Secara historis
independensi hakim (independence of judge), diuraikan oleh Suzanna
Sherry menyampaikan bahwa hakim-hakim di Inggris sebelum tahun 1701, tidak
dapat membatalkan suatu perundang-undangan produk legislatif (there was no
practice of judicial review; judges did not strike down legislative enactments).
Ungkapan klasik yang berlaku kala itu adalah
“an act of parliament can do no
wrong, although it may do several things that look pretty odd”.
Pengaruh ungkapan ini
kemudian ditentang oleh hakim dan menolak untuk terikat dengan segala produk
parlemen (kekuasaan legislatif). Paham inilah yang kemudian bermetamorfosa
sehingga lahirlah judicial review. Sir Edward Coke, the father of American
judicial review, menyatakan bahwa
“when an Act of Parliament is against common right and reason, or
repugnant, or impossible to be performed, the common law will control it, and
adjudge such Act to be void”. [1]
Undang-Undang Dasar
Negara Republik indonesia 1945 Amandemen ketiga mengatur tentang kekuasaan
kehakiman yang terdapat pada pasal 24 ayat (1) berbunyi :
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan”
Diuraikan lebih lanjut bahwa orang-orang
Amerika kemudian menggunakan model independensi pengadilan (judicial
independence) ketika mendeklarasikan kemerdekaannya, mereka menentukan untuk
memiliki hakim-hakim yang independen. Hakim-hakim di Amerika segera memulai
pelaksanaan judicial review, bahkan sebelum konstitusinya dirancang,
hakim-hakim telah mengambil bagian dalam judicial review dengan membatalkan
produk parlemen yang dinilai tidak benar. Mereka melakukannya tidak hanya
karena bertentangan dengan konstitusi tertulis (written constitution),
tetapi juga dengan dasar bertentangan dengan hukum alam seperti hak-hak yang
tak tertulis (unwritten constitution). Hakim-hakim menggunakan bahasa
hak-hak alamiah seperti “natural rights”, “inalienable rights”, “inherent
rights”, “fundamental principles of civilized society”, and
the “immutable principles of justice”.
“They also broadened the definition of
unwritten rights, protecting not only property rights and the right to jury
trial, but also the right of representation and rights against retroactive laws
or laws granting special privileges”. [2]
Berdasarkan
alur historis di atas maka independensi hakim berada dalam alam misterius
pikiran dan nurani seorang hakim, yang peraturan perundang-undangan sekalipun
tidak dapat mendeterminasi mutlak seorang hakim. Dalam proses penyelesaian
suatu perkara oleh hakim yang bebas (independence of judge), kemungkinan
timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan
yustisial hakim dalam proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah
secara administratif. Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau
ketidaksetujuan yang bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya
hukum dan bukan upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam
menjalankan tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan
baik preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui
upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang.
Independensi
kekuasaan hakim sangat berkaitan dengan defenisi kekuasaan negara yang
merdeka, bahwa dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang - undangan mempunyai kekuasaan
yang bebas.[3] Dengan kata lain, bebas
dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam
pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan
dengan sebebas - bebasnya tanpa rambu - rambu pengawasan, oleh karena dalam
aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang
baik (general principles of proper justice), dan peraturan - peraturan
yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya
upaya hukum.[4]Jadi
dalam pelaksaanaannya, penegakan prinsip kebebasan dalam kekuas a an kehakiman
tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD 1945
serta hukum yang berlaku.
Dalam sistem hukum Indonesia dengan
jelas disebutkan independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
disebutkan bahwa[5]
:
a.
Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
b.
Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal tersebut dapat
dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman yang merdeka terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa
lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala
intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa
sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap
putusan yang akan dijatuhkan
Dengan demikian dimaksud dengan
independensi kehakiman sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik,
ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan
wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan
pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan
sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of
interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau
perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang
memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas
yustisialnya.
Dengan kata lain, hakim tidak
terpengaruh oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus
mengambil putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya
tidak lagi mampu berbahasa kejujuran.[6] Dalam menghadapi keadaan
demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan
tugasnya[7]
Hal lain yang patut diperhatikan dalam membahas
independensi hakim adalah bahwa
kebebasan hakim (independence of judiciary) harus diimbangi dengan
pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Dalam kaitan
inilah kemudian melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judicial
accountability) termasuk di dalamnya integrity dan transparency, yang dibangun
di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal
responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Dalam
kerangka demikian kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep code of
conduct berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim, yang keberadaannya
terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional.[8]
Berdasarkan berbagai uraian di atas
maka indepedesi hakim adalah bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas
yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman
dapat dilaksanakan dengan sebebas - bebasnya tanpa rambu - rambu pengawasan,
oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk
berperkara yang baik. Oleh karenanya dalam membahas kebebasan hakim harus
diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan
[1] Suzanna Sherry, 1998, “Independent Judges And Independent
Justice”, Journal Law and Contemporary Problems,
http://www.law.duke.edu/journals/61LCPSherry
[2] Ibid
[3]
K Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta ,
1977 , hlm. 17
[4]
Ibid, hlm.17
[5] Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum
Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup,
Jakaarta, I, 2019.Jakarta
[6] Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang
Kekuasaan Kehakiman
[7] Kusnu Goesniadhie S,
Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu
Masalah), Surabaya: JPBooks, 2006, hlm.176-177
[8] The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002,
http://www.unodc.org/pdf/crime/
corruption/judicial_group/Bangalore_principles.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar