Rabu, 08 November 2023

Pengertian Merek

 

Ketentuan tentang Merek yang pertama kali berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Diberlakukannya Reglement Industriele Eigendom (RIE) . Reglement Industriele Eigendom 1912 menganut sistem deklaratif. Penyusunan peraturan Merek mengikuti sistem UU Belanda dan menerapkan sistem konkondarsi. Yaitu ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk diterapkan pada negara jajahan Belanda. [1]

Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus  diganti dengan Undang-Undang No 21 Tahun 1961 tentang Merek perusahaan dan dan Merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan dalam Lembaran Negara RI No.2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.[2] Kedua Undang-Undang ini (RIE 1912 dan Undang-Undang Merek 1961) mempunyai banyak kesamaan. Perbedaan hanya berlaku pada masa berlakunya Merek; yaitu sepuluh tahun menurut Undang-Undang Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912 ; yaitu 20 tahun. Perbedaan lain yaitu, Undang-Undang Merek tahun 1961 mengenai penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, Penggolongan yang semacam itu sejalan dengan klasifikasi internasional berdasarkan persetujuan internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran Merek di Nice (Prancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun 1967 dengan penambahan satu kelas unuk penyesuaian dengan keadaan di Indonesia, pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912 .[3]

 Undang-Undang Merek tahun 1961 ini mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undang-Undang ini dengan berbagai pertimbangan akhirnya harus dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tetang Merek. Adapun alasan dicabut Undang-Undang Merek tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek No 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Selain itu, adanya perubahan mengenai sistem pendaftaran, lisensi, Merek Kolektif, dan sebagainya.[4]

Alasan diterbitkannya Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yaitu salah satu perkembangannya yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik dibidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. [5] Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini Merek memegang peranan penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi indonesia serta pengalaman melaksanakan administrasi Merek, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek dengan dibuatnya Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini mengganti undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Merek adalah alat untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan lain. Para pelaku usaha akan berusaha untuk mencegah dengan Merek yang telah dimiliki untuk tidak digunakan oleh orang lain karena dengan adanya Merek, para pelaku usaha mampu memperoleh reputasi baik, dan kepercayaan dari para konsumen yang mampu memberikan keuntungan yang besar bagi pemilik Merek.[6]

Pasal 15 ayat (1) TRIPS Agreement mendefinisikan Merek sebagai: “Any sign,or any combination of sign, capable of distinguishing the goods or sevice of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, latters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registrations as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or service. Members may make registrability depend on distinctiveness acquired  trough use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually perceptible.” [7]

Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek yang lama juga merumuskan Merek pada Pasal 1 angka 1, yaitu: “Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Sementara Undang-Undang Merek terbaru Nomor 20 Tahun 2016 pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan : ”Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan Hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atas jasa”[8]



[1] Nurachmad, M. (2012). Segala tentang HAKI Indonesia. Jogjakarta : Buku Biru

[2] Lindsley, Tim. 2002. HKI : Suatu Pengantar. Bandung : PT.Alumni

[3] Miru, A. (2007). Hukum Merek : Cara Mudah Memperlajari Undang-Undang Merek . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

[4] Maulana, I. B. (2019). Perlindnugan Merek Terkenal dari Masa ke Masa. Bandung: PT.Citra Aditya

[5] Roisah, K. (2015 ). Konsep Hukum Kekayaan Intelektual (HKI). Malang: Setara Press

[6] Andriansyah, S. (2013). Hak Desain Indutri berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri. Bandung: PT.Alumni

[7] Saidin, H. OK. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights). Jakarta: Rajawali Press

[8] Khoironi, Alif Iffan. 2013. Implementasi Pendaftaran Merek Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Pada Home Industry Eggroll. Unnes law Journal. Semarang: FH Unnes. Vol. 2, No. 2, Oktober

Tidak ada komentar: