Plasticizer
- Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate)
- Kekuatan renggang putus (Tensile Strength) dan Perpanjangan (Elongasi)
- Ketahanan dalam air (Water Resistance)
- Pensuspensian bahan ke dalam pelarut.
- Pengaturan suhu
- Penambahan Plasticizer
- Penambahan asam lemak dan gliserol
- Pengeringan.
Pengeringan dilakukan untuk menguapkan pelarut,
maka akan diperoleh edible film. Suhu yang digunakan akan mempengaruhi
waktu pengeringan dan kenampakan edible film yang dihasilkan
Perlakuan suhu diperlukan untuk
membentuk edible film yang utuh, tanpa perlakuan panas kemungkinan
terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil sehingga pada saat film
dikeringkan akan menjadi retak, dan untuk membentuk pati tergelatinisasi,
sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal dari edible film.
Kisaran suhu gelatinisasi
pati rata-rata 64,5 – 70 °C (McHugh dan Krochta, 1994).
Konsentrasi pati ini sangat berpengaruh,
terutama pada sifat fisik edible film yang dihasilkan dan juga
menentukan sifat pasta yang dihasilkan. Menurut Krochta dan Johnson (1997),
semakin besar konsentrasi pati, maka jumlah polimer penyusun matrik film
semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal.
Plasticizer
ini merupakan bahan volatil yang ditambahkan ke dalam formula film
akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik edible film
yang terbentuk karena mengurangi sifat intermolekul dan menurunkan ikatan
hidrogen internal. Plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan
penambahan plasticizer dalam edible film sangat penting
karena diperlukan untuk mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh
kekuatan intermolekuler ekstensif (Gontard et al., 1993). Menurut
Krochta dan Johnson (1997), plasticizer polyol yang sering digunakan
yakni seperti gliserol dan sorbitol. Konsentrasi gliserol 1 – 2 % dapat
memperbaiki karakterisasi film.
C. Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film
Sifat fisik edible film merupakan sifat kenampakan
dari edible film, yaitu warna, kebeningan, kehalusan permukaan, dan
penampakan keseluruhan. Ketebalan film merupakan sifat fisik film
yang besarnya dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut pada larutan
pembentuk film dan ukuran pelat kaca pencetak. Ketebalan film mempengaruhi
laju uap air, gas, dan senyawa volatil lainnya. Sebagai kemasan, semakin tebal edible
film maka kemampuan penahannya semakin besar sehingga umur simpan produk
akan semakin panjang. Dalam fungsi lainnya ketebalan edible film mempengaruhi
kenampakan produk yang dikemas. Semakin tebal edible film yang digunakan
akan memberikan warna yang tidak transparan sehingga kenampakan produk menjadi
kurang menarik (Gontard et al., 1993)
Sifat mekanik edible film menunjukkan kekuatan edible
film atau mudah tidaknya edible film mengalami kerusakan selama
melalui tahapan proses pengolahan bahan pangan yang dikemasnya. Sifat
mekaniknya adalah sebagai berikut:
a. Laju transmisi uap air adalah jumlah uap
air yang hilang persatuan waktu dibagi dengan luas area film. Laju
transmisi uap air menentukan permeabilitas uap air film (McHugh dan
Krochta, 1994).
b. Kekuatan perenggangan atau tensile
strength film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang
diberikan saat bahan tersebut berada dalam renggang maksimumnya. Kekuatan
renggang putus adalah ukuran untuk kekuatan film yang secara spesifik
merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan
sebelum putus atau sobek. Menurut Krochta dan Johnson (1997), edible film
harus dapat dipertahankan keutuhannya selama pemrosesan bahan yang dikemasnya.
Cara untuk menguji kemampuannya harus dilakukan dengan evaluasi terhadap
sifat-sifat yang meliputi kekuatan renggang putus dan perpanjangan.
c. Sifat film yang penting untuk
penerapannya sebagai pelindung makanan adalah ketahanannya di dalam air.
Menurut Gontard et al., (1993), apabila aktivitas air tinggi (saat film
harus kontak dengan air) selama proses pengolahan makanan yang dikemasnya, maka
film harus seminimal mungkin larut dalam air. Edible film dengan
kelarutan air yang tinggi juga dikehendaki, misalnya pada pemanfaatannya bila
dilarutkan atau dalam makanan panas.
D. Mekanisme Pembentukan Edible Film
Pembentukan edible film dari pati, pada prinsipnya
merupakan gelatinisasi molekul pati. Proses pembentukan film adalah
suatu fenomena pembentukan gel akibat perlakuan suhu, sehingga terjadi
pembentukan matriks atau jaringan (McHugh dan Krochta, 1994).
Prinsip pembentukan edible film, melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Pembentukan larutan film dimulai
dengan mensuspensi bahan ke dalam pelarut, misalnya air, etanol, dan pelarut
lain.
2. Pengaturan suhu mempunyai tujuan untuk
mencapai suhu gelatinisasi pati, sehingga pati dapat tergelatinisasi sempurna
dan diperoleh film yang homogen serta utuh. Gelatinisasi merupakan
peristiwa pembentukan gel yang dimulai dengan hidrasi pati, yaitu penyerapan
molekul - molekul air oleh molekul - molekul pati. Apabila tanpa adanya
pemanasan, kemungkinan terjalin interaksi intermolekuler sangat kecil, sehingga
pada saat dikeringkan film menjadi retak. Gelatinisasi dapat terjadi
apabila air melarutkan pati yang dipanaskan sampai suhu gelatinisasinya (McHugh
dan Krochta, 1994). Terjadinya gelatinisasi granula pati itu
disebabkan karena molekul – molekul amilosa secara fisik hanya dipertahankan
oleh ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus karboksil akan
tertarik pada muatan negatif atom oksigen yang berasal dari gugus hidroksil
yang lain. Dengan naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut akan semakin
lemah (Winarno, 1997).
3. Plasticizer
merupakan substansi non volatile
yang ditambahkan ke dalam suatu bahan untuk memperbaiki sifat fisik dan mekanik
bahan tersebut. Pada pembuatan edible film sering ditambahkan plasticizer
untuk mengatasi sifat rapuh film, sehingga akan diperoleh film
yang kuat, fleksibel, dan tidak mudah putus. Oleh karena itu plasticizer
merupakan komponen yang cukup besar peranannya dalam pembuatan edible film.
Menurut Gontard et al. (1992), plasticizer yang umum digunakan
adalah gliserol, sorbitol, dan poli etilen glikol (PEG). Penggunaan plasticizer
harus sesuai dengan polimer, dan konsentrasi yang digunakan berkisar 10 – 60 %
berat kering bahan dasar tergantung kekakuan polimernya.
a.
Penambahan asam lemak
Penambahan asam lemak akan menurunkan
permeabilitas uap air film yang dihasilkan. Asam lemak yang sering
ditambahkan pada permukaan edible film adalah asam palmitat. Asam
palmitat termasuk asam lemak jenuh yang berasal dari nabati dan hewani, lebih
reaktif apabila dibandingkan dangan asam lemak tidak jenuh, dan larut dalam
air.
Dalam pembuatan edible film, asam
palmitat berfungsi memperbaiki sifat-sifat mekanik film. Penambahan asam palmitat mampu
meningkatkan perpanjangan dan kekuatan perenggangan film. Namun jika
melebihi titik kritisnya penambahan asam palmitat tersebut akan menurunkan
perpanjangan dan kekuatan perenggangan film (Min Lai and Huey, 1997).
b.
Gliserol
Gliserol dengan rumus kimia C3H8O3,
dengan nama kimia 1,2,3-propanatriol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat
dengan tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alcohol trivalent).
Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas air,
mengikat air, dan menurunkan Aw bahan. Penambahan gliserol yang berlebihan akan
menyebabkan rasa manis - pahit pada bahan. Penambahan gliserol akan
menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus, selain itu gliserol
dapat meningkatkan permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan zat
terlarut (Winarno, 1997).
Penambahan gliserol pada larutan pati
akan menghasilkan film yang lebih elastis dibandingkan tanpa penambahan
gliserol. Tetapi penambahan gliserol sebagai plasticizer dapat
menurunkan tensile strength, sedangkan persentase elongasi tidak
selalu menunjukkan kenaikan (Gontard et al., 1993)
.4. pengeringan. Pengeringan
dilakukan untuk menguapkan pelarut, maka akan diperoleh edible film.
Suhu yang digunakan akan mempengaruhi waktu pengeringan dan kenampakan edible
film yang dihasilkan.