Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia nomer 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang
dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut. [1]
Dalam
pengertian Hakim lainnya yaitu menurut KUHAP adalah pejabat peradilan Negara
yang memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutuskan perkara.4 Kewenangan
atau kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka atau tidak
berpihak untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
yang berlandaskan Pancasila terutama sila pertama Pancasila sebagai dasar
Negara.[2]
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seorang hakim wajib menjunjung
tinggi kemandirian, harkat dan martabat badan peradilan. Oleh karena itu pihak
manapun dilarang mengintervensi tugas dan kewenangan hakim dalam memutus suatu
perkara, kecuali dalam hal-hal yang diatur oleh UUD 1945.6 Hakim tidak boleh
menolak untuk mengadili suatu perkara yang serahkan kepadanya. Mengadili
perkara merupakan kewenangan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus
perkara berdasarkan asas-asas peradilan yaitu asas bebas, jujur, dan
tidak memihak sesuai
dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang. [3]
Oleh
karenanya dalam pengertian hakim sangat terkait erat dengan putusan hakim.
Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari hakim di dalam persidangan,
menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, maka putusan Hakim adalah
pernyataan pendapat dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam
persidangan dan memiliki hukum yang berkekuatan tetap. Berlandaskan pada asas
dari teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan
yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana
yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan
pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala
tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan
perkara. [4]
Pengertian
lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari
Surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang
pengadilan yang pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan dalam
menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu didalam menjatuhkan putusan,
hakim diharapkan agar selalu berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga
agar putusan yang diambil tidak mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu
pada keadilan yang dapat menjatuhkan wibawa pengadilan. Hakim dalam menentukan
hukuman diharapkan berpandangan tidak hanya tertuju apakah putusan itu sudah
benar menurut hukum, melainkan juga terhadap akibat yang mungkin timbul, dengan
berpandangan luas seperti ini maka hakim berkemungkinan besar mampu untuk
menyelami kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat danjuga akan lebih
dapat memahami serta meresapi makna dari putusan yang dijatuhkan, dalam dunia
peradilan dibedakan antara putusan dan penetapan hakim. Putusan dalam bahasa
Belanda disebut dengan vonnis, sedangkan penetapan hakim dalam bahasa Belanda
disebut dengan beschikking. Putusan hakim dalam acara pidana adalah diambil
untuk memutusi suatu perkara pidana, sedangkan penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan.
[5]
Dengan demikian hakim adalah sebagai
pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan
keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya
meneurut undang-undang yang berlaku. Hakim merupakan unsur utama di dalam
pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan
kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian
halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena
itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan
kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. [6]
[1] Undang-Undang RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[2] Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] Pasal 1 Angka 9 KUHAP
[4] Lilik Mulyadi (2007) Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif
Teoritis Dan Prakter Pradilan. (Mandar Maju: Bandung. 2007) Hal. 127
[5] Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
Citra Aditya Bakti. Bandung, 2010. hlm, 45.
[6] Mujahid A. Latief, 2007, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu
Rekomendasi (jilid II), Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, hlm. 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar