Rabu, 15 Februari 2023

Pinjaman daerah

 

 Sumber-sumber penerimaan daerah selain diperoleh dari sumber-sumber keuangan yang dimiliki oleh daerah, pemerintah daerah untuk menutup kekurangan sumber-sumber keuangannya  dapat juga melakukan pinjaman.  Dana pinjaman ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

 Sidik (1998 : 28) mengemukakan bahwa pinjaman daerah merupakan salah satu instrumen bagi pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Daerah dapat melakukan pinjaman atau menerbitkan obligasi untuk membiayai pembangunan daerah. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, negara donor melalui pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat.  .  

 Menurut Riphat dan Hutahaean ( 1997 : 33)  sumber pinjaman daerah secara teoritis dapat dikelompokan menjadi sembilan jenis yaitu (1) pinjaman dari pemerintah yang lebih tinggi; (2) pinjaman dari lembaga keuangan internasional; (3) pinjaman dari bank kredit pusat (central credit bank) atau dana pinjaman pusat (central loan fund); (4) penerbitan saham atau obligasi daerah; (5) pinjaman atau penarikan uang melebihi saldo bank (overdraft); (6) pinjaman dengan jaminan asset Pemda; (7) pinjaman dari dana cadangan sendiri (internal reserve fund); (8) pinjaman dalam bentuk pembelian atau sewa peralatan; dan (9) pembiayaan pendahuluan pembangunan proyek oleh kontaktor.  Namun kenyataannya sumber dana pinjaman daerah di Indonesia baru dapat dikelompokan menjadi : pinjaman dari pemerintah pusat atau Rekening pembangunan Daerah (RPD) dan pinjaman non RPD. Sumber dana RPD selain berasal dari dana sendiri (revolving fund) dan APBN, juga berasal dari luar negeri yang disalurkan ke daerah dengan prosedur Subsidiary loan agreement (SLA). Pinjaman non RPD adalah dana pinjaman yang bersumber dari dalam negeri diluar RPD, seperti pinjaman dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Umum lainnya. Untuk pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui pemerintah pusat. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan dan pengendalian devisa, sehingga tidak berdampak pada terganggunya stabilitas ekonomi makro nasional. Menurut Devas dkk (1999 : 222) di berbagai negara pada umumnya, kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman dibatasi hal tersebut terjadi karena :

  1. pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan dalam hubungan dengan kebijaksanaan moneter, terutama untuk mengendalikan inflasi;
  2. untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus ke dalam kesulitan keuangan.

Dengan adanya batasan tersebut, apabila pemerintah daerah akan melakukan pinjaman harus mengetahui dulu kemampuan keuangannya dan sampai sejauh mana pemerintah daerah sanggup membayar kembali hutangnya. Hal ini perlu diketahui karena apabila pinjaman tersebut tidak terkendali, maka pemerintah daerah akan berhadapan dengan berbagai kesulitan.

Selanjutnya Devas dkk (1999 : 223),  mengemukakan bahwa  sebagian besar pinjaman daerah dipergunakan untuk membiayai pembangunan perkotaan dengan beberapa alasan :

  1. sektor kota mencakup banyak sekali kegiatan yang memungkinkan pemerintah menembus biaya yang dikeluarkan;
  2. wilayah kota paling banyak menghasilkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengangsur hutang;
  3. lembaga pemberi pinjaman seperti Bank Dunia , yang bekerja atas dasar asas pinjaman yang dibayar dari penerimaan, dan dalam terlibat di sektor ini di Indonesia. Proyek-proyek yang mendapat dana pinjaman termasuk proyek air minum kota, pembuangan air, pembuangan air limbah dan kesehatan lingkungan, pembuangan sampah, perbaikan kampung, dan pembangunan jalan.

Pengertian pinjaman daerah menurut   Peraturan Pemerintah Nomor : 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah  adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan mengenai persyaratan pinjaman daerah yang meliputi jumlah, jangka waktu dan larangan penjaminan pinjaman daerah. Dengan adanya persyaratan tersebut maka perlu dilakukan proyeksi terhadap kemampuan keuangan daerah, penerimaan daerah, jumlah dan angsuran jangka panjang yang optimal bagi pemerintah daerah. Jangka waktu pinjaman  perlu disesuaikan dengan pengalokasian pinjaman tersebut. Pinjaman jangka panjang, dapat digunakan daerah untuk membiayai sarana dan prasarana yang merupakan asset daerah dan menghasilkan sejumlah pendapatan bagi daerah (cost recovery) yang bisa digunakan untuk melunasi pinjaman tersebut serta dapat memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.   Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.

 Untuk menilai kemampuan keuangan suatu daerah dapat mengembalikan pinjaman pada dasarnya merupakan kondisi pinjaman total yang optimal dan relatif aman ditinjau dari aspek keuangan dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor : 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah, pada pasal 6 dan pasal 7 disebutkan tentang Batas Maksimum Pinjaman (BMP) daerah yang bersifat jangka panjang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : (a) jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan (b) berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah). Untuk pinjaman jangka pendek ketentuannya sebagai berikut : (a) jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 ( satu per enam) dari jumlah APBD tahun anggaran yang berjalan; (b) pinjaman jangka pendek dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan penerimaan daerah untuk membayar pinjaman tersebut pada waktunya.

Tidak ada komentar: