Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara
(mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Pasal
1 ayat (9) KUHAP, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada
aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu
dianggap mengetahui hukum (curialus novit). Jika aturan hukum kurang
jelas maka ia harus menafsirkannya.
Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU No.
4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Seorang hakim wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan
ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera (Pasal 30 ayat
(1) UU No. 4/2004 Jo. UU No. 48/2009). Hakim Ketua dalam memeriksa perkara di
sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para
penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Didalam
praktik ada kalanya hakim menggunakan bahasa daerah jika yang bersangkutan
masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan. [1]
[1] Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara
Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar