Teori
tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala
dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf
lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan
mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak
jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang
memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang
objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang
kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [1]
Dalam
kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan
cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh,
dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas
oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang
sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi
sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.
Dalam
konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang
dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum
identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa
hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat
yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum
bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[2]
Keadilan
prosedural (procedural justice) dan
keadilan substantif (substantive justice).
Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan
prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan
yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum
formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di
pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada
nilainilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati
nurani.
Dalam
perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh.
Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan
keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan.
Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan
hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang
dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[3]
Lebih
lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan
distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan commutatief
memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya
dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari
pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan
perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya
bagi masyarakat. [4]
Dikenal
juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif
“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).
Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls
mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original
position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls
memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu
di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi
lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan
lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls
sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).[5]
Dalam
perkembangannya dikenal juga adanya konsep mengenai hukum progresif. Dimana Hukum
Progressif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Hukum progressif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak
serta final melakinkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
kepada manusia. Hukum Progressif menolak tradisi analytical jurisprudence atau
rechtsdogmatiek dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjuriprudenz
di Jerman, teori hukum alam dan critical
legal studies. [6]
Hukum
Progressif muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktek keadilan hukum
di Indonesia. Pengadilan tidak hanya berperan dari dari institusi hukum namun
juga menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Dengan demikian hukum progressif dapat
berkembang dengan lahirnya pengadilan progressif yaitu proses yang sarat dengan
dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Untuk
mewujudkan pengadilan yang progressif diperlukan hakim yang progressif pula
yaitu hakim yang menjadikan dirinya bagian masyarakat yang tidak hanya bekerja di
bawah undang-undang namun juga mampu mendengarkan keinginan dari rakyat. [7]
C
Dengan
pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan
kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi
demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber
hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar
senantiasa melakukan perhubungan yang
serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya
sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.
Hubungan
adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar
maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun
mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka
keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan
sosial dapat diartikan sebagai mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang
berhak, menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha
dan merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.[8]
Dengan
demikian hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh
karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang
menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara
sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih
menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan
kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.
[1] Theo Huijbers 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jakarta Kanisius; hal. 16-17
[2] L..J. Van Apeldoorn, , 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya
Paramita: hal 11-12
[3] Satjipto Raharjo, 2006, Membedah
Hukum Progresif, Jakarta, Kompas; hal. 39
[6] John Rawls, 2006, Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial
dalam Negara, [A Theory of Justice] diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo Yogyakarta: Pustaka Media
[7] Munir Fuady, 2005, Filsafat
dan Teori Hukum Postmodern, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
[8] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar