Sabtu, 14 Maret 2020

Definisi Pembelian Kompulsif (Skripsi dan tesis)

 Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh beberapa individu di masa perkembangan dunia mode pakaian saat ini adalah bahwa mereka membeli secara kompulsif, yakni mereka membeli sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan, membeli karena situasi, dan bahkan mereka berbelanja secara berlebihan (Hoyer & MacInnis, 1997 : 526). Pembelian kompulsif didefinisikan sebagai respon dari keinginan atau dorongan yang tidak terkendali untuk mendapatkan, menggunakan, atau memahami perasaan, hakekat atau aktivitas yang menjadi petunjuk bagi seseorang untuk secara berulang/terus-menerus melakukan pembelian produk yang tidak terlalu dibutuhkan dalam jangka waktu yang cukup lama akibat dari 13 adanya perasaan negatif, depresi, rasa stres, rasa bosan akan aktivitasnya seharihari dengan tujuan utamanya adalah mencari kesenangan pada proses pembeliannya, bukan pada produknya (Sharma dkk, 2009 : 110 ; Gupta, 2013 : 44 ; Faber & O’Guinn, 1989 : 148 ; Dittmar, 2005 : 469 ; dan Kwak et al dalam Poetra, 2012 : 2). 
Sementara itu, Hoyer & MacInnis (1997 : 527) menyatakan bahwa pembelian kompulsif memiliki ikatan emosional yang kuat dari adanya perasaan negatif hingga sampai pada pencapaian perasaan positif. Dampak negatif yang kemungkinan besar terjadi apabila perilaku kompulsif ini terus berkembang adalah dari segi finansial, yakni kemungkinan terjadinya pembengkakan hutang dan rendahnya dana yang bisa ditabung (Robert dalam Ekowati, 2009: 3). Sementara itu, Solomon (1992 : 26) menjelaskan bahwa perilaku kompulsif merupakan ketergantungan seseorang terhadap produk atau jasa dan merupakan perilaku belanja yang dilakukan secara berulang dan berlebihan yang dianggap sebagai penangkal ketegangan, kecemasan, depresi, atau kebosanan sehingga produk atau jasa tersebut dapat memberikan kepuasan dan dianggap dapat memecahkan permasalahan yang sedang terjadi. Solomon (1992 : 27) juga mengungkapkan bahwa pembelian kompulsif ini termasuk ke dalam pembelian yang tidak terencana, namun perilaku pembelian kompulsif berbeda dengan perilaku pembelian impulsif. Pembelian impulsif terjadi karena adanya dorongan untuk membeli barang yang bersifat sementara, dan pembeliannya cenderung lebih ke arah produknya. Sedangkan pembelian kompulsif terjadi akibat dari adanya dorongan kuat untuk membeli barang yang berpusat pada proses pembeliannya. 
 Pembelian kompulsif dewasa ini sudah menjadi fenomena yang semakin berkembang, dan menjadi masalah yang penting dalam dunia pemasaran dan dalam bidang ilmu perilaku konsumen, khususnya mengenai perilaku pembelian kompulsif. Valence (Gupta, 2013 : 45) mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor utama pemicu seseorang berperilaku kompulsif, yaitu yang pertama adalah faktor sosial budaya (budaya, lingkungan komersial, dan kegiatan periklanan), dan yang kedua adalah faktor psikologis (personaliti, inteaksi lingkungan, keluarga, dan faktor genetik). Sementara itu, penjualan yang menarik, display toko yang menarik, dan pelayan toko yang perhatian, serta kredit yang mudah memungkinkan seseorang untuk berperilaku kompulsif (Hoyer & McInnis dalam Gupta, 2013 : 45). Gilbert dan Jackaria (Gupta, 2013 : 45) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian kupon, diskon harga, pemberian sampel, dan pembelian buy one get one free terhadap terjadinya perilaku kompulsif. Hal serupa diungkapkan pula oleh Rajagopal, dan Faber & O’Guinn (Gupta, 2013 : 45) bahwa terdapat hubungan antara pembelian kompulsif dan stimulus eksternal, seperti promosi penjualan dan tawar menawar dalam penjualan retail, kemudian stimulus di dalam toko termasuk display toko, display promosi diskon, dan penerapan harga yang rendah sehingga membentuk suatu atmosfer toko yang kondusif yang mampu meningkatkan gairah emosional pengunjung dalam berbelanja secara kompulsif. Perasaan gairah, eksitasi, persepsi terhadap pandangan, suara, dan perasaan yang kuat dan disukai merupakan faktor penting dalam perilaku pembelian kompulsif (Faber & O’Guinn, 1989 : 156). Loudon dan Bitta (1993 : 563) juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa karakteristik produk, pemasaran, dan karakteristik konsumen yang berhubungan dengan pembelian tak terencana. Karakteristik produk mempengaruhi terjadinya pembelian tak terencana lantaran produk tersebut memiliki harga yang rendah, pendeknya usia produk, adanya kebutuhan, dan akses yang memudahkan seseorang untuk pergi ke toko. Kemudian pemasaran berpengaruh terhadap terjadinya pembelian spontan adalah adanya iklan yang menarik, display toko, dan pelayanan. Sementara itu, karakteristik konsumen seperti usia seseorang, adanya daftar belanja, tujuan berbelanja, dan frekuensi berbelanja juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan pembelian tak terencana. 
Perilaku pembelian kompulsif merupakan bagian dari pembelian impulsif (Kurniawan dan Suparna, 2012: 3). Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama perilaku pembelian kompulsif (Larasati dan Budiani, 2014: 14). Pada dasarnya pembelian impulsif dan pembelian kompulsif hampir sama. Perbedaannya adalah pembelian impulsif lebih cenderung menyukai produknya, sedangkan pembelian kompulsif lebih cenderung menyukai kegiatan berbelanjanya (Kurnia, 2013: 2). Larasati dan Budiani (2014 : 15) mengatakan bahwa perilaku kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi. Seseorang yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai seseorang yang menghabiskan uang dengan cepat, dan mereka membentuk citra diri bahwa orang lain harus mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Perilaku berbelanja kompulsif atau disebut juga shopping addiction merupakan sebutan bagi mereka yang mengalami shopaholic (Poetra, 2012: 2 ; Sharma dkk, 2009 : 110). Shopaholic merupakan istilah medis untuk seseorang yang memiliki keinginan atau hasrat berbelanja secara kompulsif yang berasal dari bahasa 16 Yunani “Oniomania” , yakni “Onios” (belanja) dan “Mania” (Gila) (Sharma dkk, 2009 : 110). Kegiatan berbelanja ini pada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Namun untuk beberapa orang kegiatan berbelanja merupakan kegiatan yang menyenangkan, dianggap sebagai alat mengatur emosi, ataupun cara untuk mengekspresikan diri, dan biasanya kegiatan berbelanja tersebut tidak terkontrol dan bahkan memberikan dampak negatif. Kegiatan berbelanja yang demikian inilah disebut sebagai perilaku pembelian kompulsif, addictive buying, excessive buying, shopping addiction, spendaholism, shopaholic, dan addictive consumption (Koran dalam Poetra, 2012: 2 ; Sharma dkk, 2009 : 110 ; Solomon, 1992 : 26). 
Marlatt (dalam Poetra, 2012: 4) juga menambahkan bahwa perilaku adiktif tersebut biasanya dialami secara subyektif “loss of control” yakni dimana perilaku tersebut terus muncul meskipun telah adanya usaha untuk menghentikannya. Perilaku kompulsif ini biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berkhayal yang tinggi, dan tingkat depresi, kecemasan, dan obsesi yang tinggi (Rajagopal dalam Larasati dan Budiani, 2014 : 15) sehingga untuk mengurangi perasaan negatif tersebut ia melakukan pembelian kompulsif (Gupta, 2013 : 44). Tujuan dari adanya pembelian kompulsif tersebut adalah untuk menarik perhatian lingkungannya, untuk diakui oleh lingkungan sekitarnya, untuk meningkatkan rasa percaya diri, serta untuk membentuk citra diri individu melalui barang-barang konsumsi pribadi (consumer goods), seperti pakaian, fashion, dan produk yang mampu meningkatkan penampilan diri seseorang, bukan produk makanan, minuman atau belanja kebutuhan rumah 17 tangga (Kaser & Ryan dalam Gupta, 2013 : 44 ; Dittmar, 2005 : 468). Robert & Pirog mengemukakan bahwa wanita menempati posisi paling atas dalam hal mementingkan penampilan menarik dibandingkan dengan pria dan wanita juga lebih sering melakukan pembelian kompulsif dalam bentuk pakaian dan kosmetik (Gupta, 2013 : 44). Akan selalu ada dampak yang diakibatkan dari segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan. Begitu pun dengan perilaku kompulsif. Gwin et al (dalam Sari, 2012: 2) menjelaskan adanya dampak positif dan dampak negatif dari adanya perilaku pembelian kompulsif. Dampak positif dari perilaku pembelian kompulsif dalam jangka pendek adalah kepuasan dan kesenangan yang langsung dapat dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Perlu diperhatikan bahwa para pembeli kompulsif tidak melakukan pembelian semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu produk tertentu, tetapi lebih kepada hasrat untuk mencapai kepuasan dan kesenangan melalui proses pembelian yang dilakukan oleh si individu. Sementara itu, untuk jangka panjangnya perilaku pembelian kompulsif ini akan memberikan dampak negatif bagi si individu karena proses pembelian yang dilakukan secara berlebihan dan berulang-ulang tersebut akan menyebabkan masalah keuangan, kebangkrutan, hutang yang menumpuk, keretakan rumah tangga, terganggunya pekerjaan dan sebagainya (Gwin et al dalam Sari, 2012: 2 ; McElroy dalam Sharma dkk, 2009: 110). Dittmar (2005 : 470) mengungkapkan bahwa pembeli kompulsif berbelanja di atas batas kemampuan mereka karena termotivasi oleh tingginya keinginan mereka untuk memiliki harta benda, dan  menganggap bahwa kepemilikan harta benda tersebut merupakan tolok ukur identitas diri, keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup

Tidak ada komentar: