Sabtu, 12 Oktober 2024

eori-Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat
sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Teori
kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal menurut Wexley dan Yukl
(dalam Sunyoto, 2013) yaitu Discrepancy Theory, Equity Theory dan Two-factor
Theory
1) Discrepancy Theory
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter pada tahun 1961. Pengukuran
kepuasan kerja seseorang dilakukan dengan menghitung selisih antara apa yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke (dalam Sunyoto,
2013) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada discrepancy
antara should be (expectation needs or value) dengan apa yang menurut
perasaannya atau persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaan. Menurut
penelitian yang dilakukan Wanous dan Lawer (dalam Sunyoto, 2013) yang
dikutip dari Wexley dan Yulk, menemukan bahwa sikap karyawan terhadap
pekerjaan tergantung bagaimana discrepancy yang dirasakan.
2) Equity Theory
Equity theory dikembangkan oleh Adams pada tahun 1963, pendahulu dari
teori ini adalah Zalzenik tahun 1958. Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan
merasa puas dan tidak puas, tergantung keadilan (equity) yang dirasakan. Perasaan 
equity dan inequity atas situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan
dirinya dengan orang lain.
3) Two-Factor Theory
Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan
bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan
bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivator dan hygiene factor.
Pada umumnya orang mengharapkan bahwa faktor tertentu memberikan kepuasan
apabila tersedia dan menimbulkan ketidakpuasan apabila tidak ada.
Ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan (seperti kondisi
kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan, dan hubungan dengan orang
lain) dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri. Karena faktor ini mencegah
reaksi negatif, dinamakan sebagai hygiene atau maintenance factors.
Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu
sendiri atau hasil langsung dari padanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam
pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan
pengakuan. Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg tahun 1959.
Beliau membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaan
menjadi dua kelompok yakni :
a) Penyebab kepuasan (satisfaction) atau disebut juga intrinsic factor atau
motivator factor atau satisfier. Adapun yang termasuk faktor-faktor ini
adalah achivement (prestasi), recognition (pengakuan), work it self
(pekerjaan itu sendiri), responsibility (tanggung jawab) dan advancement
(pengendalian diri). Luthans (2005) menambahkan bahwa motivator kerja 
ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung
berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi prestasi (achievement),
penghargaan (recognition), tanggung jawab (responsibility), kemajuan
(advancement), kemungkinan perkembangan (the possibility of growth) dan
pekerjaan itu sendiri.
b) Penyebab ketidakpuasan (dissatisfaction) atau disebut juga dissatisfier atau
hygiene factors atau extrinsic factor. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi
maka akan menyebabkan ketidakpuasan kerja, tetapi jika terpenuhi belum
tentu menjamin kepuasan kerja. Adapun yang termasuk faktor-faktor
hygiene adalah company policy and administration, supervision, technical,
salary, interpersonal, relation, working condition, job security dan status.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Teori Discrepancy untuk
melihat kepuasan kerja karyawan dimana karyawan melakukan perbandingan
seseorang apa yang seharusnya Ia dapat dengan kenyataan yang dirasakan.
Apabila melebihi harapan yang diharapkan maka akan timbulkan kepuasan kerja.
Begitu juga sebaliknya apabila tidak sesuai dengan harapan maka akan muncul
ketidakpuasan

Tidak ada komentar: