Senin, 04 November 2019

Whistleblowing Dalam Keteknikan (skripsi dan tesis)


            Tidak ada definisi yang pasti tentang whistleblowing (Brennan dan Kelly, 2007). Satu elemen yang konsisten, yang disetujui oleh para ahli, adalah bahwa whistleblowing merupakan sebuah tindakan untuk melaporkan dan membongkar kecurangan (Ahmad, 2011)Jubb (1999) dalam Brennan dan Kelly (2007) memberikan defisini whislteblowing  sebagai sebuah tindakan pengungkapan secara sengaja yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki akses terhadap data atau informasi sebuah organisasi, tentang praktik ilegal atau praktik lain yang sebenarnya terjadi, yang dicurigai, atau praktik yang diantisipasi akan berimplikasi pada praktik illegal, kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk memperbaiki. Near dan Miceli (1985) dalam Brennan dan Kelly (2007) menyebutkan bahwa whistleblowing adalah suatu pengungkapan yang dilakukan anggota organisasi atas suatu praktik ilegal, tidak bermoral, atau tanpa legitimasi hukum di bawah kendali pimpinan kepada individu atau organisasi yang dapat menimbulkan efek tindakan perbaikan. Secara umum, whistleblowing dapat diartikan sebagai pengungkapan kepada pihak yang memiliki kewenangan atau kepada masyarakat luas mengenai adanya praktik illegal yang mengancam kepentingan umum didalam organisasi (Gocke, 2013).
Elias (2008) dalam Dalimunthe (2015) menganggap  whistleblowing sebagai proses yang kompleks dengan melibatkan faktor pribadi dan organisasi. Whistleblowing  dapat terjadi dari dalam (internal) maupun luar organisasi (eksternal). Internal whistleblowing dapat terjadi ketika seorang karyawan mengetahui tindakan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain dan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada bagian dalam organisasi itu sendiri. External whistleblowing terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaan lalu melaporkannya kepada pihak luar organisasi karena kecurangan tersebut akan merugikan masyarakat luas.
            Gobert dan Punch (2000) dalam Dalimunthe (2015) mengartikan pelapor kecurangan (whistleblower) sebagai individu dalam sebuah organisasi yang mengungkap informasi negatif tentang organisasi, praktik-praktik organisasi, atau personel-personel organisasi. Lewis (2005) dalam Dalimunthe (2015) mengatakan bahwa whistleblowing dapat dipandang sebagai bagian dari strategi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas. Organisasi akan mengancam dan membalas dendam kepada pengungkap kecurangan untuk mencegah pengungkapan publik atas tindakan tidak etis dari organisasi. Pembalasan dendam organisasi dapat berupa kehilangan pekerjaan, pencemaran nama baik, atau pengisolasian dalam bekerja.
Tindakan whistleblowing seringkali menimbulkan dilema etika bagi para pelakunya. Dalam beberapa kasus, tindakan whistleblowing dianggap sebagai tindakan heroik, namun dibeberapa kasus lainnya dianggap sebagai tindakan yang tercela karena dianggap tidak memiliki loyalitas. Dilema etika seorang whistleblower (pelaku tindakan whistleblowing) muncul ketika dia harus memilih antara keadilan atau loyalitas. Dungan dkk (2015) menyatakan bahwa ketika nilai keadilan meningkat maka tindakan whistleblowing akan lebih mungkin untuk dilakukan, sebaliknya ketika nilai loyalias yang mengalami peningkatan, maka keinginan untuk melakukan whistleblowing menjadi kurang.
Lebih lanjut Dungan dkk (2015) menjelaskan tradeoff yang dilakukan individu ketika menghadapi dilema antara keadilan dan loyalitas merupakan faktor mendasar yang mengendalikan keputusan seseorang untuk melakukan whistleblowing atau tidak. 
            Menurut Dungan dkk (2015), ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang melakukan whistleblowing, yaitu faktor individu (status manajerial, locus of control, kepribadian individu), faktor situasional (dukungan organisasi, kebijakan mengenai whistleblowing dalam organisasi, pengetahuan mengenai whistleblowing, prosedur keamanan bagi whistleblower, keseriusan pelanggaran), dan faktor budaya (kelompok budaya kolektivisme memiliki kecenderungan yang kecil untuk melakukan whistleblowing dibandingkan kelompok budaya individualisme).
            Dalam kasus engineering, Bouville (2007) menyebutkan bahwa kanon pertama dalam code of the National Society of Professional Engineering yaitu tugas ke masyarakat, harus mengalahkan kanon keempat yaitu tugas kepada atasan. Dengan demikian, seorang engineer memiliki kewajiban sebagai seorang profesional untuk mengungkapkan adanya pelanggaran dalam organisasi mereka.

Tidak ada komentar: