Perubahan nilai-nilai sosial, sikap manusia dan kebijakan struktural global
secara signifikan telah mempengaruhi tujuan, pendekatan dan proses pengambilan
keputusan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan lestari (SFM) muncul
sebagai pendekatan baru dalam sektor kehutanan yang menuntut praktek
pengelolaan hutan yang ramah lingkungan, diterima secara sosial, dan efisien
secara ekonomi. Tujuannya adalah untuk menciptakan eksistensi dari ekosistem
hutan yang sehat dan keharmonisan di dalam komunitas masyarakat (Wang, 2004).
Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan
wujud biofisik hutan, produktivitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang
terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan
komponen lingkungannya. Dari ketiga dimensi kelestarian hutan tersebut,
kelestarian wujud biofisik hutan merupakan prasyarat untuk diperolehnya
kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Mempertahankan kelestarian
wujud biofisik hutan bukan berarti seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak
boleh dimanfaatkan sama sekali, namun dalam memanfaatkan sumber daya hutan
harus dilakukan secara optimal dengan mempertahankan kelestarian daya
dukungnya yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan
perkembangan pembangunan (Suhendang, 2004).
Pengelolaan Hutan Lestari atau SFM yang semula difokuskan untuk
menghasilkan kayu dan produksi hasil hutan lainnya kini juga ditujukan untuk
mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat, meningkatkan mutu lingkungan,
mencegah kerusakan lingkungan, dan rehabilitasi lingkungan yang rusak baik
karena faktor internal maupun eksternal (Iskandar, 1999). Prinsip utama dalam
pengelolaan hutan lestari adalah dicapainya manfaat yang bersifat optimal dari
fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi sekarang
dan generasi yang akan datang (Suhendang, 2004).
Pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan sebagaimana yang dikutip
oleh Salam dan Noguchi (2006) dari Gow (1988) bertujuan meningkatkan potensi
masyarakat setempat untuk mempengaruhi dan mengontrol masa depan mereka
secara jangka panjang, di mana hal itu dapat dicapai dengan penguatan kapasitas,
kesetaraan dan pemberdayaan. Lebih lanjut Salam dan Noguchi (2006)
menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas atau pemberdayaan masyarakat sebagai
salah satu stakeholder utama dalam pengelolaan hutan dibutuhkan untuk
mendukung pengelolaan yang berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat.
Upton dan Bass (1995) dalam Sardjono (2004) mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip umum kelestarian yang diterapkan dalam pengelolaan hutan adalah:
1. Kelestarian Lingkungan (Environmental Sustainability), yang menunjukkan
bahwa ekosistem mampu mendukung kehidupan organisme secara sehat, di
samping pada waktu yang bersamaan mampu memelihara produktivitas,
adaptabillitas, serta kapabilitas untuk memperbaharui diri (renew). Hal ini
mengisyaratkan pengelolaan hutan yang menghormati dan dibangun atas dasar
proses-proses alami.
2. Kelestarian Sosial (Social Sustainability), yang merefleksikan hubungan antara
pembangunan dan norma-norma sosial. Suatu kegiatan akan lestari secara
sosial bila memiliki kesesuaian dengan norma-norma sosial atau tidak melebihi
kapasitas masyarakat untuk suatu perubahan.
3. Kelestarian Ekonomi (Economic Sustainability), yang menuntut bahwa
keuntungan bagi suatu atau beberapa kelompok tidak melebihi biaya yang
diperlukan dan kapital yang setara dapat diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Balana et al (2010) menjelaskan beberapa indikator penting dalam penilaian
pengelolaan hutan yang lestari meliputi 3 aspek yaitu : (1) secara ekologi berupa
adanya peningkatan regenerasi alami tanaman asli, pengurangan erosi dan berbagai
bentuk degradasi tanah lainnya, peningkatan keanekaragaman hayati, peningkatan
kapasitas rentesi air pada tanah, perlindungan daerah hilir dari banjir; (2) secara
ekonomi berupa adanya peningkatan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan
mekanisme yang adil dalam distribusi manfaat; dan (3) secara sosial yakni adanya
pemahaman dan kesadaran akan manfaat hutan (baik dari fungsi ekologi, sosial,
dan ekonomi), partisipasi masyarakat di berbagai tingkatan pengelolaan hutan,
Minggu, 26 September 2021
Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management/SFM) (skripsi dan tesis)
Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management/SFM)
Perubahan nilai-nilai sosial, sikap manusia dan kebijakan struktural global
secara signifikan telah mempengaruhi tujuan, pendekatan dan proses pengambilan
keputusan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan lestari (SFM) muncul
sebagai pendekatan baru dalam sektor kehutanan yang menuntut praktek
pengelolaan hutan yang ramah lingkungan, diterima secara sosial, dan efisien
secara ekonomi. Tujuannya adalah untuk menciptakan eksistensi dari ekosistem
hutan yang sehat dan keharmonisan di dalam komunitas masyarakat (Wang, 2004).
Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan
wujud biofisik hutan, produktivitas hutan, dan fungsi-fungsi e
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar