Rabu, 08 November 2023

Konsep mengenai Laporan/Aduan Korban

 

Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini[1]:

a.    Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.

b.    Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan

c.    Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten

Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut. Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yangndikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya.

Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.

Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.

Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.  Dalam pernyataan tersebut juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.[2]

Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu  ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana itu. Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.[3]

Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah :

a.    Suatu kelakuan manusia

b.    Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman. [4]

Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht).

 Berdasarkan berbagai pendapat diatas maka  diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku



[1] Dalam R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87

[2] Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

[3] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.

[4] E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

Tidak ada komentar: