Rabu, 08 November 2023

Prinsip Independensi Hakim

 

Secara historis independensi hakim (independence of judge), diuraikan oleh Suzanna Sherry menyampaikan bahwa hakim-hakim di Inggris sebelum tahun 1701, tidak dapat membatalkan suatu perundang-undangan produk legislatif (there was no practice of judicial review; judges did not strike down legislative enactments). Ungkapan klasik yang berlaku kala itu adalah

 “an act of parliament can do no wrong, although it may do several things that look pretty odd”.

 

Pengaruh ungkapan ini kemudian ditentang oleh hakim dan menolak untuk terikat dengan segala produk parlemen (kekuasaan legislatif). Paham inilah yang kemudian bermetamorfosa sehingga lahirlah judicial review. Sir Edward Coke, the father of American judicial review, menyatakan bahwa

“when an Act of Parliament is against common right and reason, or repugnant, or impossible to be performed, the common law will control it, and adjudge such Act to be void”. [1]

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia 1945 Amandemen ketiga mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang terdapat pada pasal 24 ayat (1) berbunyi :

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan

 

 Diuraikan lebih lanjut bahwa orang-orang Amerika kemudian menggunakan model independensi pengadilan (judicial independence) ketika mendeklarasikan kemerdekaannya, mereka menentukan untuk memiliki hakim-hakim yang independen. Hakim-hakim di Amerika segera memulai pelaksanaan judicial review, bahkan sebelum konstitusinya dirancang, hakim-hakim telah mengambil bagian dalam judicial review dengan membatalkan produk parlemen yang dinilai tidak benar. Mereka melakukannya tidak hanya karena bertentangan dengan konstitusi tertulis (written constitution), tetapi juga dengan dasar bertentangan dengan hukum alam seperti hak-hak yang tak tertulis (unwritten constitution). Hakim-hakim menggunakan bahasa hak-hak alamiah seperti “natural rights”, “inalienable rights”, “inherent rights”, “fundamental principles of civilized society”, and the “immutable principles of justice”.

They also broadened the definition of unwritten rights, protecting not only property rights and the right to jury trial, but also the right of representation and rights against retroactive laws or laws granting special privileges”. [2]

 

Berdasarkan alur historis di atas maka independensi hakim berada dalam alam misterius pikiran dan nurani seorang hakim, yang peraturan perundang-undangan sekalipun tidak dapat mendeterminasi mutlak seorang hakim. Dalam proses penyelesaian suatu perkara oleh hakim yang bebas (independence of judge), kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan yustisial hakim dalam proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah secara administratif. Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan yang bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum dan bukan upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam menjalankan tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan baik preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang.

Independensi kekuasaan hakim sangat berkaitan dengan defenisi kekuasaan negara yang merdeka, bahwa dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang - undangan mempunyai kekuasaan yang bebas.[3] Dengan kata lain, bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas - bebasnya tanpa rambu - rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan - peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya upaya hukum.[4]Jadi dalam pelaksaanaannya, penegakan prinsip kebebasan dalam kekuas a an kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku.

Dalam sistem hukum Indonesia dengan jelas disebutkan independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa[5] :

a.         Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

b.         Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari  pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan

Dengan demikian dimaksud dengan independensi kehakiman sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yustisialnya.

Dengan kata lain, hakim tidak terpengaruh oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus mengambil putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya tidak lagi mampu berbahasa kejujuran.[6] Dalam menghadapi keadaan demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya[7]

Hal lain  yang patut diperhatikan dalam membahas independensi hakim adalah  bahwa kebebasan hakim (independence of judiciary) harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Dalam kaitan inilah kemudian melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) termasuk di dalamnya integrity dan transparency, yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Dalam kerangka demikian kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep code of conduct berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim, yang keberadaannya terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional.[8]

Berdasarkan berbagai uraian di atas maka indepedesi hakim adalah bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas - bebasnya tanpa rambu - rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik. Oleh karenanya dalam membahas kebebasan hakim harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan



[1] Suzanna Sherry, 1998, “Independent Judges And Independent Justice”, Journal Law and Contemporary Problems, http://www.law.duke.edu/journals/61LCPSherry

[2] Ibid

[3] K Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1977 , hlm. 17 

[4] Ibid, hlm.17

[5] Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup, Jakaarta,  I, 2019.Jakarta

[6] Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman

[7]  Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: JPBooks, 2006, hlm.176-177

[8] The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002, http://www.unodc.org/pdf/crime/ corruption/judicial_group/Bangalore_principles.pdf

Tidak ada komentar: