Proses transesterifikasi dengan menggunakan katalis (baik katalis homogen maupun heterogen) masih memiliki kelemahan. Oleh karena itu, para peneliti berusaha untuk mencari teknologi proses transesterifikasi baru yang dapat mengganti ataupun mengurangi kelemahan proses katalitik tersebut. Salah satu metode potensial tersebut adalah proses produksi biodiesel dengan reaksi transesterifikasi secara non-katalitik (Kusdiana dan Saka 2001, Demirbas 2002, Madras et al. 2004, Cao et al. 2005, Han et al. 2005, Bunyakiat et al. 2006, He et al. 2007, Silva et al. 2007, Varma dan Madras 2007, Rathore dan Madras 2007, Song et al. 2008, Demirbas 2008, Vieitez et al. 2008, Hawash et al. 2009, Yamazaki et al. 2007, Joelianingsih et al. 2008, Susila 2009). Menurut Kusdiana dan Saka (2001), reaksi transesterifikasi non-katalitik dapat terjadi bila alkohol mengalami kondisi superkritik pada suhu 623 K. Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kelebihan dari metode superkritik alkohol tidak memerlukan katalis dan bisa mendekati konversi yang hampir sempurna dalam waktu yang relatif singkat.
Selain itu, menurut Diasakou et al. (1998) proses superkritik non-katalitik berpotensi memiliki keuntungan lingkungan karena tidak ada limbah yang dihasilkan dari perlakuan katalis dan pemisahan dari produk akhir. Selanjutnya, metode non-katalitik ini tidak memerlukan perlakuan awal (pretreatment) dari bahan baku karena pengotor dalam umpan bahan baku minyak tidak mempengaruhi reaksi secara signifikan. Pada kondisi di atas titik kritis (yaitu, suhu dan tekanan kritis) tapi di bawah tekanan yang dibutuhkan untuk terkondensasi menjadi padat, menurut Kusdiana dan Saka (2001) fluida berada dalam fasa superkritik (super critical fluid, SCF). Dalam kondisi seperti itu, kerapatan fasa cair dan gas menjadi identik dan perbedaan di antara keduanya lenyap (Kusdiana dan Saka 2004). Lebih khusus lagi, kondisi SCF memiliki kepadatan seperti cairan dan sifat pengangkut seperti gas (misalnya, difusivitas dan viskositas). Sifat superkritik metanol adalah Tc = 512 K dan Pc = 8.09 MPa. Keadaan superkritik metanol meningkatkan sifat saling melarutkan dari campuran minyak - metanol karena penurunan konstanta dielektrik metanol dalam keadaan superkritik (Marchetti 2013). Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kondisi superkritik alkohol pada tekanan dan suhu kritisnya mempengaruhi mekanisme reaksi dari proses transesterifikasi.
Selain itu, menurut Diasakou et al. (1998) proses superkritik non-katalitik berpotensi memiliki keuntungan lingkungan karena tidak ada limbah yang dihasilkan dari perlakuan katalis dan pemisahan dari produk akhir. Selanjutnya, metode non-katalitik ini tidak memerlukan perlakuan awal (pretreatment) dari bahan baku karena pengotor dalam umpan bahan baku minyak tidak mempengaruhi reaksi secara signifikan. Pada kondisi di atas titik kritis (yaitu, suhu dan tekanan kritis) tapi di bawah tekanan yang dibutuhkan untuk terkondensasi menjadi padat, menurut Kusdiana dan Saka (2001) fluida berada dalam fasa superkritik (super critical fluid, SCF). Dalam kondisi seperti itu, kerapatan fasa cair dan gas menjadi identik dan perbedaan di antara keduanya lenyap (Kusdiana dan Saka 2004). Lebih khusus lagi, kondisi SCF memiliki kepadatan seperti cairan dan sifat pengangkut seperti gas (misalnya, difusivitas dan viskositas). Sifat superkritik metanol adalah Tc = 512 K dan Pc = 8.09 MPa. Keadaan superkritik metanol meningkatkan sifat saling melarutkan dari campuran minyak - metanol karena penurunan konstanta dielektrik metanol dalam keadaan superkritik (Marchetti 2013). Menurut Kusdiana dan Saka (2004), kondisi superkritik alkohol pada tekanan dan suhu kritisnya mempengaruhi mekanisme reaksi dari proses transesterifikasi.