Rabu, 15 Februari 2023

Prinsip- prinsip Pokok dalam Siklus Anggaran Daerah

Prinsip-prinsip pokok manajemen keuangan, seperti yang diuraikan diatas harus diterapkan pada setiap tahap siklus anggaran. Hal ini perlu dilakukan agar anggaran daerah benar-benar dapat mencapai visi dan misi yang dibebankan kepadannya. Bagi pengelola keuangan daerah, prinsip-prinsip pokok tersebut  merupakan koridor bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah, sehingga dapat menjamin pengelolaan keuangan daerah selalu berorientasi pada kepentingan publik.

Dalam suasana otonomi daerah, dengan diberlakukannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbanganan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka prinsip-prinsip pokok siklus anggaran daerah perlu dianalisis keberadaannya selama ini. Analisis  akan dilihat berdasarkan tahapan yang diuraikan sebelumnya dan dengan asumsi tidak ada perubahan struktur organisasi pemda yang drastis. Mardiasmo (1999:396-400), lebih jauh menjelaskan tahapan siklus anggaran daerah dalam konteks otonomi daerah

1). Tahap Persiapan Anggaran

Berdasarkan pasal 86  ayat 1 UU No.22/1999 dan pasal 20 ayat 1 UU No.25/1999, maka anggaran daerah dapat disiapkan dan direncanakan dengan baik untuk mendukung prinsip dan fungsi anggaran sebagai alat perencana keuangan daerah. Dana yang berasal dari pusat terutama yang termasuk Dana Alokasi Umum, prosedur penentuan dan pendistribusiannya harus berdasar pada sistem dan prosedur yang jelas dan transparan serta tepat waktu.

Untuk merencanakan pendapatan daerah, maka fungsi DIPENDA sebagai koordinator harus diperankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pengalaman masa lalu, sering salah digunakan pengertian ‘target’ dengan ‘potensi’, sehingga sering terjadi efektifitas pencapaian pendapatan melampaui target yang ditetapkan padahal target itu ditetapkan dibawah potensi yang sebenarnya.

Untuk perencanaan pengeluaran khususnya belanja pembangunan, hendaknya fungsi BAPPEDA harus ditempatkan sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya sebagai badan perencana, bukan sebagai pelaksana. Rakorbang dengan segala tahapannya seperti Pra-Rakorbang perlu direview agar sesuai dengan maksud dan tujuan hakiki dari diadakannya Rakorbang tersebut. Demikian pula ketrlibatan dalam proses pengusulan kegiatan pembangunan  betul-betul melibatkan pihak-pihak yang berkompeten sehingga sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.

Untuk perencanaan belanja rutin yang dikoordinir oleh bagian keuangan, hendaknya standar biaya yang digunakan tidak lagi tergantung pada petunjuk pusat, yang terkadang kurang rasional, tetapi menggunakan standar biaya yang sesuai dengan kondisi setempat. Dalam kaitan ini semua “line item budgeting” perlu ditinjau kembali.

2). Tahap Ratifikasi Anggaran

Mengacu pada UU No.25/1999 pasal 14 dan 16 yang menyatakan adanya pemisahan fungsi yang jelas antara ekskutif danlegislatif. Dengan terpisahnya kedua fungsi tersebut, maka pihak pemda lebih berfungsi sebagai pihak yang mengajukan anggaran dan DPRD lebih berfungsi sebagai pihak yang menyetujui/menolak anggaran, walaupun dapat pula menentukan anggaran. Hal ini didukung pula oleh proses ratifikasi yang tidak perlu melibatkan pemerintah tingkat atas (pusat/provinsi). Selain itu tahap ratifikasi pada saat revisi anggaran seperti yang dikehendaki oleh pasal 20 ayat 2 UU No.25/1999. Dengan demikian secara teoritis tahap ratifikasi dilakukan DPRD, baik pada saat anggaran dibuat dan ditetapkannya anggaran awal (initial budget) maupun revisi anggaran sudah menunjukkan semakin besarnya peran DPRD dalam asas desentralisasi sekarang ini.

3). Tahap Implementasi Anggaran

Setelah anggaran daerah diratifikasi oleh DPRD lalu dilaksanakan oleh pemda. Pada tahap ini penting sekali optimalisasi peranan badan pengawasan yang dilaksanakan oleh Inspektorat  Wilayah Kabupaten/Kota (Badan Pengawasan Daerah) sebagai internal auditor. Dengan menjalankan fungsi pengawasan secara optimal diharapkan dapat memonitor secara dini pelaksanaan belanja pembangunan dan belanja rutin, sejak awal pelaksanaan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terhadap kegiatan yang akan menyimpang. Optimalisasi peran badan pengawasan ini hendaknya lebih diarahkan secara preventif guna meluruskan kembali apabila terjadi kesalahan.

4). Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran

Pada tahap pelaporan dan evaluasi ini secar teoritis tidak akan lepas dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pelaporan keuangan seperti Nota Perhitungan APBD oleh Pemda, yang diinginkan tidak hanya untuk pihak DPRD sebagai ‘stakeholders’, tetapi juga untuk masyarakat sebagai ‘stakeholders’. Agar pelaporan tersebut lebih meyakinkan semestinya dimungkinkan keterlibatan pihak independen dalam ‘menilai’ pelaporan yang dibuat oleh Pemda. Dengan melibatkan pihak luar yang independen diharapkan  DPRD mempunyai dasar yang kuat dalam menerima atau menolak laporan pihak ekskutif. Sesuai dengan jiwa pasal 24 ayat 2 UU No.25/1999 dalam menilai pelaporan ini dimungkinkan untuk menghadirkan pihak-pihak diluar anggota DPRD seperti, tokoh-tokoh masyarakat, LSM dan wakil-wakil perguruan tinggi, sehingga terjadi “horizontal communication”. Selanjutnya mendorong pula terjadinya “horizontal accountability”.

Sesuai dengan asas desentralisasi dan otonomi yang lebih luas, maka dalam tahap evaluasi hendaknya ada indikator kinerja yang lebih jelas, dan dapat dimungkinkan berbeda-beda antar daerah, mengingat heterogenitas Pemda Kabupaten/Kota yang sangat tinggi. Dengan demikian evaluasi akan lebih akurat, adil dan tepat sasaran. Dengan indikator yang berbeda maka dimungkinkan pula adanya pelaporan/pertanggungjawaban yang berbeda, sepanjang tidak menyalahi standar akuntansi keuangan Pemda. Untuk maksud tersebut perlu adanya kesepakatan antara Pemda sebagai pelaksana anggaran daerah dengan DPRD sebagai pihak yang mengesahkan pelaporan, tentang bentuk dan format pelaporan yang diinginkan sehingga dapat dimengerti semua pihak lebih akurat dan tepat sasaran.

Tidak ada komentar: