Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat, yang
mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna (2015),
terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme dan telah
ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah:
a. Faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah dan kecemasan akan
kematian dan rasa tidak aman.
b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam
membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan
(hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres dan konflik dalam
keluarga.
c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang
materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media.
d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media yang
mendorong konsumerisme.
e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran.
f. Faktor jenis kelamin. Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan Sumantri,
2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki
kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan lakilaki. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki
persentase berbelanja lebih besar dibanding dengan laki-laki. g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda sekarang
memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung kredit. Bank
yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang memberikan layanan
pembelian secara kredit juga mampu membuat orang suka berbelanja
maupun memiliki nilai materialistik tinggi.
Menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), ada beberapa
faktor yang membentuk nilai materialisme pada diri individu diantaranya
yaitu:
a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu yang
merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan kompensasi dengan
berjuang keras untuk materi. Ketidakamanan psikologis dapat bersumber
dari:
1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa aman
pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman secara
psikologis.
2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau
berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara
psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis.
3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara
ekonomi kurang, cenderung lebih materialistik karena merasa kurang
aman dengan kondisinya. Hasil penelitian menemukan bahwa individu
yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang
menguntungkan seringkali lebih materialis. b. Tayangan peran model yang materialis
1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya
hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu
menjadi materialis. Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran
ideal dari selebriti dan kehidupannya. Ia akan mendorong pemirsa
untuk membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal.
2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung
menghasilkan anak-anak yang materialis. Orang tua yang memiliki
harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang
cenderung materialis.
3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan
referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya.
Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman.
Individu yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin
menunjukkan kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer.
Perbandingan sosial dengan teman merupakan prediktor yang lebih
baik pada materialisme dibanding dengan figure di media. Hal ini
mungkin disebabkan karena teman lebih mudah diakses dan pola-pola
konsumsi mereka lebih konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser (dalam Djudiyah dan
Sumantri, 2015), terdiri dari psychological inscurity yaitu ketidakamanan
psikologis dan tayangan peran model yang materialis. Menurut beberapa penelitian yang terkait dengan tema materialisme diperoleh beberapa faktor
diantaranya: faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah, kecemasan akan
kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga
yang tidak mendukung dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua
yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres
dan konflik dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan
pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman
atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda
serta media yang mendorong konsumerisme, faktor kemudahan berhutang
kemudian faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran
(Husna, 2015), dan faktor jenis kelamin (Mangestuti dalam Djudiyah dan
Sumantri, 2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang
berhubungan dengan materialisme adalah religiusitas. Peneliti memilih faktor
religiusitas disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah belum adanya
penelitian terkait dengan faktor religiusitas sebagai variabel yang berhubungan
dengan materialisme pada mahasiswa usia remaja akhir. Kemudian terkait
dengan faktor lainnya, peranan faktor religiusitas cukup menonjol karena
nilai-nilai religiusitas lebih melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai
religiusitas tersebut dapat melandasi sikap dan pandangan individu di dalam
menghadapi lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga
individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme tersebut.
Menurut Jalaluddin, (2016) bahwa nilai-nilai religiusitas sebagai realitas yang
abstrak menjadi daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup.
Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku,
pola berpikir, dan pola bersikap. Dari beberapa hasil penelitian juga ditemuka
kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi berdampak
negatif yang signifikan pada materialisme dan berdampak positif pada
kepuasan hidup (Rakrachakarn et al. dalam Husna, 2016). Kasser, dkk, (dalam
Husna, 2015) menyatakan bahwa nilai-nilai religiusitas berlawanan dengan
nilai-nilai materialisme. Lebih lanjut Menurut Djudiyah dan Sumantri, (2015)
bahwa religiusitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk
meminimalisir nilai materialistik pada mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar