Menurut Ostrom (1986), akses kepemilikan sumber daya alam baik berupa lahan maupun segala yang ada di dalamnya dapat di lihat dari tiga perspektif. Pertama, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat open-access atau bersifat terbuka, tidak bertuan, tidak jelas pemiliknya. Kedua, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat state property dimana sumber daya alam tersebut merupakan sumber-sumber publik dan negara merasa berhak untuk memiliki dan mengatur penggunaannya. Ketiga, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat communal property, dimana sumber daya alam adalah milik adat dan negara tidak boleh menyentuhnya. Kemudian Bromley dalam Suhardjito dkk (2000) menambahkan dengan poin keempat bahwa akses kepemilikan sumber daya alam juga dapar bersifat private property, bahwa hak kepemilikan sumber daya alam dapat dimiliki oleh sekelompok orang secara legal yang hak kepemilikannya diatur oleh negara.
Terlepas dari pengelompokkan tersebut, sejarah pemanfaatan lahan berbasis masyarakat merupakan kenyataan yang riel dan faktual yang dapat dilihat dari masa lalu dan masa sekarang. Sejak zaman dahulu masyarakat amat tergantung pada sumber daya alam berupa hutan, ketergantungan tersebut amatlah besar sehingga di dalam memanfaatkan hutan masyarakat yang ada di dalamnya selalu taat pada norma-norma yang mengatur keselarasan dan keharmonian dengan alam. Kegiatan ladang berpindah merupakan kegiatan pemanfaatan lahan yang sudah sangat lama tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Proses perpindahan kegiatan berladang tersebut merupakan kearifan lokal masyarakat didalam menjaga keseimbangan lahan yang mereka gunakan.
Sistem perladangan berpindah ini merupakan titik awal kearifan tradisional masyarakat di dalam memanfaatkan lahan. Perkembangan sistem ini tereskalasi sedemikian rupa yang dari waktu ke waktu akhirnya berubah menjadi suatu tradisi. Tradisi ini tidak hanya terfokus pada kegiatan berladang namun juga pada kegiatan pemanfaatan lahan yang lain seperti kebun rakyat (Hafizianor, 2002).
Warsopranoto (1975) dalam Hafizianor (2002) menyatakan bahwa perladangan berpindah adalah suatu sistem pertanian yang primitif dengan cara menebang pohon-pohon hutan dan membakar kayunya (slash and burn) kemudian lahan yang telah dibuka ditanami dengan jenis-jenis tanaman pangan sampai kesuburannya menurun. Selanjutnya petani berpindah ke tempat lain dan mengulang cara bercocok tanam yang sama. Beberapa tahun kemudian antara 8 – 10 tahun, mereka kembali ke tempat semula dengan asumsi kondisi lahan sudah kembali pulih kesuburannya.
Kegiatan berladang berpindah mempunyai banyak istilah berbeda di setiap daerah yang berbeda, misalnya istilah taungya di Birma, chema di Srilangka dan milpa di Amerika (Hardjosoediro, 1975 dalam Hafizianor, 2002). Di Indonesia, istilah perladangan ini dikenal dengan istilah bahuma di Kalimantan Selatan dan Tengah dan Umaq taont dalam bahasa suku Dayak.
Menurut Chin (1987) dalam Lahadjir (2001 ), perladangan atau kegiatan pertanian ladang yang dilakukan oleh suku Dayak adalah suatu sistem ekstensif daripada intensif, terutama yang berhubungan dengan penggunaan lahan pertaniaannya. Pertanian ladang adalah suatu bentuk pengolahan lahan pertanian yang mempunyai karakteristik seperti rotasi ladang, membersihkan areal dengan api, tidak terdapat binatang-binatang penarik bajak dan tidak digunakannya pupuk, manusia menjadi satu-satunya tenaga, alat-alat pengolahan lahan yang sederhana, periode-periode yang pendek dalam pemakaian tanah di mana harus sesegera mungkin dipulihkan dengan masa bera yang panjang. Dengan demikian petani ladang tradisional adalah orang-orang yang cukup rasional dan pemakai yang piawai terhadap lingkungan alam mereka sendiri (Padoch, 1982 dan Dove, 1985 dalam Lahadjir, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar