Senin, 14 Januari 2019

Perkembangan Permukiman di Pinggiran Kota (skripsi dan tesis)

  
Pertumbuhan  kota ke area pinggiran  karena meningkatnya kebutuhan dapat terjadi secara alami.  Kondisi tersebut mengakibatkan  terjadinya  perubahan  penggunaan lahan ke arah luar kota (non urban) terutama untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa tempat bermukim telah berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Proses perubahan tersebut merupakan  peristiwa terjadinya perubahan  kenampakan fisik kotayang merembet kearah luar yang disebabkan oleh adanypenetras dari  suatu  kelompo penduduk  area  terbangun  kota  (built  up  area) kearah  luar, sehingga wilayah perbatasan menjadi area yang dituju bagi orientasi perkembangan kota (Adisasmita, 2006). Menurut pendapat Yunus (2002), ketersediaan ruang di wilayah kota dalam kondisi tetap dan terbatas mengakibatkan  pengambilan ruang di area pinggiran kota untuk memenuhi kebutuhan ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal dan fungsi-fungsi yang lain.
Tanda-tanda perkembangan kota yang menjalar ke area pinggiran kota dikenal sebagai “invasion” dan proses terjadinya kenampakan fisik kota menuju ke arah luar kota desebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994)
Penjalaran fisik kota menurut Northam dalam Yunus (1994)  terbagi menjadi tiga macam model, yaitu :
a)      Perkembangan Konsentris (concentric development) adalah penjalaran fisik kota yang bersifat rata pada sisi luar yang terjadi dalam tempo yang lambat dan terdapat tanda-tanda yang mengindikasikan adanya morfologi kota yang kompak.
b)      Perkembangan fisik memanjang atau linier (ribbon/linear/axial development) merupakan penjalaran fisik kota pada area yang berada di sepanjang jaringan jalan dan  mengikuti pola jaringan jalan tersebut dan terdapat perbedaan penjalaran dalam setiap bagian perkembangan kota.
c)      Perkembangan yang meloncat (leap frog/chercher board development) merupakan penjalaran fisik kota tanpa pola.
Spencer (1979:112),   mengemukakan definisi beberapa alasan yang mendorong perpindahan penduduk ke daerah pinggirann kota: (1) penggunaan tanah untuk permukiman di kota bersaing dengan tanah lain yang lebih komersil, sehingga tanah yang tersedia untuk permukiman semakin berkurang ;(2) penduduk kota semakin meningkat jumlahnya; (3) sarana transportasi menuju pinggiran kota menjadi lebih baik dan fleksibel, sehinggmemungkinkan  penduduk  dan  perusahaan-perusahaan   pindah  lebih  jauh  dari pusat-pusat bisnis (kota), menyebar ke pinggiran kota mengikuti jalur transportasi; (4) orang-orang  kota menginginka tempat tinggal yang lebih luas dan tenang, karena mereka merasa bahwa tempat tinggal di kota sangat padat dan sesak; (5) Pemerinta telah  membantu  penduduk  untuk  mengusahakan  pemilikan  rumayang menarik dengan syarat pembayaran yang ringan di daerah pinggiran kota.
Ruswurm 1980  dala Yunus  (2004:131),  berpendapat  bahwa faktor- faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pinggiran kota yakni: 1) Pertumbuhan penduduk (population growth); 2) persaingan memperoleh lahan (competition for land); 3) hak-hak kepemilikan (property right); 4) kegiatan developers (developers activities); 5) perencanaan (planning controls); 6) perkembangan   teknologi   (technological   development);   7) lingkungan   fisik (physical environement).
Menurut pendapat Rugg (1979 : 71) dalam  Warsono (2006), pinggiran kota merupakan kota yang  letak wilayahnya berada di perbatasan dengan kota di sebelahnya yang memiliki hirarkhi lebih tinggi, berkarakteristik  wilayah pedesaan dan kondisi  intensitas wilayah terbangun lebih rendah dari kota pusatnya, intensitas ini akan menurun dari kota ke desa.
Menurut Bintarto  (1989) gejala terjadinya perembetan  kota dapat diidentifikasi dari kenampakan  fisik kota ke arah luar yang dapat dilihat melalui terbentuknya zone-zone yang meliputi daerah-daera : (1) area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah peralihan antara desa kota (sub urban fringe), (2) area batas luar kota yang memiliki sifat-sifat mirip kota (urban fringe), dan (3)  area terletak antara daerah kota dan desyang   ditandai   dengan   penggunaan   tanah   campuran   (Rural-Urban-Fringe).
Bar Gal, 1987 dalam Kustur (1997:4), mengemukakan bahwa, sebaga daera urban  fringe,  dapat dilihat   melalui  berbagai  karakteristik, seperti peningkatan harga tanah yang drastis, perubahan fisik penggunaan tanah, perubaha komposisi  penduduk  dan  tenaga  kerja serta  berbaga aspek  sosial lainnya. Evers (1986:29-31) dalam Warsono (2006) berpendapat bahwa, gejala perkembangan perluasan kota terjadi yang terjadi secarterencana maupun tidak direncanakan (natural), berdampak padperubahan konsep fungsi tanah sebagai gejala baru di pinggiran kota terutama bagi penduduk asli.

Tidak ada komentar: