Menurut teori pertumbuhan ekonomi klasik, yang dipelopori oleh Adam Smith, mengatakan bahwa sumber-sumber pertumbuhan produksi nasional (Boediono, 1999:9) terdiri dari pertumbuhan tenaga kerja dan kapital, perbaikan efisiensi dalam penggunaan kapital oleh tenaga kerja melalui spesialisasi dan kemajuan teknologi, serta perdagangan internasional yang dapat memperluas pasar. Selanjutnya, menurut Adam Smith (lihat Arsyad,1997:51), makin besar stok modal makin besar pula kemungkinan spesialisasi dan pembagian kerja yang akan meningkatkan produktivitas perkapita, sehingga akan menghasilkan output. Jadi pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauhmana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.
Berdasarkan pada teori tersebut, karena adanya perbedaan potensi sumber daya alam dan sumberdaya manusia antar daerah, akan menyebabkan perbedaan pertumbuhan antar daerah. Bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam berupa minyak dan gas alam cenderung mempunyai laju pertumbuhan yang cukup tinggi (Syafrizal, 1997:27-38).
Secara umum, kebijaksanaan pertumbuhan daerah merupakan hasil kombinasi antara kebijaksanaan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, akan tetapi dalam hal ini pemerintah yang lebih tinggi memegang kuasa atas pemerintah daerah, sehingga kebijaksanaan pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah (Nazara, 1994:19-36). Implikasi dari kebijakan tersebut diwujudkan dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang mempengaruhi kegiatan pembangunan di daerah, karena ada daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup banyak, akan tetapi belum sepenuhnya menikmati dari hasil sumberdaya yang dimilikinya.
Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, sebutan daerah otonom tidak mengalami perubahan, hanya diubah sebutannya menjadi daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, yang berarti ada tiga bentuk daerah otonom, yang masing-masing berdiri sendiri, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat. Implikasinya, bagi daerah kabupaten dan kota, yang wilayahnya mempunyai potensi ekonomi cukup banyak, maka laju pertumbuhan daerah dan kemandirian otonomi daerahnya akan lebih terjamin. Sebaliknya bagi daerah yang potensinya terbatas, maka akan mendapatkan kesulitan dalam mengejar pertumbuhan daerahnya dan kemandirian otonominya juga akan terhambat. Namun demikian kelemahan ini setidak-tidaknya akan dapat dikurangi melalui kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (E.Koswara:2000:47).
Menurut Davey K, et.al. (1989:179) hubungan keuangan pusat dan daerah menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan -kegiatan tertentu antara tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutupi pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan itu. Tujuan utama hubungan pusat dan daerah untuk mencapai perimbangan antara pembagian potensi dan sumber daya dapat sesuai dengan peranan yang dimainkan oleh pemerintah daerah..
Mahi, (2000:56), mengemukakan bahwa, untuk menentukan besarnya ketersediaan dana antar pemerintah daerah digunakan prinsip kebutuhan daerah melalui pembagian fungsi-fungsi (urusan-urusan) yang direfleksikan dalam kebijaksanaan otonomi daerah, yang didalamnya mengatur mengenai pembagian kewenangan sekaligus pembiayaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar