Perkataan
delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan
istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana
atau peristiwa pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas
tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian
dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang
ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini[1]:
a. Menurut
Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila
yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada
pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.
b. Menurut
R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang
hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa
pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan
c. Menurut
P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht
Delicten
Delik
aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan,
dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau
pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak
terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut. Alasan
persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yangndikutip oleh Satochid
adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan,
akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang)
karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya.
Dengan
latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah
memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk
berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih
melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan
perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya
nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya). Pada
akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan
tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang
dirugikan.
Bila
keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu
atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan
tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti
ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu,
penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai
arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer
oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip
umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan
diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.
Menurut
Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Dalam pernyataan tersebut juga
mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini
juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat
terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.[2]
Pompe
mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa
pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu ”wettelijke
defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana itu. Dalam
gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah
(pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang
harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum. Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana
itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu
peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan
bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.[3]
Menurut
VOS unsur-unsur delik itu adalah :
a. Suatu
kelakuan manusia
b. Suatu
kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan
diancam dengan hukuman. [4]
Soesilo
Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai
permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan
menurut hukum. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik
aduan sebagai berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika
ada pengaduan (klacht).
Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan
adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik
tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini
haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan
untuk dapat dituntutnya si pelaku
[1] Dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87
[2] Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal
252.
[3] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai
Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.
[4] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal
252.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar