Ketentuan
tentang Merek yang pertama kali berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah
Belanda. Diberlakukannya Reglement Industriele Eigendom (RIE) . Reglement
Industriele Eigendom 1912 menganut sistem deklaratif. Penyusunan peraturan
Merek mengikuti sistem UU Belanda dan menerapkan sistem konkondarsi. Yaitu
ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan untuk
diterapkan pada negara jajahan Belanda. [1]
Setelah
Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan itu masih terus diganti dengan Undang-Undang No 21 Tahun 1961
tentang Merek perusahaan dan dan Merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal
11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.290 dan penjelasannya
dimuat dalam Tambahan dalam Lembaran Negara RI No.2341 yang mulai berlaku pada
bulan November 1961.[2]
Kedua Undang-Undang ini (RIE 1912 dan Undang-Undang Merek 1961) mempunyai
banyak kesamaan. Perbedaan hanya berlaku pada masa berlakunya Merek; yaitu
sepuluh tahun menurut Undang-Undang Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE
1912 ; yaitu 20 tahun. Perbedaan lain yaitu, Undang-Undang Merek tahun 1961
mengenai penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, Penggolongan yang semacam
itu sejalan dengan klasifikasi internasional berdasarkan persetujuan
internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran
Merek di Nice (Prancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun
1967 dengan penambahan satu kelas unuk penyesuaian dengan keadaan di Indonesia,
pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912 .[3]
Undang-Undang Merek tahun 1961 ini mampu
bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian Undang-Undang ini dengan
berbagai pertimbangan akhirnya harus dicabut dan digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tetang Merek. Adapun alasan dicabut
Undang-Undang Merek tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek No 21
Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan
masyarakat dewasa ini. Selain itu, adanya perubahan mengenai sistem
pendaftaran, lisensi, Merek Kolektif, dan sebagainya.[4]
Alasan
diterbitkannya Undang-Undang No 15 Tahun 2001 yaitu salah satu perkembangannya
yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan
kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah
semakin meluasnya arus globalisasi baik dibidang sosial, ekonomi, budaya maupun
bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan
transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara
pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. [5]
Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan
usaha yang sehat. Disini Merek memegang peranan penting yang memerlukan sistem
pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan
dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi indonesia
serta pengalaman melaksanakan administrasi Merek, diperlukan penyempurnaan
Undang-Undang Merek dengan dibuatnya Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini
mengganti undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Merek
adalah alat untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh suatu
perusahaan dengan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan lain.
Para pelaku usaha akan berusaha untuk mencegah dengan Merek yang telah dimiliki
untuk tidak digunakan oleh orang lain karena dengan adanya Merek, para pelaku
usaha mampu memperoleh reputasi baik, dan kepercayaan dari para konsumen yang
mampu memberikan keuntungan yang besar bagi pemilik Merek.[6]
Pasal 15
ayat (1) TRIPS Agreement mendefinisikan Merek sebagai: “Any sign,or any combination of sign, capable of distinguishing the
goods or sevice of one undertaking from those of other undertakings, shall be
capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including
personal names, latters, numerals, figurative elements and combinations of
colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for
registrations as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing
the relevant goods or service. Members may make registrability depend on
distinctiveness acquired trough use.
Members may require, as a condition of registration, that signs be visually
perceptible.” [7]
Undang-Undang
No 15 Tahun 2001 tentang Merek yang lama juga merumuskan Merek pada Pasal 1
angka 1, yaitu: “Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa”. Sementara Undang-Undang Merek terbaru Nomor 20 Tahun 2016
pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan : ”Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan
secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna,
dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau
kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang
dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan Hukum dalam kegiatan
perdagangan barang dan/atas jasa”[8]
[1] Nurachmad, M. (2012). Segala tentang HAKI Indonesia. Jogjakarta : Buku
Biru
[2] Lindsley, Tim. 2002. HKI : Suatu Pengantar. Bandung : PT.Alumni
[3] Miru, A. (2007). Hukum Merek : Cara Mudah Memperlajari Undang-Undang
Merek . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
[4] Maulana, I. B. (2019). Perlindnugan Merek Terkenal dari Masa ke Masa. Bandung: PT.Citra
Aditya
[5] Roisah, K. (2015 ). Konsep Hukum Kekayaan Intelektual (HKI). Malang:
Setara Press
[6] Andriansyah, S. (2013). Hak Desain Indutri berdasarkan Penilaian
Kebaruan Desain Industri. Bandung: PT.Alumni
[7] Saidin, H. OK. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual
Property Rights). Jakarta: Rajawali Press
[8] Khoironi, Alif Iffan. 2013. Implementasi Pendaftaran Merek Sebagai
Bentuk Perlindungan Hukum Pada Home Industry Eggroll. Unnes law Journal.
Semarang: FH Unnes. Vol. 2, No. 2, Oktober
Tidak ada komentar:
Posting Komentar