Jumat, 04 Oktober 2024

Budaya Organisasi dalam Perspektif Islam


Budaya organisasi merupakan bagian dari proses
organisasi. Dengan adanya budaya organisasi dapat
menunjukkan identitas bagi organisasi yang membedakan antara
satu organisasi dengan yang lainnya. Juga menjadikan organisasi
memiliki sistem kekebalan untuk menjaga diri terhadap
perkembangan dan tantangan dari luar organisasi. Budaya
organisasi adalah nilai, norma, peraturan-peraturan, keyakinan,
bersama, falsafah yang anut organisasi. Tindakan hal-hal
tersebut adalah diyakini, diikuti, dihormati, dan disampaikan
kepada yang lain sehingga menjadi pembeda antara satu
organisasi dengan organisasi lainnya (Munandar, 2011: 152).
Objek dari budaya organisasi adalah hal-hal yang nampak
dan hal-hal yang tidak tampak. Hal-hal yang tampak tersebut
adalah seperti ritual-ritual, simbol-simbol, cerita, pola
berpakaian, dan bahasa, Sedangkan hal yang tidak tampak
adalah seperti nilai-nilai, keyakinan, falsafah, dan asumsi dasar.
Untuk eksistensi dari suatu organisasi maka budaya organisasi
harus disampaikan secara turun-temurun dari mulai pegawai
yang baru masuk sampai dengan pegawai yang lama. Dengan
tujuan agar dapat dijadikan suatu makna bersama, dalam
bertindak dan berinteraksi baik secara internal ataupun
eksternal. Proses penyampaian inilah yang disebut dengan
sosialisasi. Manfaat yang didapatkan dari terbentuknya budaya
organisasi adalah terbentuknya identitas organisasional yang
mana dengan identitas tersebut dapat memudahkan
pengelolahan sistem dalam organisasi. Secara pegawai akan
dapat mengambil sikap atau keputusan dalam mengahadapi
tantangan-tantangan secara internal ataupun eksternal
(Munandar, 2011: 155).
Dalam perspektif Islam dalam hal ini dalam Al-Quran dan
Hadits, terdapat isyarat-isyarat yang mengarah untuk
membangun budaya organisasi yang baik. yaitu tidak terbatas
pada keuntungan duniawi, namun juga untuk kebahgiaan di
akhirat. Demikian itu dapat diambil hikmah dari surat Al-Hujurat
ayat 13:
ٌََُّٓا َٰٓأ ٌَُ ٱن َُّاسَٔجَعَه َُۡ كُى ۡ شُع ُٕبا ا َٔأ َُثَى ٖ ٍِّ ذَكَس َ ئ ََِّا خَهَق َُۡ كُى ي
ٌَِّ أَكۡسَي َ َٔيَاَآَٰئِم َ نِتَعَازَف َُٰٕٓا ْئكُى ۡ ع ُِدٌَِّّللَِّ ٱأَتۡقَىكُى ۡئّللََّ ٱٞ عَه ٍِى
خَا ٍِس١١
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini turun menanggapi hinaan yang diterima Bilal,
ketika dia naik dinding Ka’bah untuk melakukan azab pada hari
pembalasan kota Makkah, Maka Nabi SAW memanggil orang-
orang yang menghina Bilal dan menegur sikap mereka yang
membangga-banggakan nasab (Wahbah Zuhaili, 1428H: 518).
Disebutkan dari Abu Daud bahwa ayat ini turun pada Abu
Hindin yang mana dia adalah tukang bekam Nabi SAW berkata:
Sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh Bani Bayadhah untuk
menikahkan Abu Hindin dengan anak perempuan diantara
mereka, maka mereka berkata pada Rasulullah SAW: (Apakah)
kami nikahkan anak-anak perempuan kami dengan budak-budak
kami? Maka turunlah ayat ini (Ahmad Mustofa, 1421H: 195).
Setelah Allah SWT menyatakan larangan untuk perbuatan
menghina, mencela, memberikan panggilan yang tidak baik,
berprasangka buruk, mencari-cari aib orang lain, dan berghibah.
Maka di ayat ini memperkuatkan tentang sebab dilarangnya
perbuatan tersebut. dapat dipahami ayat tersebut sebagai
isyarat pengakuan Allah SWT terhadap kehadiran berbagai suku-
suku, dan bangsa. Kehadiran tersebut menghadirkan perbedaan-
perbedaan yaitu warna kulit, kekayaan, kecukupan, keturunan,
dan kedermawanan. Hal-hal ini adalah hal yang nampak pada
umat manusia. Yang nampak tersebut, merupakan pengakuan
Allah atas apa yang melekat pada mereka dalam keragaman.
Maka Allah SWT menyampaikan atas keragaman tersebut untuk
saling mengenal. Rasa untuk saling berbagi pengetahuan yang
dimiliki sebagai suatu budaya yang diwariskan secara turun-
temurun kepada turunannya. Menjadikan suatu aturan, norma,
keyakinan, dan falsafah yang dianutnya, sebagai
way of life dari
kelompok tersebut.
Dengan kesamaan aturan, norma, dan falsafah yang
menjadi
waf of life suatu kelompok memiliki kerekatan dan
kedekatan satu sama lain. atau dalam istilah organisasi integrasi
internal. Demikian itu penting, untuk menjaga kekuatan
kebersamaan dalam menghadapi tantangan dari luar sehingga
sanggup beradaptasi dengan kondisi eksternal.
Dan surat Ali-Imron ayat 112 sebagai ontologi budaya
organisasi:ۡ
ُضُسِبَتٍَِۡٓى عَهُ ٱٍَِّنرِّنَّةَِّلَّ بِحَاۡم ٖ ي يَا ثُقِف َُٰٕٓا ْ ئ ٌٍََۡ أّٖللَِّ ٱَٔحَاۡم ٍَِّ
يِ ٱٍَِّن َُّاسُٔ بِغَضَب ٖ ي َٔبَآَٰءُّللَِّ ٱٍَِۡٓى َٔضُسِبَت ۡ عَهُٱِن ًَۡسۡك ََُة
ب ٌَُٔ ْ ٌَكۡفُس َُٕا َََُّٓى ۡ كَا ِذَ نِك َ بِأا ٌَ تٌَُّٕللَِّ ٱٌََٔقۡتُهَ ٱِۡلََۡۢا ٍَِآَٰءَبِغ ٍَۡس
حَق ّٖذ ٌََُُٕٔا ْ ٌَعۡتَد َّٔكَا ْ نِك َ ب ًَِا عَص َٕا١١١
Artinya:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat
kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang
demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Dalam tafsir
Jalalain, disebutkan bahwa dimanapun
mereka berada maka tidaklah mereka mendapatkan kemuliaan
dan tidak pula pegangan, kecuali jika mereka berpegangan pada
agama Allah dan janji atas orang-orang beriman. Yang demikian
itu janji mereka untuk keamanan yaitu dengan membayar jizyah
atau tidak ada bagi mereka perlindungan selain dengan hal
tersebut (Jalaluddin, 2003: 64).
Dan surah Al-Ahzab ayat 21, Al-Muntahanah ayat 4 dan 6
sebagai epistemologi budaya organisasi. Sedangkan aksiologi
budaya organisasi dapat diambil hikmahnya dari surah Ali Imron
ayat 112 dan ayat 103.
ِنَّقَدًِ زَس ُٕل ٌَ نَكُى ۡ ف كَاّْللَِّ ٱٌَسۡج ُٕا ٌَ كَا ًٍَِّ أُس َٕۡة حَس ََُة ٞ نَّٔللََّ ٱ
َ ٱٍَٕۡۡو نَ ٱَۡلَٰۡٓخِسَٔذَكَسّللََّ ٱكَث ٍِسا ا١١
Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yan mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.
Al-Muntahanah ayat 6:ۡ
ْنَقَدٌَسۡج ُٕا ٌَ كَا ًٍَِّ ٍِِٓى ۡ أُس َٕۡة حَس ََُة ٞ ن ٌَ نَكُى ۡ ف كَأَّللََّ ٱ
َ ٱٍَٕۡۡو نَٱٌَِّۡلَٰۡٓخِسٌَت ََٕل َّ فَا ٍَ َٔيَُّْٕللََّ ٱٱ ًَُُِّنۡغُ ٱًٍَِد نۡح٦
Artinya:
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya)
ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari
Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka
sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji
Pada ayat diatas menjelaskan tentang apa yang bisa dan
dapat dijadikan teladan pada Nabi Ibrahim dan para
pengikutnya, yaitu mengenai sikap, tingkah laku dan
kepribadiannya. Begitu juga orang-orang yang beriman yang
bersamanya. Teladan yang bisa diambil yaitu bahwa Ibrahim As
dengan tegas untuk tidak kompromi kepada orang-orang kafir,
selama mereka menolak untuk menyembah Allah SWT. Ayat ke 6
ini merupakan sebuah pengulangan dan penegasan, bahwa
dengan meneladani apa yang dilakukan oleh Ibrahim AS dan
para pengikutnya.
Al-Mumtahanah ayat 4:ۡ
َٔيَد ٍَِْى َ ئِبۡس ًَِٰٓ كَا ََت ۡ نَكُى ۡ أُس َٕۡة حَس ََُة ٞ فٱ ٌٍََُِّنَّريَع َْٰٓۥَ َٰٓ ئِذ ۡ يَان ُٕا
نِق َٕۡي ِِٓى ۡ ئ ََِّا بُسَء ٌٍُِِٔ د ي ٌَُٔ ۡ َٔي ًَِّا تَعۡاُد ؤُا ْ ي ُِكُىّۡللَِّ ٱُ كَفَس ََۡا بِكُى
َٔب ٍََُۡكُى ٍَََُُۡا َٔبَدَا بُ ٱَٔنۡعَد َ َٔةُ ٱِنۡاَغۡضَآَٰءُُِٕا ْ ب أَبَدًا حَتَّى تُإۡيَُِّللَِّ ٱ
َٔحۡد ٍََِٰٓۥَ َٔيَا َٰٓ أَيۡهِك ُ نَك َ ي نَك ٌََّ ٍِِّ ۡلََسۡتَغۡفِس ۡلَِب َ ٍِْى َ َِّلَّ ي َٕۡل َ ئِبۡس ئ
َّللَِّ ٱَٔئِن ٍَۡك َٔئِن ٍَۡك َ أ َََا َُۡا ش ًَۡء ٖٖۖ زَّب ََُّا عَه ٍَۡك َ ت ََٕكَّه َُۡا ٍِ يُ ٱن ًَۡص ٍِس
٤
Artinya:
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika
mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami
berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali
perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak
sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya
Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan
hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada
Engkaulah kami kembali"
Pada prinsipnya, dari penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa landasan epistemologi dari budaya organisasi dapat
disadari dari fungsi keteladanan pemimpin, dalam hal ini adalah
Rasulullah SAW dan Ibrahim As. Maksudnya adalah figur
pemimpin memiliki peranan penting untuk membentuk atau
bahkan menentukan budaya yang terbaik untuk warga
organisasinya.
Dalam mengenai sejarah umat Islam yang menggunakan
budaya organisasi sejalan seiring dengan nilai-nilai tersebut
selalu dijadikan pegangan dan pedoman dalam berserikat dan
berkumpul dalam organisasi. Dalam menggunakan artifak, Islam
menekankan untuk berpegangan kepada Agama Allah. Yaitu
agar artifak itu tidak lepas dari Islam, tentu asumsi-asumsi dasar
yang tujuh, tidak dimaknai untuk hal-hal yang bersifat duniawi
dan sementara. Sehingga dimaknai dengan dimensi duniawi
lebih kuat

Tidak ada komentar: