Kekayaan
Intelektual (KI) adalah perubahan dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dimana
sudah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal demikian berubah dikarenakan mengikuti
institusi yang berperan dalam bidang kekayaan intelektual di negara-negara
lain. Rata-rata institusi di negara-negara tersebut yang berperang dalam bidang
kekayaan intelektual tidak ada kata “hak” dalam nama institusinya. [1]
Penamaan
dalam bidang ini telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali di Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual, yaitu Ditjen HCPM, Ditjen HaKI, Ditjen HKI dan
Ditjen KI. Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (Ditjen HCPM)
terbentuk atas dasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1988 tentang pembentukan
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek untuk mengambil alih fungsi dan
tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta. Lalu pada tahun 1998, atas dasar
Keputusan Presiden Nomor 144 Ditjen HCPM diganti menjadi Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI). Kemudian atas dasar Keputusan Presiden
Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HaKI berganti menjadi Ditjen HKI, dan akhirnya yang
berlaku saat ini atas dasar Peraturan Presiden 18 Nomor 44 Tahun 2005, Ditjen
HKI berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Sehingga
kini istilah atau nama Kekayaan Intelektual telah sama penyebutanya dengan
istilah di banyak negara.[2]
Kekayaan
Intelektual merupakan hak kebendaan yang dapat dikategorikan ke dalam benda
tidak berwujud (benda immateriil). Dalam konteks hukum perdata, rumusan tentang
hak kekayaan immateriil dijelaskan dalam pengertian benda yang diatur dalam
Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara implisit menurut paham
undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap
barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Jika dihubungkan
dengan Pasal 503 dan 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), maka
dapat dikategorikan ke dalam benda berwujud dan benda bergerak. Barang bergerak
yang tidak berwujud memiliki sifat abstrak, karena barangnya memang tidak
terlihat wujudnya, akan tetapi pemiliknya dapat merasakan manfaatnya .
Berdasarkan
hal yang telah diuraikan diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa poros
utama yang dilindungi pada Kekayaan Intelektual yaitu metode atau cara berpikir
dari pencipta itu sendiri sehingga hak kebendaan yang menempel pada proses
intelektual tersebut termasuk diantaranya adalah benda yang tidak berwujud. Hak
yang turut dilindungi itu dapat dikatakan sebagai hak untuk mempertahankan
kepemilikanya dan hak untuk memanfaatkan atau menggunakan kepemilikanya
tersebut, misalkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atau
kepemilikanya dapat dihargai. Kekayaan Intelektual dapat digolongkan menjadi
dua bagian menurut World Intellectual
Property Organization (WIPO): Hak Cipta (Copyrights) dan Hak Kekayaan
Industri (Industrial Property Rights).
Hak Cipta (Copyrights) merupakan hak
khusus bagi pencipta untuk menyebarluaskan, mengumumkan atau memperbanyak
ciptaanya sendiri pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dengan atau
bisa berbentuk buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain
yang serupa itu. Sedangkan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) adalah hak yang memuat apapun tentang
milik pengindustrian terkhusus yang memuat mengenai perlindungan hukum. Hak
Kekayaan Industri itu sendiri terbagi atas Merek, Paten, Hak Desain Industri,
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.[3]
[1] Sudaryat, dkk. 2010. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: Oase Media
[2] Susanto, Himawan Wijanarko. 2004. Membangun Merek Unggul dan
Organisasi Pendukungnya. Jakarta : PT Mizan Publika
[3] Atsar, Abdul. 2018. Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan
Intelektual. Yogyakarta: CV Budi Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar