Faktor lingkungan yang merupakan pemicu stres yaitu keadaan lingkungan secara global (Robins, 2008). Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah keadaan di sekitar tempat pada waktu karyawan melakukan pekerjaanya, dan keadaan ini yang dapat mempengaruhi kesejahteraan karyawan (Wesik, 2004). Seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya. Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal walaupun berada di dalam situasi yang sama. Apabila karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerja non fisiknya, maka karyawan akan menerima hal tersebut sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, bila karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap lingkungan kerja non fisik, maka karyawan akan menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan (Andriani, 2004).
Memberikan atau mengadakan lingkungan kerja non fisik yang menyenangkan berarti juga menimbulkan perasaan yang puas terhadap karyawannya serta akan mengurangi tingkat burnout karyawan di tempat kerja (kartono, 2005). Sedamayanti (2001) menyatakan bahwa lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan dengan bawahan dan sesama rekan kerja. Ditambahkan Sentoso (2001) lingkungan kerja non fisik merupakanlingkungan kerja yang dapat membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas, kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan. Semangat kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh keadaan karyawan mempersepsikanlingkungan kerja non fisiknya, misalnya hubungan dengan sesama karyawan dan dengan pemimpinnya.
Apabila hubungan seorang karyawan dengan karyawan lain dan dengan pimpinan berjalan dengan sangat baik maka akan dapat membuat karyawan merasa lebih nyaman berada di lingkungan kerjanya.Dengan begitu semangat kerja karyawan akan meningkat dan kinerja pun juga akan ikut meningkat (Sentoso 2001). Seorang karyawan di katakan memiliki persepsi lingkungan kerja non fisik yang baik jika memiliki beberapa aspek di dalam lingkungan kerjanya seperti : struktur kerja, tanggung jawab kerja, perhatian dan dukungan pemimpin, kerjasama antar kelompok dan kelancaran komunikasi (Sihotang, 2004). Struktur kerja adalah menspesifikasikan pembagian kerja dan menunjukan bagaimana fungsi atau aktivitas yang beranekaragam yang dihubungkan sampai batas waktu tertentu, juga menunjukan tingkat spesialisasi aktivitas kerja (Siswanto, 2005). Struktur kerja salah satu aspek yang penting dalam lingkungan kerja demi tercapainya persepsi lingkungan kerja non fisik yang baik bagi karyawan. (Sutrisno, 2009) Di dunia kerja, seseorang dihadapkan pada struktur kerja yang tidak menentu. Jika karyawan bekerja di tempatkan yang kurang menyenangkan serta 26 lingkungan kerja yang tidak mendukung untuk karyawan bekerja akan menimbulkan persepsi struktur kerja yang negatif bagi karyawan. Struktur pekerjaan yang tinggi akan menimbulkan banyak permasalahan bagi individu dan dapat berdampak negatif terhadap performa kerja seseorang. Jika situasi struktur kerja yang tinggi dipersepsikan karyawan secara negatif maka karyawan rentan mengalami kelelahan disaat bekerja, kelelahan bekerja yang terus menerus setiap harinya yang tidak dapat di atasi akan menimbulkan burnout pada karyawan (Sasono, 2004).
Burnout tidak hanya berdampak negatif terhadap individu tetapi juga akan merugikan organisasi tempat individu bekerja. Individu yang mengalami burnout akan merasa tertekan, bersalah, cemas, dan kurang memiliki motivasi sehingga akan berakibat mangkir kerja, pindah kerja dan memiliki produktivitas rendah yang akan merugikan organisasi yang menimbulkan efek negatif terhadap performa seseorang dalam bekerja (Rosyid, 1996). Sedangkan sebaliknya, apabila para pekerja cenderung mempersepsikan struktur kerja secara positif maka para pekerja menjadi lebih terikat pada kerja, dan merasa lebih puas pada hasil pekerjaanya. Jika tugas para pekerja memungkinkan keterlibatan diri yang lebih besar dan mengandung lebih banyak variasi, dan jika ketentuanketentuan dan peraturan kerja dibatasi seminimum mungkin, maka para pekerja lebih menikmati struktur kerjanya dan lebih terhindari dari kelelahan (Steers, 1988). Aspek persepsi lingkungan kerja non fisik yang kedua adalah tanggung jawab kerja. Menurut Nitisemito (2006), tanggung jawab kerja adalah melakukan pekerjaan secara tuntas, tidak menunda-nunda waktu, sehingga 27 pekerjaan lebih meningkat, bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan secara individu dan hukum. Pendapat di atas menekankan bahwa tanggung jawab menunjukkan tingkat penyelesaian kerja dan kualitas hasil pekerjaan yang mengarah pada terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam menyelesaikan pekerjaan. Seorang yang memiliki persepsi tanggung jawab yang positif akan secara aktif berusaha mencapai tujuan, memperlihatkan komitmen, aktivitasaktivitas, perilaku-perilaku, dan gaya hidup untuk memaksimalkan prestasi serta aktualisasi diri sepenuhnya menurut cara keinginan para pekerja itu sendiri (Olson, 2003). Seorang yang mempersepsikan tanggung jawab kerja secara positif akan menunjukan sikap yang baik dan profesional terhadap pekerjaan yang pekerja hadapi dan melakukan sesuatu bukan karena diminta, bukan karena para pekerja diperintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu, tetapi karena dorongan yang muncul untuk memuaskan diri yang di yakininya bahwa tanggung jawab kehidupan, masa depan, dan nasibnya berada di pundaknya sendiri.Seseorang tersebut dalam melakukan apapun tidak di bawah tekanan dan menikmati setiap pekerjaannya sehingga seseorang yang memiliki persepsi tanggung jawab kerja yang positif lebih terhindar dari kelelahan kerja atau burnout pada diri seorang tersebut (Olson dalam Lubis & Nuryana, 2003). Sedangkan aspek persepsi lingkungan kerja non fisik yang ketiga menurut Sihotang (2004) adalah perhatian dan dukungan pemimpin.
Kepemimpinan adalah suatu proses di mana seorang pemimpin mempengaruhi para bawahannya dalam mencapai tujuan. Menurut (House, 1988 dalam Guritno 2005), menyatakan bahwa perilaku pemimpin memiliki dampak yang signifikan terhadap sikap karyawan, perilaku dan kinerja. Efektivitas seorang pemimpin akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik bawahannya. Perilaku pemimpin pada dasarnya terkait dengan proses pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya. Dampak dari pengaruh seorang pemimpin terhadap para anggotanya tersebut dapat bersifat positif yang mampu meningkatkan kinerjanya/sebaliknya yang dapat menyebabkan karyawan kelelahan (Lusdiyanti, 2011). Persepsi karyawan terhadap dukungan pemimpin yang positif akan memberikan dampak yang baik terhadap kinerja karyawan dalam bekerja, menimbulkan motivasi dan dampak yang signifikan terhadap sikap karyawan sehingga karyawan terhindar dari kelelahan kerja. Sedangkan jika karyawan mempersepsikan dukungan pemimpin secara negatif ditambah kwalitas dukungan supervisi atau dukungan pemimpin yang jelek dapat menyebabkan stress kerja pada karyawan (Handoko, 1998). Sumber potensial stres diantaranya karena faktor organisasiyaitu gaya kepemimpinan. Kondisi ini akan berdampak pada psikologis dan persepsi seseorang antara lain perasaan cemas, murung dan bahkan yang tidak kalah penting adalah berkurangnya kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja seseorang (Robbins 2002). Aspek yang ke empat adalah kerjasama antar kelompok. Kerjasama antar kelompok adalah keinginan untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif di dalam bagian dari kelompok, kompetensi kerjasama menekankan peran sebagai aggota kelompok (Mogot, 2013).
Kelompok kerja dan gaya kepemimpinan adalah kesatuan tim yang tidak baik dan konflik interpersonal dalam pekerjaan secara positif berhubungan dengan burnout. Oleh karena itu, kualitas interaksi dengan rekan kerja sangat penting (Pratiwi, 2016). Burnout pada karyawan khususnya kelompok kerja, mengindikasikan bahwa gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas secara positif berhubungan dengan burnout, sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi sosial secara negatif juga berhubungan dengan burnout. Menurut Sarafino (dalam Purba 2007), salah satu cara mengatasi burnout adalah dengan meningkatkan interaksi kerja sama antar kelompok kerja. Kerjasama merujuk pada suatu usaha antara perorang atau kelompok manusia diantara kedua belah pihak untuk tujuan bersama sehingga mendapatkan hasil lebih cepat dan lebih baik. Oleh karena itu adanya kerjasama antar kelompok membuat individu merasa yakin bahwa pekerjaannya tidak di bebankan hanya pada dirinya sendiri sehingga dapat mengurangi gejala burnout yang dialami karyawan. Aspek terakhir menurut Sihotang (2004) adalah kelancaran komunikasi. Komunikasi adalah proses yang dipergunakan oleh manusia untuk mencari kesamaan arti lewat transisi pesan simbolik. Komunikasi merupakan saluran proses manajerial yaitu merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan, sehingga disimpulkan bahwa salah satu kekuatan yang menghambat kinerja kelompok yang sukses adalah kurangnya komunikasi yang efektif sehingga dapat menyebabkan timbulnya kelelahan kerja pada karyawan (Robbins, 2006). Komunikasi merupakan suatu proses sosial dimana individuindividu yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses pengaruhmempengaruhi ini merupakan suatu proses yang bersifat psikologi dan karenanya 30 juga merupakan permulaan ikatan psikologi antar manusia yang memiliki suatu pribadi dan memberikan peluang bakal terbentuknya suatu kebersamaan dalam sekelompok yang tidak lain merupakan tanda adanya proses sosial (Rukmana, 2007).
Pentingnya menjalin komunikasi dengan berinteraksi dengan sesama manusia lain adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri manusia sebagai makhluk hidup. Begitu juga halnya dengan organisasi organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil dengan berinteraksi dengan para anggota organisasi tersebut. Komunikasi yang efektif penting bagi semua organisasi oleh karena itu dapat menunjang menurunnya tingkat kelelahan kerja pada karyawan (Mulyana, 2005). Lingkungan kerja non fisik merupakan faktor penting dan berpengaruh terhadap karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Lingkungan kerja non fisik sangat mempengaruhi keadaan karyawan dalam bekerja, di mana lingkungan kerja non fisik yang buruk akan menyebabkan timbulnya kelelahan, ketegangan emosi, serta motivasi yang rendah. Sebaliknya, lingkungan kerja non fisik yang baik menciptakan motivasi tinggi dan tidak menimbulkan kelelahan serta ketegangan emosi pada karyawan (Kartono, 2005). Karyawan yang mempunyai penilaian yang positif terhadap lingkungan kerja non fisik berarti karyawan merasa bahwa lingkungan kerja non fisiknya baik, sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi dan akan menghambat lajunya tingkat burnout pada karyawan. Sebaliknya karyawan yang merasakan lingkungan non fisiknya mengancam, menekan dan tidak nyaman akan lebih mudah menderita stress dan berpotensi mengalami burnout (Berliner dkk dalam Andriansyah dan Sahrah, 2014)
Memberikan atau mengadakan lingkungan kerja non fisik yang menyenangkan berarti juga menimbulkan perasaan yang puas terhadap karyawannya serta akan mengurangi tingkat burnout karyawan di tempat kerja (kartono, 2005). Sedamayanti (2001) menyatakan bahwa lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan dengan bawahan dan sesama rekan kerja. Ditambahkan Sentoso (2001) lingkungan kerja non fisik merupakanlingkungan kerja yang dapat membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas, kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan. Semangat kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh keadaan karyawan mempersepsikanlingkungan kerja non fisiknya, misalnya hubungan dengan sesama karyawan dan dengan pemimpinnya.
Apabila hubungan seorang karyawan dengan karyawan lain dan dengan pimpinan berjalan dengan sangat baik maka akan dapat membuat karyawan merasa lebih nyaman berada di lingkungan kerjanya.Dengan begitu semangat kerja karyawan akan meningkat dan kinerja pun juga akan ikut meningkat (Sentoso 2001). Seorang karyawan di katakan memiliki persepsi lingkungan kerja non fisik yang baik jika memiliki beberapa aspek di dalam lingkungan kerjanya seperti : struktur kerja, tanggung jawab kerja, perhatian dan dukungan pemimpin, kerjasama antar kelompok dan kelancaran komunikasi (Sihotang, 2004). Struktur kerja adalah menspesifikasikan pembagian kerja dan menunjukan bagaimana fungsi atau aktivitas yang beranekaragam yang dihubungkan sampai batas waktu tertentu, juga menunjukan tingkat spesialisasi aktivitas kerja (Siswanto, 2005). Struktur kerja salah satu aspek yang penting dalam lingkungan kerja demi tercapainya persepsi lingkungan kerja non fisik yang baik bagi karyawan. (Sutrisno, 2009) Di dunia kerja, seseorang dihadapkan pada struktur kerja yang tidak menentu. Jika karyawan bekerja di tempatkan yang kurang menyenangkan serta 26 lingkungan kerja yang tidak mendukung untuk karyawan bekerja akan menimbulkan persepsi struktur kerja yang negatif bagi karyawan. Struktur pekerjaan yang tinggi akan menimbulkan banyak permasalahan bagi individu dan dapat berdampak negatif terhadap performa kerja seseorang. Jika situasi struktur kerja yang tinggi dipersepsikan karyawan secara negatif maka karyawan rentan mengalami kelelahan disaat bekerja, kelelahan bekerja yang terus menerus setiap harinya yang tidak dapat di atasi akan menimbulkan burnout pada karyawan (Sasono, 2004).
Burnout tidak hanya berdampak negatif terhadap individu tetapi juga akan merugikan organisasi tempat individu bekerja. Individu yang mengalami burnout akan merasa tertekan, bersalah, cemas, dan kurang memiliki motivasi sehingga akan berakibat mangkir kerja, pindah kerja dan memiliki produktivitas rendah yang akan merugikan organisasi yang menimbulkan efek negatif terhadap performa seseorang dalam bekerja (Rosyid, 1996). Sedangkan sebaliknya, apabila para pekerja cenderung mempersepsikan struktur kerja secara positif maka para pekerja menjadi lebih terikat pada kerja, dan merasa lebih puas pada hasil pekerjaanya. Jika tugas para pekerja memungkinkan keterlibatan diri yang lebih besar dan mengandung lebih banyak variasi, dan jika ketentuanketentuan dan peraturan kerja dibatasi seminimum mungkin, maka para pekerja lebih menikmati struktur kerjanya dan lebih terhindari dari kelelahan (Steers, 1988). Aspek persepsi lingkungan kerja non fisik yang kedua adalah tanggung jawab kerja. Menurut Nitisemito (2006), tanggung jawab kerja adalah melakukan pekerjaan secara tuntas, tidak menunda-nunda waktu, sehingga 27 pekerjaan lebih meningkat, bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan secara individu dan hukum. Pendapat di atas menekankan bahwa tanggung jawab menunjukkan tingkat penyelesaian kerja dan kualitas hasil pekerjaan yang mengarah pada terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam menyelesaikan pekerjaan. Seorang yang memiliki persepsi tanggung jawab yang positif akan secara aktif berusaha mencapai tujuan, memperlihatkan komitmen, aktivitasaktivitas, perilaku-perilaku, dan gaya hidup untuk memaksimalkan prestasi serta aktualisasi diri sepenuhnya menurut cara keinginan para pekerja itu sendiri (Olson, 2003). Seorang yang mempersepsikan tanggung jawab kerja secara positif akan menunjukan sikap yang baik dan profesional terhadap pekerjaan yang pekerja hadapi dan melakukan sesuatu bukan karena diminta, bukan karena para pekerja diperintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu, tetapi karena dorongan yang muncul untuk memuaskan diri yang di yakininya bahwa tanggung jawab kehidupan, masa depan, dan nasibnya berada di pundaknya sendiri.Seseorang tersebut dalam melakukan apapun tidak di bawah tekanan dan menikmati setiap pekerjaannya sehingga seseorang yang memiliki persepsi tanggung jawab kerja yang positif lebih terhindar dari kelelahan kerja atau burnout pada diri seorang tersebut (Olson dalam Lubis & Nuryana, 2003). Sedangkan aspek persepsi lingkungan kerja non fisik yang ketiga menurut Sihotang (2004) adalah perhatian dan dukungan pemimpin.
Kepemimpinan adalah suatu proses di mana seorang pemimpin mempengaruhi para bawahannya dalam mencapai tujuan. Menurut (House, 1988 dalam Guritno 2005), menyatakan bahwa perilaku pemimpin memiliki dampak yang signifikan terhadap sikap karyawan, perilaku dan kinerja. Efektivitas seorang pemimpin akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik bawahannya. Perilaku pemimpin pada dasarnya terkait dengan proses pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya. Dampak dari pengaruh seorang pemimpin terhadap para anggotanya tersebut dapat bersifat positif yang mampu meningkatkan kinerjanya/sebaliknya yang dapat menyebabkan karyawan kelelahan (Lusdiyanti, 2011). Persepsi karyawan terhadap dukungan pemimpin yang positif akan memberikan dampak yang baik terhadap kinerja karyawan dalam bekerja, menimbulkan motivasi dan dampak yang signifikan terhadap sikap karyawan sehingga karyawan terhindar dari kelelahan kerja. Sedangkan jika karyawan mempersepsikan dukungan pemimpin secara negatif ditambah kwalitas dukungan supervisi atau dukungan pemimpin yang jelek dapat menyebabkan stress kerja pada karyawan (Handoko, 1998). Sumber potensial stres diantaranya karena faktor organisasiyaitu gaya kepemimpinan. Kondisi ini akan berdampak pada psikologis dan persepsi seseorang antara lain perasaan cemas, murung dan bahkan yang tidak kalah penting adalah berkurangnya kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja seseorang (Robbins 2002). Aspek yang ke empat adalah kerjasama antar kelompok. Kerjasama antar kelompok adalah keinginan untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif di dalam bagian dari kelompok, kompetensi kerjasama menekankan peran sebagai aggota kelompok (Mogot, 2013).
Kelompok kerja dan gaya kepemimpinan adalah kesatuan tim yang tidak baik dan konflik interpersonal dalam pekerjaan secara positif berhubungan dengan burnout. Oleh karena itu, kualitas interaksi dengan rekan kerja sangat penting (Pratiwi, 2016). Burnout pada karyawan khususnya kelompok kerja, mengindikasikan bahwa gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas secara positif berhubungan dengan burnout, sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi sosial secara negatif juga berhubungan dengan burnout. Menurut Sarafino (dalam Purba 2007), salah satu cara mengatasi burnout adalah dengan meningkatkan interaksi kerja sama antar kelompok kerja. Kerjasama merujuk pada suatu usaha antara perorang atau kelompok manusia diantara kedua belah pihak untuk tujuan bersama sehingga mendapatkan hasil lebih cepat dan lebih baik. Oleh karena itu adanya kerjasama antar kelompok membuat individu merasa yakin bahwa pekerjaannya tidak di bebankan hanya pada dirinya sendiri sehingga dapat mengurangi gejala burnout yang dialami karyawan. Aspek terakhir menurut Sihotang (2004) adalah kelancaran komunikasi. Komunikasi adalah proses yang dipergunakan oleh manusia untuk mencari kesamaan arti lewat transisi pesan simbolik. Komunikasi merupakan saluran proses manajerial yaitu merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan, sehingga disimpulkan bahwa salah satu kekuatan yang menghambat kinerja kelompok yang sukses adalah kurangnya komunikasi yang efektif sehingga dapat menyebabkan timbulnya kelelahan kerja pada karyawan (Robbins, 2006). Komunikasi merupakan suatu proses sosial dimana individuindividu yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses pengaruhmempengaruhi ini merupakan suatu proses yang bersifat psikologi dan karenanya 30 juga merupakan permulaan ikatan psikologi antar manusia yang memiliki suatu pribadi dan memberikan peluang bakal terbentuknya suatu kebersamaan dalam sekelompok yang tidak lain merupakan tanda adanya proses sosial (Rukmana, 2007).
Pentingnya menjalin komunikasi dengan berinteraksi dengan sesama manusia lain adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri manusia sebagai makhluk hidup. Begitu juga halnya dengan organisasi organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil dengan berinteraksi dengan para anggota organisasi tersebut. Komunikasi yang efektif penting bagi semua organisasi oleh karena itu dapat menunjang menurunnya tingkat kelelahan kerja pada karyawan (Mulyana, 2005). Lingkungan kerja non fisik merupakan faktor penting dan berpengaruh terhadap karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Lingkungan kerja non fisik sangat mempengaruhi keadaan karyawan dalam bekerja, di mana lingkungan kerja non fisik yang buruk akan menyebabkan timbulnya kelelahan, ketegangan emosi, serta motivasi yang rendah. Sebaliknya, lingkungan kerja non fisik yang baik menciptakan motivasi tinggi dan tidak menimbulkan kelelahan serta ketegangan emosi pada karyawan (Kartono, 2005). Karyawan yang mempunyai penilaian yang positif terhadap lingkungan kerja non fisik berarti karyawan merasa bahwa lingkungan kerja non fisiknya baik, sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi dan akan menghambat lajunya tingkat burnout pada karyawan. Sebaliknya karyawan yang merasakan lingkungan non fisiknya mengancam, menekan dan tidak nyaman akan lebih mudah menderita stress dan berpotensi mengalami burnout (Berliner dkk dalam Andriansyah dan Sahrah, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar