Kontrol diri berasal dari bahasa Yunani yaitu ssophrosyme yang berarti
penguasaan diri. Goleman (2000) mendefinisikan kontrol diri adalah
kemampuan menghadapi badai emosional yang dibawa sang nasib sehingga
tidak akan menjadi budak nafsu, mampu mengendalikan dorongan hatinya,
mampu menguasai dirinya untuk memanfaatkan emosinya secara produktif.
Menurut Goldfried dan Merbaum (dalam Ghufron, 2010) mendefiniskan
kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur
dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah
konsekuensi yang positif. Kontrol diri yang lemah pada seseorang mengarah pada konsekuensi negatif, yang akan merugikan orang lain dan juga merugikan
dirinya sendiri.
Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan
membaca situasi dan lingkungannya. Selain itu, kemampuan untuk mengontrol
dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk
menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk
mengendalikan perilaku, kecenderungan menarik perhatian, keinginan
mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain,
selalu mengikuti dengan orang lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron, 2010).
Gottfredson dan Hirschi (dalam Umar dan Raissa, 2011), kontrol diri
merupakan kecenderungan untuk mempertimbangkan berbagai potensi
merugikan dari suatu tindakan tertentu. Kontrol diri merupakan hasil
pembelajaran, terutama dari lingkungan keluarga.
Hasil pembelajaran normanorma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang buruk akan menjadi penyebab
rendahnya pengembangan kontrol diri. Kegagalan pembentukan kontrol diri
dapat berakibat individu dengan mudah terlibat dalam tindak kriminal atau
perilaku menyimpang.
Menurut Chaplin (1997) self control atau kontrol diri adalah
kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk
menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsive. Hal ini
berarti individu dapat mengontrol dirinya dengan baik apabila individu tersebut
dapat membimbing perilaku yang akan dilakukan dan menekan keinginan yang
kurang sesuai dengan norma sosial.
Piaget (dalam Carlson, 1987) mengartikan tingkah laku yang dilakukan
dengan sengaja dan mempunyai tujuan yang jelas tetapi dibatasi oleh situasi
yang khusus sebagai kontrol diri. Sedangkan Shibutan (dalam Sulls, 1982)
kontrol diri dilukiskan sebagai suatu organisasi dari berbagai nilai atau
pandangan dari lingkungan, dengan kata lain bahwa tingkah laku orang yang
sadar akan dirinya itu terkontrol oleh dirinya sendiri.
Menurut teori Calhoun dan Accocella (dalam Puspahayati, 2014) ada
dua alasan yang mengharuskan individu mengontrol diri terus menerus.
Pertama, individu tidak hidup sendirian akan tetapi dalam kelompok dan
individu mempunyai kebutuhan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan.
Kedua, masyarakat menghargai kemampuan, kebaikan dan hal-hal yang harus
diterima lainnya yang dimiliki individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar