Jumat, 24 Januari 2020

Materialisme (Kebendaan) (skripsi dan tesis)


Berbagai fenomena tersebut memperlihatkan konsumen saat ini lebih baik mementingkan membeli produk yang mampu membuat dirinya terlihat baik di mata orang lain. Individu saat ini membeli produk bukan karena fungsi utilitariannya yang terkandung dalam fisik produk tersebut, tetapi individu membeli fungsi simbolis yang tidak tampak dari fisik produknya, tetapi kehebatannya bagi individu jauh melebihi fungsi utilitariannya. Di Indonesia banyak pelacuran anak-anak atau remaja terjadi dikarenakan keinginan untuk memiliki benda-benda bagus, seperti ponsel atau pakaian bermerk (Kompas, Jumat 14 November 2008 dan Kompas, Sabtu 2 Desember 2008, dalam Fransisca 2011 : 46).
Dengan berkembangnya Globalisasi, individu dimanapun saat ini semakin dihadapkan kepada realita yang di dominasi oleh benda-benda materi ini mampu menjadikan manusia untuk hidup lebih baik dan termanjakan. Oleh karena itu  tidak heran jika banyak orang termotivasi bekerja lebih keras dan keras agar mampu mendapatkan benda-benda ini. Pada akhirnya ukuran kesuksesan sesorang saat ini diletakkan kepada kuantitas dan kualitas benda-benda yang dimiliki seseorang. Menurut Chaplin dan John (2007, dalam Fransisca 2011: 47)
Ukuran kesuksesan ini menjadikan banyak orang menjadi semakin mementingkan kepemilikan benda-benda yang memiliki nilai tinggi sebagai tanda kesuksesan diri dimata orang lain dan upaya untuk mencapai kebahagiaan. Upaya seseorang yang mementingkan kepemilikan benda-benda materi yang bernilai tinggi, terutama di mata orang lain, dikenal dengan materialisme, hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Richins bahwa materialisme berkenaan dengan penggunaan merk secara aktif guna membentuk dan meningkatkan identitas diri. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa materialisme adalah sebuah paham dimana kepemilikan benda-benda materi merupakan hal yang amat penting bagi seseorang dalam upayanya mencapai kebahagiaan. Inti materialisme terletak pada orientasi eksternal dimana pandangan diri yang positif dan penerimaan diri tergantung kepada kepemilikan benda-benda, uang, power dan image (Kashdan dan Breen, 2007 dalam Fransisca 2011 : 4), yang menurut Micken dan Roberts (1999, dalam Fransisca 2011 : 47) akan dihidupkan terus menerus melalui feedback dari orang lain.
 Hal ini mengungkapkan adanya makna simbolis, bukan makna utilitarian, dari produk atau merk yang dicari oleh para individu untuk membentuk identitas dirinya di mata orang lain. Pemaknaan simbolis dari sebuah merk yang dilakukan oleh  individu sesuai dengan orientasi konsumen dari the Theory of Consumption Symbolism yang bersifat interdispliner, karena menyangkut berbagai bidang ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi, ekonomi, dan sosiologi. Ada beberapa peneliti yang menyatakan bahwa materialisme merupakan tanda dari makmurnya sebuah masyarakat (sebuah konsekuensi yang logis di mana meningkatnya dalam konsumsinya), ada juga yang menyatakan bahwa materialisme merupakan sebuah akibat yang negatif bagi masyarakat yang berorientasi kepada konsumsi (juga sebuah konsekuensi yang logis ketika aktivitas konsumsi menjadi sebuah hal yang bernilai lebih penting dibandingkan memiliki merk yang telah dibeli), dan ada juga yang menyatakan bahwa materialisme tidak bisa disebut baik atau buruk, karena materialisme merupakan salah satu institusi yang ada dalam masyarakat (Kilbourne, 2009 dalam Fransisca 2011 : 48).
 Materialisme juga dapat diartikan sebagai individu yang memberi perhatian pada masalah kepemilikan duniawi sebagai hal yang penting. Pada tingkat yang tinggi, kepemilikan akan suatu hal atau benda dapat diasumsikan sebagai tempat sentral dalam kehidupan orang tersebut, serta menjadi sumber kepuasan terbesar jika segalanya terpenuhi. Individu melihat, uang sebagai sumber kekuatan dan harga diri, dan belanja merupakan salah satu cara untuk mewujudkan karakter dari materialisme. Dorongan membeli selain menjadi kebutuhan materialisme juga didorong oleh faktor karakter, pengaruh lingkungan, tidak memiliki prioritas, atau bahkan ikut-ikutan atau belanja yang tidak terencana. Gaya hidup yang disimbolkan dengan pola belanja yang tidak terencana diartikan sebagai membeli sesuatu tanpa prioritas dan direncanakan. 21 Pengejaran materi seperti ini akan menimbulkan perbandingan dan proses kompetisi yang berkelanjutan. Pencapaian posisi kekuasaan dan status sosial tertentu akan diperoleh seseorang dengan cara melebihi komunitasnya (Ardiani Ika S, 2011 : 124). Materialism juga dipandang sebagai kepentingan seseorang yang berorientasi pada kepemilikan barang duniawi. Kepemilikan barang diasumsikan sebagai pusat dalam kehidupan seseorang yang mungkin akan dapat menimbulkan perasaan puas dan tidak puas terhadap standar hidupnya (Belk, 1985 : 1-32). (Burroughs dan Rindfleisch, 2002 : 348-370) mengatakan bahwa orang yang tingkat materialisnya tinggi, lebih merasa tidak puas dengan standar hidupnya dibandingkan orang yang tingkat materialisnya rendah. Perasaan puas dan ketidakpuasan dari orang materialis terutama berkaitan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Ahuvia dan Wong dalam Fitzmaurice & Comegys, 2006 : 287-299). Apabila orang materialis merasa tidak puas maka akan terus menambahkan barang yang telah dimiliki. Kepuasan hidup dapat diukur dengan menggunakan dua aspek (Barbera dan Gurhan, 1997 : 71-97), yaitu: a) Personal Variable, didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa semakin banyak barang yang dimiliki, maka dapat meningkatkan kebahagiaan seseorang dan b) General Variable, didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa uang bisa membawa kebahagiaan. Ada beberapa motivasi yang menyebabkan seseorang menjadi materialis, terutama yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dirinya sendiri, seperti adanya keinginan dari diri dan merupakan sifat dasar yang 22 bisa dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan kondisi keuangan yang baik dari orang tersebut (Fitzmaurice dan Comegys, 2006 : 287-299)

Tidak ada komentar: