Dengan studi eksperimental, peneliti meneliti efek intervensi
dengan cara memberikan berbagai level intervensi kepada subjek penelitian dan
membandingkan efek dari berbagai level intervensi itu. Kelompok subjek yang
mendapatkan intervensi disebut kelompok eksperimental (kelompok intervensi).
Kelompok subjek yang tidak mendapatkan intervensi atau mendapatkan intervensi lain disebut kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan intervensi
kosong (plasebo, sham treatment), intervensi lama (standar), atau intervensi
dengan level/ dosis yang berbeda.Dalam eksperimen, peneliti mengontrol kondisi penelitian untuk
meningkatkan validitas internal, yaitu agar kesimpulan yang ditarik tentang efek
intervensi memang merupakan efek yang sesungguhnya dari intervensi tersebut.
Terdapat lima cara mengontrol kondisi penelitian: (1) Memberikan gradasi
intervensi yang berbeda; (2) Melakukan randomisasi; (3) Melakukan restriksi;
(4) Melakukan “pembutaan” (blinding); dan (5) Melakukan “intention-to-treat
analysis”.
Pertama, peneliti memberikan berbagai level intervensi kepada subjek
penelitian agar dapat mempelajari efek dari pemberian berbagai level intervensi
itu. Pendekatan ini merupakan implementasi metodologis inferensi kausal dalam
kriteria kausasi Hill yang disebut “dose-response relationship” (hubungan dosisrespons). Jika perubahan level intervensi/ paparan faktor diikuti oleh perubahan
efek intervensi secara proporsional menurut level intervensi, maka temuan itu
menguatkan kesimpulan hubungan kausal (Ibrahim et al., 2001; Last, 2001).
Kedua, peneliti menerapkan prosedur randomisasi dalam mengalokasikan (menempatkan) subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimental dan
kelompok kontrol. Dengan prosedur random maka hanya faktor peluang
(chance) yang menentukan subjek penelitian akan terpilih ke dalam kelompok
eksperimental atau kelompok kontrol, bukan kemauan subjektif peneliti. Randomisasi menyebarkan faktor-faktor perancu yang diketahui maupun tidak
diketahui oleh peneliti secara ekuivalen ke dalam kelompok-kelompok studi.
Dengan demikian randomisasi mengeliminasi atau mengurangi pengaruh faktor
perancu. Kondisi itu merupakan karakteristik randomized controlled trial (RCT).
Karena distribusi faktor perancu telah dibuat sebanding antara kelompok
eksperimental dan kelompok kontrol pada posisi awal (baseline) sebelum
dilakukan intervensi, maka peneliti tidak perlu mengukur variabel hasil sebelum
intervensi, melainkan cukup mengukur variabel hasil setelah intervensi.
Jika subjek penelitian dialokasikan ke dalam kelompok eksperimen atau
kelompok kontrol tidak dengan prosedur randomisasi, maka desain studi eksperimental ini disebut eksperimen kuasi (eksperimen non-randomisasi) (Last,
2001).
Pada eksperimen kuasi, distribusi fakktor perancu pada awal studi
(sebelum intervensi) tidak sebanding. Karena itu agar mendapatkan hasil analisis
efek intervensi yang benar, peneliti harus mengukur variabel hasil sebelum dan
sesudah intervensi, lalu memperhitungkan posisi awal variabel hasil tersebut
pada analisis data ketika membandingkan efek intervensi antara kelompok
intervensi dan kontrol setelah intervensi.
Ketiga, sebagai alternatif randomisasi, pengaruh faktor perancu dapat
dikendalikan dengan restriksi. Dengan restriksi peneliti menerapkan kriteria
inklusi dan eksklusi dalam memilih subjek penelitian, sehingga semua subjek
penelitian pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki level atau
kategori faktor perancu yang sama. Karena level atau kategori faktor perancu
sama antara kelompok eksperimental dan kelompok kontrol, maka sampai pada
tingkat tertentu restriksi dapat mengontrol pengaruh faktor perancu. Meskipun
demikian, satu hal perlu dicamkan. Peneliti harus paham bahwa metode restriksi
untuk mengendalikan faktor perancu sesungguhnya bersifat dilematis dan
kontraproduktif. Mengapa? Karena restriksi memangkas sampel potensial.
Kandidat subjek penelitian tidak jadi diteliti karena termasuk dalam kriteria
eksklusi. Alasan lainnya yang lebih serius, restriksi membuat sampel yang diteliti
menjadi spesifik, sehingga mempersempit kemampuan generalisasi
(generalizability) kesimpulan penelitian. Dengan kata lain, restriksi mencederai
validitas eksternal (external validity). Makin banyak restriksi, makin terbatas
kemampuan generalisasi temuan penelitian. Di sisi lain, restriksi yang tidak
cukup sempit akan meninggalkan kerancuan sisa (residual confounding)
(Kleinbaum et al., 1982; Hennekens dan Buring, 1987; Rothman, 2002).
Keempat, peneliti studi eksperimental perlu menerapkan “pembutaan”
(blinding). Dengan pembutaan, subjek penelitian, pengamat, dan penganalisis
data dibuat tidak mengetahui status intervensi subjek yang diteliti, atau status
intervensi yang diberikan kepada subjek penelitian (apakah intervensi yang
sesungguhnya atau plasebo/ obat standar). Pembutaan bertujuan untuk
mencegah bias informasi (bias pengukuran, “information/measurement bias”).
Jika subjek penelitian mengetahui bahwa dia mendapatkan intervensi yang
sesungguhnya atau hanya plasebo, maka sadar atau tidak, respons subjek
penelitian dapat dipengaruhi oleh pengetahuan tersebut. Demikian pula jika
pengamat mengetahui hipotesis penelitian dan status intervensi subjek
penelitian, maka ada kemungkinan proses pengukuran variabel, wawancara,
pencatatan, dan pemasukan data, akan terpengaruh oleh hipotesis penelitian,
disebut “interviewer bias” (bias pewawancara) (Hennekens dan Buring, 1987).
Demikian juga jika penganalisis data mengetahui hipotesis penelitian, maka ada
kemungkinan proses pemasukan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan
hasil analisis akan dipengaruhi oleh hipotesis penelitian.
Kelima, untuk mempertahankan efek randomisasi dalam mengontrol
kerancuan, data dari RCT hendaknya dianalisis dengan “intention-to-treat
analysis” (ITT). Dengan ITT, semua subjek hasil randomisasi, baik yang
mematuhi protokol penelitian maupun tidak (misalnya, ketidakpatuhan minum
obat), baik yang menyelesaikan intervensi maupun drop out, dilakukan analisis.
Jadi hasil ITT mencerminkan hasil randomisasi dan menunjukkan efektivitas
(effectiveness) intervensi ketika diterapkan pada populasi yang sesungguhnya.
Pada realitas sehari-hari, karena suatu alasan tidak semua pasien minum obat
dengan teratur dan tidak semua menyelesaikan waktu pengobatan sesuai dengan
yang diinginkan. Jika analisis data pada keadaan seperti itu tetap menunjukkan
efektivitas terapi, maka bisa disimpulkan bahwa terapi tersebut benar-benar
efektif ketika digunakan pada populasi pasien yang sesungguhnya.
Dalam epidemiologi dikenal eksperimen alamiah (“natural experiment”).
Dengan eksperimen alamiah peneliti hanya mengamati efek intervensi yang telah
diberikan oleh pihak lain, bukan oleh peneliti sendiri. Penyelidikan wabah kolera
yang dilakukan John Snow di London merupakan contoh “natural experiment”.
Karena peran peneliti bersifat observasional, maka “natural experiment” hakikatnya identik dengan studi kohor prospektif (Rothman, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar