Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh beberapa individu di masa
perkembangan dunia mode pakaian saat ini adalah bahwa mereka membeli secara
kompulsif, yakni mereka membeli sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan, membeli
karena situasi, dan bahkan mereka berbelanja secara berlebihan (Hoyer &
MacInnis, 1997 : 526). Pembelian kompulsif didefinisikan sebagai respon dari
keinginan atau dorongan yang tidak terkendali untuk mendapatkan, menggunakan,
atau memahami perasaan, hakekat atau aktivitas yang menjadi petunjuk bagi
seseorang untuk secara berulang/terus-menerus melakukan pembelian produk
yang tidak terlalu dibutuhkan dalam jangka waktu yang cukup lama akibat dari
13
adanya perasaan negatif, depresi, rasa stres, rasa bosan akan aktivitasnya seharihari dengan tujuan utamanya adalah mencari kesenangan pada proses
pembeliannya, bukan pada produknya (Sharma dkk, 2009 : 110 ; Gupta, 2013 : 44
; Faber & O’Guinn, 1989 : 148 ; Dittmar, 2005 : 469 ; dan Kwak et al dalam
Poetra, 2012 : 2).
Sementara itu, Hoyer & MacInnis (1997 : 527) menyatakan
bahwa pembelian kompulsif memiliki ikatan emosional yang kuat dari adanya
perasaan negatif hingga sampai pada pencapaian perasaan positif.
Dampak negatif yang kemungkinan besar terjadi apabila perilaku kompulsif ini
terus berkembang adalah dari segi finansial, yakni kemungkinan terjadinya
pembengkakan hutang dan rendahnya dana yang bisa ditabung (Robert dalam
Ekowati, 2009: 3). Sementara itu, Solomon (1992 : 26) menjelaskan bahwa
perilaku kompulsif merupakan ketergantungan seseorang terhadap produk atau
jasa dan merupakan perilaku belanja yang dilakukan secara berulang dan
berlebihan yang dianggap sebagai penangkal ketegangan, kecemasan, depresi,
atau kebosanan sehingga produk atau jasa tersebut dapat memberikan kepuasan
dan dianggap dapat memecahkan permasalahan yang sedang terjadi. Solomon
(1992 : 27) juga mengungkapkan bahwa pembelian kompulsif ini termasuk ke
dalam pembelian yang tidak terencana, namun perilaku pembelian kompulsif
berbeda dengan perilaku pembelian impulsif. Pembelian impulsif terjadi karena
adanya dorongan untuk membeli barang yang bersifat sementara, dan
pembeliannya cenderung lebih ke arah produknya. Sedangkan pembelian
kompulsif terjadi akibat dari adanya dorongan kuat untuk membeli barang yang
berpusat pada proses pembeliannya.
Pembelian kompulsif dewasa ini sudah menjadi fenomena yang semakin
berkembang, dan menjadi masalah yang penting dalam dunia pemasaran dan
dalam bidang ilmu perilaku konsumen, khususnya mengenai perilaku pembelian
kompulsif. Valence (Gupta, 2013 : 45) mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor
utama pemicu seseorang berperilaku kompulsif, yaitu yang pertama adalah faktor
sosial budaya (budaya, lingkungan komersial, dan kegiatan periklanan), dan yang
kedua adalah faktor psikologis (personaliti, inteaksi lingkungan, keluarga, dan
faktor genetik). Sementara itu, penjualan yang menarik, display toko yang
menarik, dan pelayan toko yang perhatian, serta kredit yang mudah
memungkinkan seseorang untuk berperilaku kompulsif (Hoyer & McInnis dalam
Gupta, 2013 : 45). Gilbert dan Jackaria (Gupta, 2013 : 45) mengemukakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian kupon, diskon harga,
pemberian sampel, dan pembelian buy one get one free terhadap terjadinya
perilaku kompulsif. Hal serupa diungkapkan pula oleh Rajagopal, dan Faber &
O’Guinn (Gupta, 2013 : 45) bahwa terdapat hubungan antara pembelian
kompulsif dan stimulus eksternal, seperti promosi penjualan dan tawar menawar
dalam penjualan retail, kemudian stimulus di dalam toko termasuk display toko,
display promosi diskon, dan penerapan harga yang rendah sehingga membentuk
suatu atmosfer toko yang kondusif yang mampu meningkatkan gairah emosional
pengunjung dalam berbelanja secara kompulsif. Perasaan gairah, eksitasi, persepsi
terhadap pandangan, suara, dan perasaan yang kuat dan disukai merupakan faktor
penting dalam perilaku pembelian kompulsif (Faber & O’Guinn, 1989 : 156).
Loudon dan Bitta (1993 : 563) juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa
karakteristik produk, pemasaran, dan karakteristik konsumen yang berhubungan dengan pembelian tak terencana. Karakteristik produk mempengaruhi terjadinya
pembelian tak terencana lantaran produk tersebut memiliki harga yang rendah,
pendeknya usia produk, adanya kebutuhan, dan akses yang memudahkan
seseorang untuk pergi ke toko. Kemudian pemasaran berpengaruh terhadap
terjadinya pembelian spontan adalah adanya iklan yang menarik, display toko, dan
pelayanan. Sementara itu, karakteristik konsumen seperti usia seseorang, adanya
daftar belanja, tujuan berbelanja, dan frekuensi berbelanja juga mempengaruhi
seseorang untuk melakukan pembelian tak terencana.
Perilaku pembelian kompulsif merupakan bagian dari pembelian impulsif
(Kurniawan dan Suparna, 2012: 3). Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali
dan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang
diberi nama perilaku pembelian kompulsif (Larasati dan Budiani, 2014: 14). Pada
dasarnya pembelian impulsif dan pembelian kompulsif hampir sama.
Perbedaannya adalah pembelian impulsif lebih cenderung menyukai produknya,
sedangkan pembelian kompulsif lebih cenderung menyukai kegiatan
berbelanjanya (Kurnia, 2013: 2). Larasati dan Budiani (2014 : 15) mengatakan
bahwa perilaku kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi. Seseorang
yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai seseorang
yang menghabiskan uang dengan cepat, dan mereka membentuk citra diri bahwa
orang lain harus mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Perilaku
berbelanja kompulsif atau disebut juga shopping addiction merupakan sebutan
bagi mereka yang mengalami shopaholic (Poetra, 2012: 2 ; Sharma dkk, 2009 :
110). Shopaholic merupakan istilah medis untuk seseorang yang memiliki
keinginan atau hasrat berbelanja secara kompulsif yang berasal dari bahasa
16
Yunani “Oniomania” , yakni “Onios” (belanja) dan “Mania” (Gila) (Sharma dkk,
2009 : 110). Kegiatan berbelanja ini pada umumnya dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan. Namun untuk beberapa orang kegiatan berbelanja merupakan kegiatan
yang menyenangkan, dianggap sebagai alat mengatur emosi, ataupun cara untuk
mengekspresikan diri, dan biasanya kegiatan berbelanja tersebut tidak terkontrol
dan bahkan memberikan dampak negatif. Kegiatan berbelanja yang demikian
inilah disebut sebagai perilaku pembelian kompulsif, addictive buying, excessive
buying, shopping addiction, spendaholism, shopaholic, dan addictive consumption
(Koran dalam Poetra, 2012: 2 ; Sharma dkk, 2009 : 110 ; Solomon, 1992 : 26).
Marlatt (dalam Poetra, 2012: 4) juga menambahkan bahwa perilaku adiktif
tersebut biasanya dialami secara subyektif “loss of control” yakni dimana
perilaku tersebut terus muncul meskipun telah adanya usaha untuk
menghentikannya.
Perilaku kompulsif ini biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki tingkat
kepercayaan diri yang rendah, tingkat berkhayal yang tinggi, dan tingkat depresi,
kecemasan, dan obsesi yang tinggi (Rajagopal dalam Larasati dan Budiani, 2014 :
15) sehingga untuk mengurangi perasaan negatif tersebut ia melakukan pembelian
kompulsif (Gupta, 2013 : 44). Tujuan dari adanya pembelian kompulsif tersebut
adalah untuk menarik perhatian lingkungannya, untuk diakui oleh lingkungan
sekitarnya, untuk meningkatkan rasa percaya diri, serta untuk membentuk citra
diri individu melalui barang-barang konsumsi pribadi (consumer goods), seperti
pakaian, fashion, dan produk yang mampu meningkatkan penampilan diri
seseorang, bukan produk makanan, minuman atau belanja kebutuhan rumah
17
tangga (Kaser & Ryan dalam Gupta, 2013 : 44 ; Dittmar, 2005 : 468). Robert &
Pirog mengemukakan bahwa wanita menempati posisi paling atas dalam hal
mementingkan penampilan menarik dibandingkan dengan pria dan wanita juga
lebih sering melakukan pembelian kompulsif dalam bentuk pakaian dan kosmetik
(Gupta, 2013 : 44).
Akan selalu ada dampak yang diakibatkan dari segala sesuatu yang dilakukan
secara berlebihan. Begitu pun dengan perilaku kompulsif. Gwin et al (dalam Sari,
2012: 2) menjelaskan adanya dampak positif dan dampak negatif dari adanya
perilaku pembelian kompulsif. Dampak positif dari perilaku pembelian kompulsif
dalam jangka pendek adalah kepuasan dan kesenangan yang langsung dapat
dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Perlu diperhatikan bahwa para
pembeli kompulsif tidak melakukan pembelian semata-mata hanya untuk
mendapatkan suatu produk tertentu, tetapi lebih kepada hasrat untuk mencapai
kepuasan dan kesenangan melalui proses pembelian yang dilakukan oleh si
individu. Sementara itu, untuk jangka panjangnya perilaku pembelian kompulsif
ini akan memberikan dampak negatif bagi si individu karena proses pembelian
yang dilakukan secara berlebihan dan berulang-ulang tersebut akan menyebabkan
masalah keuangan, kebangkrutan, hutang yang menumpuk, keretakan rumah
tangga, terganggunya pekerjaan dan sebagainya (Gwin et al dalam Sari, 2012: 2 ;
McElroy dalam Sharma dkk, 2009: 110). Dittmar (2005 : 470) mengungkapkan
bahwa pembeli kompulsif berbelanja di atas batas kemampuan mereka karena
termotivasi oleh tingginya keinginan mereka untuk memiliki harta benda, dan menganggap bahwa kepemilikan harta benda tersebut merupakan tolok ukur
identitas diri, keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar