Pengendalian pemanfaatan ruang adalah
kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan penertiban terhadap implementasi
rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan rencana atau adanya produk
rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.
Berikut ini Sistem pengendalian
pemanfaatan ruang dengan dasar-dasar Pengendalian Pembangunan :
· Regulatory system, Yaitu pemanfaatan ruang yang
didasarkan pada kepastian hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Regulatory system ini sudah diterapkan di Indonesia, tetapi dalam
penerapannya belum berjalan dengan baik. Karena mental birokrasi pemerintah
yang masih rendah, yang masih rawan terhadap penyuapan, korupsi, kolusi dan
nepotisme.
· Discretionary system, yaitu Pemanfaatan ruang yang proses
pengambilan keputusannya didasarkan pada pertimbangan pejabat/lembaga
perencanaan yang berwenang untuk menilai proposal pembangunan yang diajukan.
· Zoning regulation/peraturan zonasi,
yaitu Pembagian
lingkungan kota dalam zona-zona dan menetapkan pengendalian pemanfaatan ruang
yang berbeda-beda (Barnett, 1982)
· Development control/permit system yaitu,
mengatur kegiatan
pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan,
perekayasaan, pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya dan atau mengadakan
perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu (Khulball & Yuen,
1991). Memungkinkan tetap dilaksankannya pembangunan sebelum terdapat dalam
dokumen rencana.
Pemerintah sebagai
regulator dalam pembangunan tentunya memiliki landasan kewenangan tehadap
pengendalian pembangunan. Berikut ini Landasan Kewenangan Pemerintah dalam
Pengendalian Pembangunan :
· Bundles of rights (hak atas lahan)Kewenangan untuk mengatur hak atas
lahan, hubungan hukum antara orang/badan dengan lahan, dan perbuatan hukum
mengenai lahan.
· Police power (pengaturan)Kewenangan menerapkan peraturan hukum
(pengaturan, pengawasan, dan pengendalian pembangunan di atas lahan maupun
kegiatan manusia yang menghuninya) untuk menjamin kesehatan umum, keselamatan,
moral, dan kesejahteraan. Seringkali dianggap sebagai ‘limitation of private
property/individual rights’.
· Eminent domain (pencabutan hak atas
lahan)Yaitu
kewenangan tindakan mengambil alih atau mencabut hak atas lahan di dalam batas
kewenangannya dengan kompensasi seperlunya dengan alasan untuk kepentingan
umum.
· Taxation Yaitu kewenangan mengenakan beban
atau pungutan yang dilandasi kewajiban hukum terhadap perorangan/kelompok atau
pemilik lahan untuk tujuan kepentingan umum.
· Spending power (Government
Expenditure)Yaitu
kewenangan membelanjakan dana publik untuk kepentingan umum (melalui APBN dan
atau APBD).
Pemerintah berkewajiban
untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor
industri, jasa, dan properti. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan akan ruang.
Namun di lain pihak, pemerintah juga harus menjaga agar pertumbuhan pembangunan
tidak “over” agar tidak terjadi hal yang buruk. Tentunya harus diupayakan jalan
tengah yang terbaik agar pengendalian Konflik dalam hal pemanfaatan ruang terus
dilakukan oleh pemerintah.
Menurut John M Levy dalam
bukunya Contemporary Urban Planning, Fourth Edition,
Prentice-Hall, Upper Saddle River, NJ.,1997: hal 113-140 (Chapter 9 "The
Tools of Land Use Planning"), menyebutkan bahwa salah satu kategori
tindakan untuk membentuk ruang kota adalah Pengendalian oleh Pemerintah
terhadap penggunaan lahan oleh perorangan/swasta (land-use controls).
Pengendalian ini umumnya dilakukan lewat perizinan dan pelarangan pembangunan
fisik (penggunaan lahan). Dalam hal ini, terdapat 2 (dua) kategori pengendalian
ini, yaitu :
1.
Peraturan Pengkaplingan lahan luas menjadi persil-persil (subdivision
regulations)
Pengkaplingan berarti membagi lahan
kosong dengan luas tertentu menjadi kapling-kapling (persil-persil) untuk
bangunan. Sebelum persil-persil boleh dijual, pengkaplingan harus mendapat
persetujuan dari Pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah mengharuskan pengembang
untuk membuat rancangan tapak yang memperlihatkan antara lain rencana jaringan
jalan, rencana jaringan utilitas, garis sempadan, dan lokasi fasilitas umum.
Bila Pemerintah telah menyetujui rancangan tersebut maka pengembang perlu
membangun prasarana dan fasilitas yang direncanakan sejalan dengan penjualan
persil-persil tersebut.
Peraturan pengkaplingan ini dapat dipakai
untuk menerapkan standar pembangunan fisik yang diinginkan masyarakat kota.
Demikian juga, Pemerintah tidak harus mengeluarkan dana sendiri untuk melakukan
pembangunan prasarana dan fasilitas umum untuk lingkungan baru. Tetapi, di lain
pihak, peraturan pengkaplingan ini menyebabkan harga persil menjadi mahal.
2. Peraturan Pemintakatan (zoning
ordinances) yaitu
penetapan peruntukan guna lahan bagi persil-persil.
Alat pengendalian penggunaan lahan
telah mulai diikembangkan di Amerika sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke
20. Salah satu alat tersebut disebut sebagai zoning (pemintakatan).
Sebenarnya pemintakatan pada mulanya dirancang sebagai alat kendali
penghindaran gangguan antar persil yang berdekatan dan pelindung nilai lahan
dari dampak kegiatan di lahan terdekatnya. Pemintakatan kemudian dipakai
oleh para perencana kota sebagai alat implementasi rencana kota.
Secara umum, menurut Levy (1997:117)
peraturan pemintakatan terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Peta (Zoning Map) yang membagi wilayah kota menjadi
zona-zona (menurut katagori zona; misal: R1 untuk katagori permukiman tipe 1
yang dapat dilihat pada gambar 10). Tiap kategori zona mempunyai peraturan
tersendiri (artinya: semua zona R1 di bagian kota yang manapun mempunyai
seperangkat peraturan yang sama).
2. Teks Peraturan (Legal Text/ Zoning
Text) untuk tiap
kategori zona, yang umumnya meliputi :
·
Persyaratan
lay-out tapak (mencakup antara lain: luas persil minimal, lebar dan panjang
persil minimum, sempadan (depan, samping, belakang), building coverage atau
maksimum % tapak yang tertutup bangunan, jalan masuk ke persil, syarat
perparkiran, dan papan nama).
·
Persyaratan
karakteristik bangunan (mencakup antara lain: tinggi maksimum, jumlah lantai
maksimum, floor area ratio/FAR atau jumlah luas lantai berbanding dengan
luas persil).
·
Guna
bangunan yang diizinkan (misal: R1 untuk permukiman satu lantai, R2 permukiman
bertingkat, C1 perdagangan eceran, C2 perdagangan grosir dan pergudangan).
Dalam hal ini, syarat lain dapat ditambahkan, misal: dalam C2 hanya boleh untuk
gudang perdagangan dan gudang industri ringan).
·
Prosedur
perizinan (pengajuan, penilaian dan keputusan, naik banding, dan sebagainya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar