Minggu, 01 November 2020

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Menkes RI no. 73 tahun 2016, tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan obat pada sarana kefarmasian meliputi (Satibi dkk, 2015) : 1. Pelayanan resep Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahapan pelayanan resep : a. Skrining resep Harus memenuhi persyaratan administratif, kesesuaian administratif dan melalui pertimbangan klinis. b. Penyiapan obat 9 Tahapan penyiapan obat yaitu peracikan, pemberian label etiket, memeriksa kemasan obat yang akan diserahkan, pemberian informasi obat, konseling, dan monitoring penggunaan obat. 2. Pelayanan OWA Menurut Menkes nomor 347 tahun 1990 Obat Wajib Apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. OWA dapat diharapkan meningkatkan masyarakat dalam mendorong dirinya untuk pengobatan sendiri agar meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Hal- hal yang menjadi alasan ditetapkanya peraturan OWA (Satibi dkk, 2015): a. Untuk meningkatakan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiriguna mengatasi masalah kesehatan, maka perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri. b. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan. c. Peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE perlu ditingkatkan dalam rangka pengobatan sendiri. Selain masyarakat dapat menggunakan obat tanpa resep (obat bebas dan obat bebas terbatas), dirasa perlu untuk mengadakan kriteria obat keras yang diberikan tanpa resep. Kriteria obat-obat yang dapat diberikan tanpa resep sesui Menkes nomor 919 tahun 1993, yaitu (Satibi dkk, 2015): a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun. b. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit. c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevelansinya tinggi di Indonesia e. Obat yang dimaksud memiliki rasio, khasiat, dan keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri. 10 3. Pelayanan obat bebas dan bebas terbatas Upaya untuk pengobatan sendiri untuk mngobati penyakit ringan, kronis setelah berkonsultasi dengan dokter hingga untuk melakukan peningkatan kesehatan disebut swamedikasi (Kertajaya, 2011). Swamedikasi yang benar dapat meningkatkan efek pengobatan yang optimal, namun bila pengobatan sendiri bersifat tidak rasional maka akan menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak diinginkan (Kristina et al,. 2012). Pengobatan tanpa resep dalam masyarakat sudah dilakukan cukup luas, swamedikasi sendiri berlangsung dari interaksi manusia dengan lingkungan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua yakni faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar (Yusrizal, 2015).
 Faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosialekonomi, kebudayan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). 4. Pelayanan farmasi klinik Pelayanan farmasi klinik meliputi kegiatan pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, home pharmacy care, pemantauan terapi obat dan monitoring efek samping obat (Satibi dkk, 2015). Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Menkes RI no. 73 tahun 2016, bertujuan untuk (Menkes RI, 2016) : 1) Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian; 2) Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; 3) Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Mutu pelayanan kefarmasian di apotek sangat diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah sadar bahwa apotek merupakan pintu akhir bertemunya obat dengan pasien. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 yang mengatur standar pelayanan kefarmasian di Apotek. Ada tiga aspek yang diatur untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ketiga aspek tersebut adalah :   1. Aspek Manajerial Aspek manajerial yaitu aspek yang berkaitan dengan kegiatan perencanaan, pengadaan, peneriamaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. 2. Aspek Farmasi Klinik Aspek farmasi klinik yaitu aspek yang berkaitan dengan pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, home car, pemantauan terapi obat, dan monitoring efek samping obat 3. Aspek pendukung Aspek pendukung merupakan komponen yang mendukung terselenggaranya kegiatan manajerial dan farmasi klinik, yaitu sumber daya manusia dan saranaprasarana.

Tidak ada komentar: