Berdasarkan Menkes RI no. 73 tahun 2016, tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien. Standar
pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman
bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan obat pada sarana kefarmasian meliputi (Satibi dkk, 2015) :
1. Pelayanan resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahapan pelayanan resep :
a. Skrining resep
Harus memenuhi persyaratan administratif, kesesuaian administratif
dan melalui pertimbangan klinis.
b. Penyiapan obat
9
Tahapan penyiapan obat yaitu peracikan, pemberian label etiket,
memeriksa kemasan obat yang akan diserahkan, pemberian informasi obat,
konseling, dan monitoring penggunaan obat.
2. Pelayanan OWA
Menurut Menkes nomor 347 tahun 1990 Obat Wajib Apotek (OWA)
merupakan obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di
apotek tanpa resep dokter. OWA dapat diharapkan meningkatkan masyarakat
dalam mendorong dirinya untuk pengobatan sendiri agar meningkatnya derajat
kesehatan masyarakat. Hal- hal yang menjadi alasan ditetapkanya peraturan OWA
(Satibi dkk, 2015):
a. Untuk meningkatakan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya
sendiriguna mengatasi masalah kesehatan, maka perlu ditunjang dengan
sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri.
b. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat
dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan.
c. Peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE perlu ditingkatkan dalam
rangka pengobatan sendiri.
Selain masyarakat dapat menggunakan obat tanpa resep (obat bebas dan obat
bebas terbatas), dirasa perlu untuk mengadakan kriteria obat keras yang diberikan
tanpa resep. Kriteria obat-obat yang dapat diberikan tanpa resep sesui Menkes
nomor 919 tahun 1993, yaitu (Satibi dkk, 2015):
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko
pada kelanjutan penyakit.
c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevelansinya tinggi di
Indonesia
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio, khasiat, dan keamanan yang dapat
dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.
10
3. Pelayanan obat bebas dan bebas terbatas
Upaya untuk pengobatan sendiri untuk mngobati penyakit ringan, kronis
setelah berkonsultasi dengan dokter hingga untuk melakukan peningkatan
kesehatan disebut swamedikasi (Kertajaya, 2011). Swamedikasi yang benar dapat
meningkatkan efek pengobatan yang optimal, namun bila pengobatan sendiri
bersifat tidak rasional maka akan menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak
diinginkan (Kristina et al,. 2012).
Pengobatan tanpa resep dalam masyarakat sudah dilakukan cukup luas,
swamedikasi sendiri berlangsung dari interaksi manusia dengan lingkungan
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua
yakni faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan,
kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk
mengolah rangsangan dari luar (Yusrizal, 2015).
Faktor ekstern meliputi
lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosialekonomi, kebudayan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
4. Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik meliputi kegiatan pengkajian resep, dispensing,
pelayanan informasi obat, konseling, home pharmacy care, pemantauan terapi
obat dan monitoring efek samping obat (Satibi dkk, 2015). Pengaturan standar
pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Menkes RI no. 73 tahun 2016,
bertujuan untuk (Menkes RI, 2016) :
1) Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian;
2) Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
3) Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Mutu pelayanan kefarmasian di apotek sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Pemerintah sadar bahwa apotek merupakan pintu akhir bertemunya obat dengan
pasien. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Nomor
35 tahun 2014 yang mengatur standar pelayanan kefarmasian di Apotek. Ada tiga
aspek yang diatur untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ketiga aspek tersebut
adalah : 1. Aspek Manajerial
Aspek manajerial yaitu aspek yang berkaitan dengan kegiatan perencanaan,
pengadaan, peneriamaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan
dan pelaporan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
2. Aspek Farmasi Klinik
Aspek farmasi klinik yaitu aspek yang berkaitan dengan pengkajian resep,
dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, home car, pemantauan terapi
obat, dan monitoring efek samping obat
3. Aspek pendukung
Aspek pendukung merupakan komponen yang mendukung terselenggaranya
kegiatan manajerial dan farmasi klinik, yaitu sumber daya manusia dan saranaprasarana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar