Sistem
peradilan di Indonesia adalah keseluruhan perkara pengadilan dalam suatu negara
yang satu sama lain berbeda tetapi saling berkaitan atau berhubungan sehingga
terbentuk suatu mekanisme dan dapat diterapkan secara konsisten. Dalam sistem
peradilan di indonesia. Beberapa unsur pihak yang terlibat di dalam di
antaranya[1]:
i.
Penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau pejabat PNS tertentu yg
diberikan wewenang khusus oleh Undang Undang untuk melaksanakan penyidikan
(Pasal 1 angka 1 KUHAP). Selain penyidik sebagai pihak yang yang terkait dalam
sistem peradilan di Indonesia, dalam hukum ada yang disebut penyidikan,
penyelidik, penyelidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yg diatur dalam Undang Undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yg dgn bukti itu membuat terang tetang tindak pidana yg terjadi
dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP). Penyelidik adalah
pejabat polisi negara RI yg diberi wewenang oleh UU untuk melakukan
penyelidikan (pasal 1 angka 4 KUHAP). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untu mencari dan menemukan suatu peristiwa yg diduga sebagai tindak
pidana guna menetukan dpt atau tdknya dilakukan penyidikan menurut cara yg
diatur dlm UU ( pasal 1 angka 5 KUHAP)
ii.
Penuntut umum, (jaksa)
iii.
hakim
iv.
penasihat hukum, dan
v.
Pencari keadilan.(Pengacara)
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 menyatakan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Lahirnya sistem peradilan di Indonesia
berpedoman pada ketentuan diatas dan dalam melaksanakan tugasnya instansi ini
harus terlepas dari intervensi berbagai pihak yang hanya menginginkan
kepentinganya masing-masing. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diberikan
kepada elemen-elemen lain yang ada didalamnya seperti badan-badan peradilan
yang telah disebutkan didalam undang-undang. Peradilan di Indonesia mempunyai
beberapa pengadilan. Berdasarkan lingkunganya masing-masing seperti [2]:
1.
Peradilan Umum
2.
Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4.
Peradilan Tata Usaha Negara
Adapun
asas yang harus digunakan dalam sistem peradilan di negara Indonesia adalah
sebagai berikut[3]:
a.
Asas “ Ius Curia Novit” “setiap hakim dianggap tahu akan
hukumnya”, sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak suatu perkara
yang diajutkan kepadanya dengan daalil bahwa hakimnya tidak tahu hukumnya atau
hukumnya belum ada.
b.
Asas peradilan cepat,(efisien) singkat (efektif) dan biaya ringan
(tidak memberatkan) Asas ini mulai diatur dalam ketentuan pokok kekuasaaan
hakim.
c.
Asas Audi Et Alterram Partem “mendengar kedua belah pihak yang
berpekara”. Dalam asas ini menitik beratkan pada pengertian bahwa hakim
diwajibkan untuk tidak memutus perkara sebelum mendengar kedua belah pihak
terlebih dahulu.
d.
Asas Unus Testis Nullus Testis “satu saksi bukanlah saksi”
e.
Asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada pengacara. Tidak
mengatur secara tegas bahwa untuk perkara di pengadilan harus diwakilkan kepada
seorang pengacara.
f.
Asas Nemo Judex Indeneus in Propria Causa. Asas ini mengajarkan
bahwa tidak seorang pun yang dapat menjadi hakim dalam perkara sendiri. Dalam
hukum acara perdata, asas ini menekankan pada obyektifitas pada pemeriksaan
perkar. Tentunya asas ini ditunjukkan kepada hakim bahwa seorang hakim karena
jabatannya harus mengundurkaan diri dari kedudukannya dalam memeriksa suatu
perkara yang diajukan kepadanya bilamana ia mempunyai kepentingan langsung
terhadap tersebut atau mempunyai hubungan keluarga yang dekat dengan salah satu
pihak yang berperkara.
g.
Asas Lex Rae Sitae Bahwa
suatu gugatan diajukan di tempat nama obyek gugatan itu berada dan bukan di
tempat tinggal penggugat.
[1] Patawari, SHI.,MH. 2017 “Sistem Peradilan Di Indonesia” Pendidikan
Khusus Provesi Advokat (PKPA)
DPN PERADI
kerjasama Universitas Sawerigading Makassar, Sabtu 11 Pebruari 2017 Fakultas
Hukum
Universitas
Sawerigading Makassa
[2] Erman Rajagukguk, (2000) Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa
Perdata di Luar Pengadilan, Jurnal Magister Hukum, Magister Hukum
Unversitas Islam Indonesia, Vol. 2. No. 4, Oktober hlm. 1
[3] Yahya Harahap, (2000), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan
dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya, Bandung, hlm. 153 Indonesia, Vol. 2.
No. 4, Oktober 2000, hlm. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar