Bawengan
membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan
relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik pengaduaun absolut
(absolute klachtdelicten) dan delik aduan relative (relative klachtdelicten).
Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua
jenis, yaitu [1]:
a)
Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)
b)
Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)
1. Delik
Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute
Klachtdelicten)
Delik
aduan absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang
untuk penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Sifat pengaduan dalam
delik aduan absolut (absolute
klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa
orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan
kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak
dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Delik
aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut peristiwanya, sehingga
pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini dituntut”. Jika pengaduan
itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak akan menuntut segala orang
yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan
aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat atau orang lain yang turut
campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak membatasi hak menuntut,
yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak.
Larangan
ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan
absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B, mengaku pada suaminya,
bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia berzina dengan C. Karena
istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni akan tetapi
ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C dituntut lantaran perkara
itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut Pasal 284 ayat
(2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut, jadi A hanya boleh mengadu
tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus yang turut campur
didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya baru dianggap
sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan menyerahkan
kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.
Kejahatan-kejahatan
yang termasuk didalam delik aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu :
1) Kejahatan
Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang
diatur dalam Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan”
(verkrachting), Pasal 293 tentang
“perbuatan cabul” (ontucht), didalam
salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan
pengaduan.
2) Kejahatan
Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang “menista” (menghina), Pasal 311
tentang “memfitnah” (laster), Pasal
315 tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige
belediging), Pasal 316 (penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah
atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya
berdasarkan Pasal 319, tidak diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini
ditentukan syaratnya bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh
pihak penderita dilakukan pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini
merupakan penyimpangan dari ketentuan delik aduan itu sendiri).
3) Kejahatan
membuka rahasia (schending van geheimen),
yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan
penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam
ayat terakhir dari kedua pasal itu.
4) Kejahatan
mengancam (afdreiging), yang diatur
dalam Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan
untuk mengadakan penuntutan.
2. Delik
Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)
Delik
aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang guna penuntutannya
pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam hal ini hanya ditentukan
bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara si pembuat dan si
pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara si pembuat dan si
pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis lurus (bapak,
nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (saudara) dan
keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu) atau dalam
derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik aduan relatif
yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu[2] :
a. Pasal
362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),
b. Pasal
367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam lingkungan
keluarga”,
c. Pasal
369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan dengan menista (afdreigging
atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan
minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan
uang itu, rahasianya akan dibuka. OLeh karena B takut akan dimalukan, maka ia
terpaksa memberi uang itu,
d. Pasal
372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan yang dilakukan dalam kalangan
kekeluargaan,
e. Pasal
378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan
kekeluargaan.
Hubungan
kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya
terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila, misalnya, yang
disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan,
yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan
demikian pengaduan ini adalah dapat dipecah-pecah (splitsbaar).
Dari
pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu, penggunaan istilah “hanya
dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka kalimat itu menimbulkan
pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh
pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif. Walaupun pendapat
demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib hukum, adalah lebih
beritikad baik bilamana pengusutan itu diajukan secara lisan dari pihak yang
dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan.
Sedangkan
pengertian mengenai Laporan Polisi disebutkan dalam Pasal 1 butir ke-24 KUHAP
yaitu pemberitahuan yang disampaikan
oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
[1] Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP,
Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50..
[2] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai
Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar