Menurut Irawan (2005), peraturan yang ditujukan untuk mencegah
konversi lahan sawah sebenarnya telah diterbitkan pemerintah. Namun
pendekatan yuridis tersebut kurang efektif dan efisien disebabkan oleh:
a) Kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah.
b) Peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara
umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas.
c) Ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri
pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi
lahan.
Pasandaran (2006) mengemukakan bahwa ada tiga alternatif kebijakan
yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan sawah beririgasi, yaitu
kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif
terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasi yang perlu
dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani
setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model kebijakan
yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat
memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya
rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Oleh karena kelangkaan
lahan dan air akan berlangsung terus menerus, maka kebijakan
pengendalian konversi lahan hendaknya ditempatkan dalam kerangka
pendekatan keterpaduan pengelolaan sumber daya lahan dan air dalam
suatu daerah aliran sungai (DAS) dan perbaikan sistem usaha tani.
Ketentuan perlindungan terhadap lahan sawah dapat ditelusuri dari undangundang,
keputusan presiden, peraturan, keputusan, ataupun surat edaran
menteri sampai dengan peraturan daerah. Namun demikian, peraturan
tersebut belum mampu mengendalikan konversi lahan sawah secara efektif.
Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan setingkat undang-undang yang
secara khusus mengatur perlindungan lahan pertanian (Isa, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar