Kamis, 17 Februari 2022

Model-Model Penerapan Kebijakan Publik (skripsi tesis)

  • Model George C. Edwards III

            Edwards III dalam Subarsono (2005:90) mengatakan ada empat factor atau variable utama yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan yaitu: komunikasi (communication), sumber daya manusia (himan resources), disposisi atau sikap (disposition or attitudes), dan struktrur birokrasi (bureaucratic structure).

  1. Komunikasi

            Menurut Edwards III suatu penerapan kebijakan agar berjalan efektif maka pihak-pihak uang bertangung jawab dalam pelaksanaan kebijakan harus memahami dengan baik apa yang harus dilakukan. Petunjuk atau perintah untuk implementasi kebijakan harus diteruskan kepada personil yang tepat dan jelas, akurat, dan konsisten. Perintah harus jelas menerangkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Berbagai petunjuk dalam pelaksanaan kebijakan tidak boleh kontradiktif agar pelaksana mudah untuk mengikutinya.

            Proses penerapan kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh kejelasan dengan standard dan tujuan dicantumkan dan dikomunikasikan kepada para pelaksana (implementers) secara konsisten dan akurat (accuracy and consistency). Maka dapat disimpulkan komunikasi kebijakan mencakup dimensi:

  1. Dimensi transformasi (transmission), mengandung pengertian bahwa sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suat perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Namun ada beberapa hambatran yang timbul dalam mentranmisikan perintah-perintah implementasi, antara lain pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang telah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, informasi melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi, serta persepsi yang selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Beberapa saluran komunikasi dalam organisasi menurut Kasim (Wiryanto, 2008: 62-65) pada komunikasi formal dapat diidentifikasikan menjadi tiga yaitu:
  2. Komunikasi ke bawah

Komunikasi ini adalah komunikasi yang berasal dari pimpinan menegah kepada manajemen tingkat rendah dan terus kepada para bawahan. Fungsinya adalah member pengarahan, instruksi, indoktrinisasi, evaluasi dan sebagainya. Makin rendah tingkat hirarki makin rinci perintah atau instruksi yang dikomunikasikan.

Disamping mengkomunikasikan perintah, komunikasi ke bawah juga berkaitan dengan informasi tentang tujuan organisasi, kebijakan, peraturan, insentif, manfaat, hak-hak khusus, umpan balik dari atasan atas hasil pelaksanaan tugas bawahan dan sebagainya. Media yang dipakai untuk komunikasi meliputi rapat, telepon, memo dan pertemuan tatap muka. Selain itu juga dapat digunakan bulletin, poster, papan pengumuman dan sebagainya.

  1. Komunikasi ke atas

Komunikasi ke atas adalah komunikasi yang berasal dari bawahan dan ditujukan kepada atasan, biasanya bergerak menurut garis hirarki dalam organisasi. Fungsinya untuk mengetahui kegiatan-kegiatan para bawahan termasuk keputusan yang akan dibuat dan bagaimana prestasi kerja (performans).

Bentuk komunikasi ini meliputi laporan pelaksanaan pekerjaan, saran-saran, rekomendasi, rencana anggaran, pendapat keluhan, permintaan bantuan dan sebagainya. Sementara media yang dipakai adalah rapat-rapat, laporan tertulis, memo, telepon, pertemuan langsung. Disamping itu dapat digunakan survey, pertemuan khusus antara pimpinan dengan pekerja, panitia khusus antara pimpinan dengan pekerja, panitia khusus, daftar pertanyaan, informan dan sebagianya.

  1. Komunikasi lateral

Komunikasi lateral terjadi antara orang-orang yang menduduki jabatan yang setingkat dalam struktur organisasi (komunikasi horizontal) dan antara orang-orang yang memduduki jabatan yang berbeda tingkatannya tetapi tidak ada hubungan komando ( komunikasi diagonal). Komunikasi ini terjadi secara teratur diantara para pekerja yang bekerja sama sebagai satu tim, antara anggota dari kelompok kerja yang mempunyai tugas saling tergantung, antara tenaga staf dan lini dan sebagainya. Pola komunikasi yang dipakai adalah pertemuan tatap muka, telepon, memo, order kerja, dan sebagainya.

Fungsi utamanya adalah koordinasi dan pemecahan masalah. Komunikasi hirarki karena komunikasi ini selalu langsung antara pejabat yang berangkutan.

  1. Dimensi kejelasan (clarity), artinya kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, melainkan juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Edwards III (dalam Subarsono, 2005:89) mengidentifikasi enam factor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu kompleksitas kebijakan public, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok masyarakat, kurangnya consensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan staf pembuatan kebijakan.
  2. Dimensi konsistensi (consistency), mengandung pengertian bahwa jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan mempunyai unsure kejelasan, tetapi apabila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi lain, perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana kegiatan mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.
  3. Sumber Daya ( Resources)

Petunjuk-petunjuk dalam melakukan implementasi mungkin telah ditranmisikan dengan jelas, akurat, dan konsisten, tetapi jika sumber daya yang dibutuhkan dalam implementasi kurang atau tidak tersedia maka implementasi kebijakan tidak akan efektif Edwards III (dalam Subarsono, 2005:90).

Sumber daya dalam implementasi kebijakan antara lain:

  1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber daya yang paling penting adalah sumber daya manusia, implementasi akan berjalan efektif jika jumlah sumber daya manusia yang tersedia cukup memadai dan memiliki ketrampilan/keahlian, pelatihan dan pendidikan sesuai dengan standar kualifikasi yang ditentukan.

Menurut Nawawi (2000: 10) ada tiga pengertian SDM yaitu:

  1. manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pegawai atau karyawan)
  2. potensi manusia sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya
  3. potensi yang merupakan asset dan berfungsi sebagai modal (non materian/non financial) di dalam organisasi bisnis yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan organisasi.

Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003: 9), sumber daya manusia adalah potensi manusiawi yang melekat keberadaanya pada seseorang yang meliputi fisik dan non fisik. Potensi fisik adalah kemampuan fisik yang terakumulasi pada seorang pegawai, sedangkan potensi non fisik adalah kemampuan seorang pegawai yang terakumulasi baik dari latar belakang pengetahuan, intelegensi, keahlian, ketrampilan, dan human relation.  Dari kedaua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia itu meliputi potensi yang ada pada diri seorang pegawai baik fisik maupun non fisik.. dengan demikian pelaksanaan suatu kebijakan/kegiatan sangat bergantung kepada potensi/kemampuan atau kualitas serta kuantitas pegawai yang ada dalam organisasi.

  1. Informasi

Informasi yang relevan dan cukup tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan dan kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal yang demikian ini dimaksudkan, agar para pelaksana kebijakan tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam menginterpretasikannya tentang bagaimana cara mengimplementasikan atau melaksanakan kebijakan tersebut. Disamping itu untuk menyadarkan orang-orang yang terlibat dalam implementasi agar mereka mau melaksanakan atau memenuhi apa yang menjadi tugas dan kewajibannya.

  1. Dana

Diperlukan untuk membiayai opersional implementasi kebijakan.

  1. Kewenangan

Diperlukan untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki. Pemberian wewenang disesuaikan dengan fungsi dan jabatan pelaksana.

  1. Fasilitas

Merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi: tanah, gedung, dan sarana yang kesemuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.

  1. Disposisi atau sikap (dispositions or attitudes)

   Edwards III (dalam Subarsono, 2005:91), disposisi berhubungan dengan kecenderungan/sikap dari pelaksana yang dipengaruhi oleh pandangan dan kepentingan kelompok atau individu dalam melaksanakan implementasi kebijakan. Pada kenyataanya implementor sering menggunakan kecenderungan tersebut dibanding mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kebijakan.

Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasanperilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnyasuatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003:101).

Azwar (2007:4), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti LouisThurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut

  1. Struktur birokrasi (bureaucration structure)

       Struktur birokrasi mencakup standard operating procedures (SOP) dan dimensi fragmentation. SOP berkembang sebaagai respon internal untuk mempermudah dan menyeragamkan tindakan sehinga lebih efisien. SOP perlu disesuaikan dengan perubahan yang ada sehingga tidak merintangi implementasi.

       Dimensi fragmentasi menegaskan bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan punya kesempatan yang besar, berita/instruksinya akan terganggu. Fragmentasi birokrasi akan membatasi kemampuan para pejabat puncak untuk mengkoordinasi semua sumber daya yang relevan dalam suatu yurisdiksi tertentu, akibatnya terjadi ketidakefisienan dan pemborosan  sumberdaya.

  • Model-Model Penerapan Kebijakan Publik
  • Model George C. Edwards III

            Edwards III dalam Subarsono (2005:90) mengatakan ada empat factor atau variable utama yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan yaitu: komunikasi (communication), sumber daya manusia (himan resources), disposisi atau sikap (disposition or attitudes), dan struktrur birokrasi (bureaucratic structure).

  1. Komunikasi

            Menurut Edwards III suatu penerapan kebijakan agar berjalan efektif maka pihak-pihak uang bertangung jawab dalam pelaksanaan kebijakan harus memahami dengan baik apa yang harus dilakukan. Petunjuk atau perintah untuk implementasi kebijakan harus diteruskan kepada personil yang tepat dan jelas, akurat, dan konsisten. Perintah harus jelas menerangkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Berbagai petunjuk dalam pelaksanaan kebijakan tidak boleh kontradiktif agar pelaksana mudah untuk mengikutinya.

            Proses penerapan kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh kejelasan dengan standard dan tujuan dicantumkan dan dikomunikasikan kepada para pelaksana (implementers) secara konsisten dan akurat (accuracy and consistency). Maka dapat disimpulkan komunikasi kebijakan mencakup dimensi:

  1. Dimensi transformasi (transmission), mengandung pengertian bahwa sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suat perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Namun ada beberapa hambatran yang timbul dalam mentranmisikan perintah-perintah implementasi, antara lain pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang telah dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, informasi melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi, serta persepsi yang selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Beberapa saluran komunikasi dalam organisasi menurut Kasim (Wiryanto, 2008: 62-65) pada komunikasi formal dapat diidentifikasikan menjadi tiga yaitu:
  2. Komunikasi ke bawah

Komunikasi ini adalah komunikasi yang berasal dari pimpinan menegah kepada manajemen tingkat rendah dan terus kepada para bawahan. Fungsinya adalah member pengarahan, instruksi, indoktrinisasi, evaluasi dan sebagainya. Makin rendah tingkat hirarki makin rinci perintah atau instruksi yang dikomunikasikan.

Disamping mengkomunikasikan perintah, komunikasi ke bawah juga berkaitan dengan informasi tentang tujuan organisasi, kebijakan, peraturan, insentif, manfaat, hak-hak khusus, umpan balik dari atasan atas hasil pelaksanaan tugas bawahan dan sebagainya. Media yang dipakai untuk komunikasi meliputi rapat, telepon, memo dan pertemuan tatap muka. Selain itu juga dapat digunakan bulletin, poster, papan pengumuman dan sebagainya.

  1. Komunikasi ke atas

Komunikasi ke atas adalah komunikasi yang berasal dari bawahan dan ditujukan kepada atasan, biasanya bergerak menurut garis hirarki dalam organisasi. Fungsinya untuk mengetahui kegiatan-kegiatan para bawahan termasuk keputusan yang akan dibuat dan bagaimana prestasi kerja (performans).

Bentuk komunikasi ini meliputi laporan pelaksanaan pekerjaan, saran-saran, rekomendasi, rencana anggaran, pendapat keluhan, permintaan bantuan dan sebagainya. Sementara media yang dipakai adalah rapat-rapat, laporan tertulis, memo, telepon, pertemuan langsung. Disamping itu dapat digunakan survey, pertemuan khusus antara pimpinan dengan pekerja, panitia khusus antara pimpinan dengan pekerja, panitia khusus, daftar pertanyaan, informan dan sebagianya.

  1. Komunikasi lateral

Komunikasi lateral terjadi antara orang-orang yang menduduki jabatan yang setingkat dalam struktur organisasi (komunikasi horizontal) dan antara orang-orang yang memduduki jabatan yang berbeda tingkatannya tetapi tidak ada hubungan komando ( komunikasi diagonal). Komunikasi ini terjadi secara teratur diantara para pekerja yang bekerja sama sebagai satu tim, antara anggota dari kelompok kerja yang mempunyai tugas saling tergantung, antara tenaga staf dan lini dan sebagainya. Pola komunikasi yang dipakai adalah pertemuan tatap muka, telepon, memo, order kerja, dan sebagainya.

Fungsi utamanya adalah koordinasi dan pemecahan masalah. Komunikasi hirarki karena komunikasi ini selalu langsung antara pejabat yang berangkutan.

  1. Dimensi kejelasan (clarity), artinya kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, melainkan juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Edwards III (dalam Subarsono, 2005:89) mengidentifikasi enam factor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu kompleksitas kebijakan public, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok masyarakat, kurangnya consensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan staf pembuatan kebijakan.
  2. Dimensi konsistensi (consistency), mengandung pengertian bahwa jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan mempunyai unsure kejelasan, tetapi apabila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi lain, perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana kegiatan mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.
  3. Sumber Daya ( Resources)

Petunjuk-petunjuk dalam melakukan implementasi mungkin telah ditranmisikan dengan jelas, akurat, dan konsisten, tetapi jika sumber daya yang dibutuhkan dalam implementasi kurang atau tidak tersedia maka implementasi kebijakan tidak akan efektif Edwards III (dalam Subarsono, 2005:90).

Sumber daya dalam implementasi kebijakan antara lain:

  1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber daya yang paling penting adalah sumber daya manusia, implementasi akan berjalan efektif jika jumlah sumber daya manusia yang tersedia cukup memadai dan memiliki ketrampilan/keahlian, pelatihan dan pendidikan sesuai dengan standar kualifikasi yang ditentukan.

Menurut Nawawi (2000: 10) ada tiga pengertian SDM yaitu:

  1. manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pegawai atau karyawan)
  2. potensi manusia sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya
  3. potensi yang merupakan asset dan berfungsi sebagai modal (non materian/non financial) di dalam organisasi bisnis yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan organisasi.

Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003: 9), sumber daya manusia adalah potensi manusiawi yang melekat keberadaanya pada seseorang yang meliputi fisik dan non fisik. Potensi fisik adalah kemampuan fisik yang terakumulasi pada seorang pegawai, sedangkan potensi non fisik adalah kemampuan seorang pegawai yang terakumulasi baik dari latar belakang pengetahuan, intelegensi, keahlian, ketrampilan, dan human relation.  Dari kedaua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia itu meliputi potensi yang ada pada diri seorang pegawai baik fisik maupun non fisik.. dengan demikian pelaksanaan suatu kebijakan/kegiatan sangat bergantung kepada potensi/kemampuan atau kualitas serta kuantitas pegawai yang ada dalam organisasi.

  1. Informasi

Informasi yang relevan dan cukup tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan dan kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal yang demikian ini dimaksudkan, agar para pelaksana kebijakan tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam menginterpretasikannya tentang bagaimana cara mengimplementasikan atau melaksanakan kebijakan tersebut. Disamping itu untuk menyadarkan orang-orang yang terlibat dalam implementasi agar mereka mau melaksanakan atau memenuhi apa yang menjadi tugas dan kewajibannya.

  1. Dana

Diperlukan untuk membiayai opersional implementasi kebijakan.

  1. Kewenangan

Diperlukan untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki. Pemberian wewenang disesuaikan dengan fungsi dan jabatan pelaksana.

  1. Fasilitas

Merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi: tanah, gedung, dan sarana yang kesemuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.

  1. Disposisi atau sikap (dispositions or attitudes)

   Edwards III (dalam Subarsono, 2005:91), disposisi berhubungan dengan kecenderungan/sikap dari pelaksana yang dipengaruhi oleh pandangan dan kepentingan kelompok atau individu dalam melaksanakan implementasi kebijakan. Pada kenyataanya implementor sering menggunakan kecenderungan tersebut dibanding mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kebijakan.

Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasanperilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnyasuatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003:101).

Azwar (2007:4), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti LouisThurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut

  1. Struktur birokrasi (bureaucration structure)

       Struktur birokrasi mencakup standard operating procedures (SOP) dan dimensi fragmentation. SOP berkembang sebaagai respon internal untuk mempermudah dan menyeragamkan tindakan sehinga lebih efisien. SOP perlu disesuaikan dengan perubahan yang ada sehingga tidak merintangi implementasi.

       Dimensi fragmentasi menegaskan bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan punya kesempatan yang besar, berita/instruksinya akan terganggu. Fragmentasi birokrasi akan membatasi kemampuan para pejabat puncak untuk mengkoordinasi semua sumber daya yang relevan dalam suatu yurisdiksi tertentu, akibatnya terjadi ketidakefisienan dan pemborosan  sumberdaya.

Tidak ada komentar: