Seringkali kondisi financial distress disamakan dengan
kebangkrutan, padahal financial distress dan kebangkrutan adalah dua hal yang
berbeda. Kesulitan keuangan (financial distress) merupakan indikasi awal
sebelum terjadinya kebangkrutan perusahaan. Menurut Platt dan Platt (2002)
financial distress merupakan tahapan penurunan kondisi keuangan suatu
perusahaan sebelum likuidasi ataupun kebangkrutan terjadi. Indikasi terjadinya
financial distress dapat diketahui dari kinerja keuangan yang tercermin dari
laporan keuangan suatu perusahaan. Financial distress dimulai dengan
ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya, terutama kewajiban yang
bersifat jangka pendek seperti kewajiban likuiditas dan juga termasuk kewajiban
dalam kategori solvabilitas.
Menurut Hofer (1980) dan Whitaker (1999) perusahaan
dikatakan dalam kondisi financial distress apabila terus mengalami laba bersih
(net profit) negative selama beberapa tahun. Indikasi terjadinya financial
distress lainnya yaitu kondisi dimana perusahaan mengalami delisted akibat laba
bersih dan nilai nuku ekuitas negatif berturut-turut serta perusahaan tersebut
telah dimerger (Almilia, 2004). Kebangkrutan merupakan kegagalan perusahaan
dalam menghasilkan laba, umumnya terjadi karena kurangnya modal karena tidak
memanfaatkan sumber daya modal dengan baik, tidak memelihara uang yang cukup,
manajemen yang tidak efisien dalam menjalankan semua aktivitas. Terdapat tiga
elemen yang menentukan probabilitas kegagalan pada perusahaan, yaitu: nilai
aset, nilai aset dari ketidakpastian risiko dan leverage (Pribadi &
Susanto, 2014).
Pengertian kebangkrutan menurut Undang-Undang Kepailitan No.
4 Tahun 1998 adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan Putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana 12 dimaksud dalam
Pasal 2 baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seseorang atau
lebih krediturnya.
Weston dan Copeland (2000) mendefinisikan kebangkrutan dalam
2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Kegagalan ekonomi
Kegagalan ekonomi terjadi saat perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban dan
kebutuhannya sendiri yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tersebut lebih
kecil dari biaya modal atau kewajiban yang harus dibayarkan perusahaan lebih
besar daru nilai dari arus kas yang dimiliki perusahaan.
2. Kegagalan keuangan
Kegagalan keuangan dapat didefinisikan sebagai insolvency yang dibedakan
berdasarkan arus kas dan dasar saham.
Terdapat 2 (dua) bentuk insolvensi atas dasar arus kas,
yaitu insolvensi teknis dan insolvensi dalam arti kebangrutan. Dalam insolvensi
teknis, perusahaan bisa dikatakan bangkrut apabila perusahaan tidak mampu
memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo. Insolvensi 13 dalam arti kebangkrutan
terjadi ketika kekayaan bersih negative dalam neraca konvensional atau nilai
arus kas yang diharapkan lebih kecil daripada kewajiban yang beredar.
Kebangkrutan harus menjadi perhatian berbagai pemangku kepentingan di sebuah
perusahaan, termasuk pemilik, manajer, investor, kreditor dan mitra bisnis,
serta lembaga pemerintah karena dampak dari adanya kebangkrutan tidak hanya
dirasakan pemiliknya, tapi juga pengguna laporan keuangan lainnya, seperti
investor, kreditor, dan ekonomi umum juga ikut terpengaruh. Oleh karena itu,
prediksi kebangkrutan harus dilakukan sebagai langkah preventif untuk
mengurangi tingkat risiko dan bahaya kebangkrutan perusahaan (Alkhatib &
Bzour, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar