Konflik kerja-keluarga bisa terjadi saat seorang pegawai harus menyelaraskan dua peran yang harus dijalaninya, yaitu peran melakukan pekerjaan di kantor dan peran mengelola keluarga atau rumah tangganya. Kondisi yang terjadi adalah bahwa pegawai yang bersangkutan harus memprioritaskan peran yang satu, sementara peran yang lain melakukan intervensi sehingga mengganggu fokus perhatiannya dan menimbulkan stress kerja.
Alfiah (2013) dan Nur (2013) menyatakan bahwa konflik kerja-keluarga lebih terjadi pada individu perempuan yang sudah menikah dibandingkan yang belum menikah. Konflik itu menjadi meningkat saat perempuan itu telah menjadi orangtua, atau dengan kata lain telah memiliki anak (-anak). Apabila individu yang bersangkutan tidak mampu mengelola secara baik, maka dapat menimbulkan kelelahan kerja yang mengarah pada peningkatan absensi kerja, penurunan motivasi kerja, penurunan produktivitas, dan mempertinggi keinginannya untuk keluar atau pindah kerja (Nur, 2013).
Dampak terburuk akibat kondisi konflik itu adalah terjadinya ketegangan dalam pernikahan (Alfiah, 2013). Dhamayanti (2006) berpendapat bahwa konflik kerja-keluarga terjadi karena karyawan berusaha menciptakan keseimbangan antara tekanan yang timbul dari keluarga maupun dari pekerjaannya. Huang et al. (2004) serta Noor (2004) menyatakan
konflik kerja-keluarga memiliki dua dimensi utama, yaitu work interfering with family conflict (WFC), dan family interfering with work conflict (FWC). WFC adalah situasi dimana individu yang bersangkutan lebih memprioritaskan menangani urusan pekerjaan dibandingkan tanggungjawab pada keluarga; sementara FWC adalah situasi di mana individu yang bersangkutan lebih memprioritaskan menangani tanggungjawab pada keluarga dibandingkan urusan pekerjaan.
Kedua dimensi konflik kerja-keluarga tersebut terjadi karena sebab-sebab yang bisa dikategorikan dalam tiga tipe (Soeharto, 2010; Baltes & Heydens-Gahir, 2003). Tipe sebab pertama adalah time-based conflict atau sebab keterbatasan waktu, yang bisa dibedakan dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah waktu yang telah dialokasikan individu atas salah satu peran menyebabkan individu tersebut untuk secara phisik bisa menjalankan peran yang lain. Bentuk kedua adalah walaupun individu yang bersangkutan
sudah mengalokasikan waktunya secara phisik untuk menjalankan salah
satu peran, tetapi karena adanya kebutuhan atau kepentingan lain, maka dirinya menjadi terganggu atas tuntutan yang muncul dari peran yang lain.
Tipe sebab kedua adalah strain-based conflict atau sebab tekanan, yaitu sebab yang muncul karena tuntutan dari salah satu peran mempengaruhi potensi individu untuk menjalankan peran yang lain secara efektif. Tekanan yang muncul dari peran pekerjaan dapat menimbulkan kelelahan kerja, seperti akibat jenis pekerjaan yang dibebankan, lokasi kerja, karakteristik atasan, atau model peraturan perusahaan. Tekanan yang muncul dari peran keluarga antara lain perilaku pasangan, perilaku anak, serta fleksibilitas atas kondisi pasangan.
Tipe sebab ketiga adalah behavior-based conflict atau sebab perilaku. Sebab ini terjadi karena individu memiliki peran yang beragam, sementara terdapat kemungkinan di antara peran-peran itu memiliki pola perilaku yang berlawanan. Sebab ketiga ini terjadi karena perilaku yang harus dijalankan seorang individu dalam penyelesaian pekerjaan di kantornya bisa berbeda dibandingkan dengan perilaku yang diharapkan oleh keluarganya seperti anak atau istrinya. Konflik kerja-keluarga merupakan tipe konflik inter-peran, yaitu bahwa tuntutan pada satu peran bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh usaha individu yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan dari peran yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar