Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan daerah telah diatur secara tegas dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 yakni pasal 79 huruf a yang menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) menduduki posisi yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan pemerintah daerah, karena PAD-lah yang secara ideal diharapkan menjadi pilar utama dalam membiayai kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan penerimaan yang bersumber di luar Pendapatan Asli Daerah hanya sebagai pendukung saja. Demikian juga dalam perspektif otonomi daerah, PAD menjadi sumber keuangan yang paling utama di samping penerimaan lainnya yang berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Namun harus diakui bahwa Pendapatan Asli Daerah belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan yang dominan dalam pengeluaran pemerintah daerah lebih khususnya pada belanja rutin daerah.
Rendahnya Pendapatan Asli Daerah tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Depdagri dengan FISIPOL – UGM tahun 1991 terkait dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah dengan salah satu variabel utama yaitu keuangan daerah menyebutkan bahwa dari seluruh daerah tingkat II di Indonesia (292) sebanyak 71,23% hanya memberikan kontribusi PAD terhadap APBD sebesar 20% atau kurang dan 41,78% yang hanya memberikan kontribusi 10% atau kurang (Nugroho, 2000 : 119).
Menurut Jaya (1996 : 5) masih rendahnya Pendapatan Asli Daerah yang mengakibatkan masih besarnya tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat adalah disebabkan karena kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, pajak daerah kendati jumlahnya cukup beragam namun hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan, alasan praktis dimana ada kehawatiran bahwa apabila daerah memiliki sumber pendapatan yang tinggi akan mendorong disintegrasi bangsa dan yang terakhir adalah karena pola pemberian subsidi dari pemerintah pusat yang hanya sedikit memberi kewenangan kepada daerah untuk merencanakan pembangunan daerahnya sendiri. Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah dan dapat dipandang sebagai indikator penting dalam mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap pemerintah pusat (Insukindro, dkk, 1994 :1).
Dalam kenyataannya pada hampir semua daerah tingkat II, sumber PAD belum menunjukkan peranan yang berarti. Hasil penelitian Devas, dkk (1989:163) dan Nazara (1997:9) menunjukkan bahwa pada daerah tingkat II di Indonesia, PAD hanya menempati porsi sekitar dua persen dari keseluruhan anggaran pembangunan, sementara itu pada tingkat propinsi, PAD hanya menyumbang sekitar tujuh persen. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian suatu daerah dalam rangka membiayai segala urusan otonomi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar