Berdasarkan statusnya, pemimpin menjadi pusat informasi dari unit atau
timnya. Oleh karena itu, pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat pada
akuisisi dan distribusi informasi. Kepemimpinan transformasional mendorong
komunikasi yang terbuka, jujur, dan tepat waktu, dan memperkuat dialog dan
kolaborasi antar anggota tim. Pemimpin mendorong ekspresi pandangan dan ide yang berbeda-beda pengetahuan. Pemimpin bertindak sebagai katalis,
mempercepat akuisisi dan distribusi. Dengan memberikan kesempatan pada
ekspresi pandangan dan ide yang berbeda-beda, dengan mempertanyakan
asumsi dan kepercayaan lama, dan dengan merangsang perspektif baru, maka
mereka meningkatkan proses interpretasi informasi. Sebaliknya, pemimpin
transformasional dapat memfasilitasi perubahan perilaku dan kognitif bagi
anggota organisasi yang dihasilkan dari sejumlah fase pembelajaran organisasi sebelumnya. Kepemimpinan dengan gaya transformasional, menurut Avolio dan Bass (1995) diwujudkan dengan kemampuan untuk menyediakan motivasi inspirasional, stimulus dan perhatian individu. Ketika ketiga hal tersebut tercipta dalam suatu perusahaan akan mendorong munculnya anggapan positif dari karyawan terhadap atasannya yang secara ilmiah di sebut dengan persepsi. Bass (dalam Rosiana & Safitri, 2015) menyatakan karyawan yang mempersepsikan gaya kepemimpinan atasan yang transformasional menilai bahwa pemimpin memiliki karisma yang mampu melakukan stimulus intelektual pada karyawannya, sehingga karyawan mampu berpikir menemukan cara baru dalam menghadapi pekerjaan dan masalah dalam pekerjaan, meningkatkanke sadaran dan penerimaan terhadap tujuan dan misi perusahaan, serta mengarahkan karyawan untuk terpacu dan terdorong berperilaku dalam mencoba menyelesaikan setiap tugas yang menantang, bertanggung jawab dengan pekerjaan, menyukai umpan balik yang diberikan oleh orang lain, inovatif dalam bekerja, dan memiliki ketahanan kerja yang lebih tinggi. Seperti dinyatakan Avolio dkk (2002), bahwa kepemimpinan transformasional sangat berpotensi menguatkan keyakinan bawahan terhadap tujuan bersama yang disepakati, serta membuat bawahan merasa percaya diri untuk melakukan sesuatu, bahkan melebihi harapan sebelumnya. Avolio dan Bass (1995) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat karakteristik dasar, yaitu karismatik, motivasi inspirasional, stimulus intelektual, Perhatian Individu.
Karismatik, pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan
kepentingan orang lain dari kepentingan diri sendiri. Pemimpin menimbulkan
kesan pada karyawan bahwa pemimpin memiliki keahlian untuk melakukan
tugas pekerjaan sehingga patut dihargai (Avolio dan Bass, 1995). Karyawan
yang memiliki kesan positif kepada atasannya menjadikan katalis bagi
keyakinan karyawan untuk berkreasi atau bereksperimentasi dengan
pekerjaannya. Yang ditekankan pada usaha karyawan dalam menyesuaikan
komponen pekerjaan sedemikian rupa, supaya dapat lebih selaras dengan
kebutuhan, keterampilan, dan preferensi mereka (Tims, Bakkes, dan Dekkers
2015). Menurut Avolio dan Bass (1995) ketika karyawan memiliki persepsi
negatif terhadap atasannya maka membuat karyawan kehilangan rasa percaya terhadap atasannya sehingga menjadikan karyawan bersikap pasif dalam pekerjaannya.
Pada karakteristik motivasi inspirasional adalah seorang pemimpin yang
bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti
mampu mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi dari bawahannya,
menggunakan simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan
menyatakan tujuan-tujuan penting secara sederhana (Avolio dan Bass, 1995).
Adanya pemimpin yang memotivasi terhadap karyawannya diharapkan mampu membantu karyawan dalam melakukan perubahan dalam pekerjaannya. Karena karyawan yang telah melakukan perubahan demi kepentingan pekerjaannya akan menghasilkan kinerja yang lebih efisien, menarik dan bermanfaat bagi organisasinya (Tims, Bakkes, dan Dekkers 2015). Sehingga, pemimpin mendapatkan pengikut yang aktif terlibat dengan pola komunikasi yang intens serta menunjukkan komitmen terhadap tujuan dan visi bersama (Bass dan Riggio, 2006).
Avolio dan Bass (1995) Menyatakan pemimpin yang memiliki
karakteristik stimulus intelektual mendorong upaya pengikut mereka untuk
menjadi inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, reframing
masalah, dan mendekati situasi lama dengan cara baru. Melalui pimpinan yang
menginginkan karyawannya mengembangkan cara kerja baru dan keutuhan tim sehingga karyawan bersedia bekerja sama dengan karyawan lain untuk tujuan bersama, dan karyawan tidak merasa bosan serta bekerja dengan penuh semangat dalam mendapakan manfaatnya. Dengan adanya pemimpin yang mendorong karyawannya untuk berinovasi hal tersebut memfasilitasi munculnya perilaku job crafting yang ditunjukan pada aspek increasing structural job resources yang bertujuan mengembangkan kemampuan (khusus) karyawan yang mendorong karyawan untuk mempelajari hal-hal baru. Yang dijelaskan oleh Tims, dkk, (2012) bahwa meningkatkan sumber daya pekerjaan, maka dapat membuat karyawan merasa lebih puas dan dapat menyebabkan tingginya keterlibatan kerja.
Pada karakteristik kepemimpinan transformasional yang terakhir yaitu
perhatian individual pemimpin memberikan perhatian khusus terhadap
kebutuhan masing-masing pengikut individu untuk pencapaian dan pertumbuhan dengan bertindak sebagai pelatih atau mentor (Avolio dan Bass,
1995). Menurut Sutrisno (dalam Annas & Indrawati, 2014) pada karakteristik
kepemimpinan transformasional yaitu perhatian individual digambarkan dengan pemimpin yang menyetujui karyawan untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan sehingga karyawan memiliki wawasan dan pengalaman yang lebih baik dari hari ke hari, sehingga pemimpin yang baik dalam karakteristik ini tidak pernah menghalangi karyawan yang ingin mengembangkan pendidikan dan keterampilan. Wawasan dan pengalaman adalah modal yang sangat berharga bagi karyawan untuk meningkatkan job crafting atas dasar dukungan dan perhatian dari atasan di khususkan pada aspek aspek increasing social job resources yakni optimalisasi sumber daya sosial, atau relasi-relasi yang terbangun dalam ruang lingkup pekerjaan. Adanya relasi dan jejaring menyediakan level support kepada karyawan, baik dalam mendapatkan informasi baru, ataupun dalam mengevaluasi pencapaian personal. Ketersediaan sumber daya sosial akan memfasilitasi dan mendorong karyawan ketika mencari masukan dan saran dari rekan kerja maupun supervisor yang memegang peranan penting bagi karyawan, kesediaan karyawan untuk meminta bimbingan dan pendapat supervisor, mencari inspirasi dari senior atau atasan, meminta umpan balik dari orang lain terkait pekerjaan ataupun kesediaan meminta nasihat dari kolega (Tims, dkk, 2012).
Menurut Jung dan Avolio (1999) kepemimpinan transformasional
meliputi pengembangan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dan
pengikutnya, bukan hanya sekedar sebuah perjanjian tetapi lebih didasarkan
pada kepercayaan dan komitmen. sebab bawahan merasa percaya dan hormat
terhadap pemimpin serta mereka termotivasi berbuat lebih daripada apa yang
diharapkan. Hal tersebut melandasi asumsi bahwa motivasi yang diberikan
pemimpin dengan gaya transformasional akan menumbuhkan kemauan dan
keberanian karyawan untuk mengelola cara pandang serta makna sebuah
pekerjaan karna pemimpin dalam hal ini tidak serta merta mengatur dan
memberikan arahan secara kaku, justru sebaliknya pemimpin terbuka, suportif
dan toleran sehingga memunculkan keinginan yang mendasar dalam diri
karyawan untuk menemukan makna positif dalam pekerjaan serta membangun
identitas positif dalam organisasi mereka (Dutton, Roberts & Bednar, 2010).
Pendapat tersebut didukung temuan Givens (2008), yang menyimpulkan
bahwa gaya kepemimpinan tranformasional tidak hanya berkontribusi terhadap keluaran organisasi, namun juga mengarah pada pertumbuhan personal orang-orang di dalamnya. Hal yang paling signifikan adalah tumbuhnya motivasi dan kelekatan karyawan (anggota organisasi), yang tidak hanya membuat efektif dalam bekerja, namun mendorong munculnya inovasi-inovasi proaktif. Temuan senada diungkapkan Wu dan Zhen (2015), dengan menemukan bahwa sisi afektif dari kepemimpinan transformasional, ternyata memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan lingkungan psikologis yang positif, sekaligus mendorong penguatan perilaku proaktif, yang pada akhirnya terwujud dalam job crafting.
Memfasilitasi munculnya job crafting pada karyawan bagian produksi,
tentu sangat berguna bagi organisasi. Selain memunculkan kelekatan dan makna positif karyawan terhadap pekerjaan, karyawan dengan job crafting tinggi berpotensi untuk mengambil tanggung jawab pengembangan organisasi, dengan mengadopsi teknik, cara atau metode baru untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan (Koenig, 2014). Elaborasi motif-motif personal yang diselaraskan dalam kerangka organisasi, akan mendorong karyawan berani berperan lebih, secara sukarela memanfaatkan sumber daya yang dimiliki ataupun mengelola bahkan potensi-potensi khusus dalam dirinya dalam menjalankan tugas atau pekerjaan. Seperti diterangkan Berg, Dutton dan Wrzesniewski (2013), bahwa sikap proaktif dan independen dari karyawan itulah yang menjadi sumbu kreativitas dan inovasi, dan menganggap bekerja bukan semata untuk kepentingan organisasi, namun kepentingan pencapaian diri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar