Kata-kata yang paling sering digunakan oleh para ahli hukum ketika memuji atau mencela hukum atau pelaksanaannya adalah kata adil dan tidak adil, dan mereka seringkali menulis seolah-olah ide keadilan dan moralitas adalah dua hal yang tinggal berdampingan. Memang ada alasan yang amat kuat mengapa keadilan memiliki kedudukan paling menonjol dalam kritik atas tatanan hukum. Namun keadilan adalah segmen lain moralitas, dan bahwa hukum dan pelaksanaan hukum bisa jadi memiliki atau tidak memiliki jenis kelebihan yang berbeda pula. Ciri khas keadilan dan hubungan spesialnya dengan hukum mulai muncul jika diamati sebagian besar kritik dalam tinjauan adildan tidak adil hampir sama bisa diungkapkan dengan kata-kata fair (berimbang) dan unfair (tidak berimbang).[1] Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan untuk sebanyak-banyak orang.[2]
Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [3]
Istilah keadilan (Justitia) berasal dari kata adil yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan tidak sewenang-wenang. Keadilan menurut John Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan kelompok masyarakat.[4] Sedangkan keadilan menurut Aristoteles adalah justice consists in treating equally and unequalls unequally in proporti-on to their inequality, yang berarti untuk hal-hal yang sama diperlakukan sama dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama, secara proporsional [5]
Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.
Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[6]
Tendensi mengidentikkan hukum dan keadilan adalah tendensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial. Hal ini merupakan tendensi dan cara kerja politik, bukan tendensi ilmu pengetahuan. Pertanyaan apakah suatu hukum adalah adil atau tidak dan apa elemen esensial dari keadilan, tidak dapat dijawab secara ilmiah, maka the pure theory of law sebagai analisis yang ilmiah tidak dapat menjawabnya. Yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan di dalamnya. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial.[7]
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan makdnusia baik lahir maupun bathin.[8] Nilai itu merupakan suatu kejadian yang dapat dialami, sifatnya masih abstrak. Dalam lapangan hukum nilai tersebut harus dikonkritkan dalam bentuk asas hukum sehingga asas hukum merupakan landasan dibentuknya hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.[9]
Teori-teori Hukum Alam yang disampaikan sejak jaman Socretes hingga jaman Francois Geny menggunakan keadilan sebagai mahkota hukum. Beberapa teori yang disampaikan oleh tokoh dari jaman Socretes hingga jaman Francois Geny mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Dimaksud dengan teori-teori tersebut diantaranya adalah teori keadilan Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics, teori keadilan sosial John Rawl dalam A Theory Of Justice serta teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam General Theory Of Law And State[10]. Dalam pernyataan teori-teori tersebut memuat mengenai hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Hal ini mendasarkan pernyataan bahwa Teori Hukum Alam sebenarnya mengutamakan the search for justice.[11]
Menurut pandangan Aristoteles bahwa konsep keadilan dibagi ke dalam dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Dimaksud dengan keadilan distributief ialah keadilan yang diberikan pada masing-masing individu sesuai dengan prestasi di antara anggota masyarakat lainnya. Sedangkan pegertian keadilan commutatief adalah keadilan yang diberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. Dalam konsep ini maka keadilan berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.[12]
Sementara itu, John Rawls menyampaikan konsep keadilan berdasarkan perspektif liberal-egalitarian of social justic. Dimana dalam konsep keadilan ini maka kebajikan utama muncul dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Namun tetap saja dalam konsep ini maka kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.[13]
Lebih lanjut lagi, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan original position dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).[14] Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu original position yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society)[15].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar