Jumat, 24 April 2020

Pengambilan Keputusan Konsumsi Produk Suplemen Penstimulasi Stamina (skripsi dan tesis)


1. Penerimaan stimulus
Stimulus merupakan isyarat, baik yang bersifat sosial (dari teman, rekan
kerja, anggota keluarga atau orang lain yang tidak berhubungan dengan
produsen), komersial (disponsori sebuah perusahaan pedagang atau yang
berhubungan dengan produsen), maupun non-komersial (pemerintah atau
majalah konsumen) atau suatu alat pendorong yang bersifat fisik (rasa haus,
dingin, panas, lapar dan lain- lain) untuk memotivasi seseorang dalam
bertindak (Engel et al. 1998).
Kotler (2000) berpendapat bahwa, stimulus yang bertentangan dengan
harapan seringkali mendapat perhatian lebih besar bila dibandingkan dengan
yang sesuai harapan. Hal inilah yang dikatakan Sumarwan (2003) bahwa,
konsumen yang memperhatikan stimulus (suara yang keras, warna yang indah,
atau huruf yang besar) karena daya tarik dari stimulus tersebut, pada dasarnya
konsumen tersebut tidak sukarela (involuntarily attention). Oleh sebab itu,
produsen harus kreatif berkomunikasi dengan konsumen, agar apa yang
disampaikan memperoleh perhatian dan respon serius dari konsumen. Perilaku
konsumen untuk mengenal stimulus, mencari informasi tentang stimulus yang
dibutuhkan dan diikuti evaluasi alternatif berupa solusi penyelesaian dan tahap
keputusan pembelian, diakhiri dengan perilaku konsumen setelah membeli
dengan landasan kepuasan.
2. Tahap pencarian dan mengolah informasi
Menurut Engel et al. (1998) dan Kotler (2000), informasi dapat menjadi
stimulus dalam pengenalan dan pemahaman masalah, sehingga menjadi faktor
penting yang mempengaruhi proses penentu konsumsi. Pencarian informasi
(informasi search) dapat dilakukan ke dalam (pengalaman), atau ke luar
(melibatkan sumber-sumber komersial, non-komersial, maupun sosial) sesuai
dengan jumlah dan jenis informasi yang dicari. Engel et al. (1998)
menambahkan, pencarian informasi lebih lanjut perlu dilakukan, agar
pemakaian produk benar-benar dapat memecahkan masalah yang dihadapi.
Sumarwan (2003) mengungkapkan bahwa, puluhan atau ratusan
informasi yang didapat konsumen akan diolah dan akhirnya diputuskan untuk
membeli atau menolak berdasarkan persepsi yang terbentuk. Pengolahan
informasi diawali ketika salah satu pancaindera menerima input dalam bentuk
stimulus, baik berbentuk produk, bau, rasa, nama merek, kemasan, iklan dan
nama produsen yang dikemas dan ditampilkan dalam bentuk iklan, baik yang
ditayangkan di televisi, radio maupun spanduk.
Jika dalam ketidakpastian (informasi sama sekali belum lengkap) dan
konflik (dua atau lebih saling bertentangan dalam situasi kompetitif),
pengambilan keputusan akan berjalan sulit dan memiliki tingkat resiko yang
tinggi, namun pada prinsipnya keputusan yang diambil konsumen tidak
terlepas dari kondisi lingkungan (Sutisna, 2001), pengaruh konsumen sebagai
individu, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Assael, 1982).
Engel et al. (1998) mengutip pendapat McGuire menyatakan bahwa, ada
lima tahap pengolahan informasi (the information-processing model), yaitu
(1) pemaparan (exposure) stimulus, konsume n menyadari keberadaan stimulus
tersebut melalui pancaindera, (2) perhatian (attention), yakni kapasitas
pengolahan yang dialokasikan konsumen terhadap stimulus; (3) pemahaman
(comprehension), yaitu interpretasi terhadap makna stimulus; (4) penerimaan
(acceptance), yang berkaitan dengan dampak persuasif stimulus kepada
konsumen; (5) retensi (retention), yakni pengalihan makna stimulus dan
persuasi ke ingatan jangka panjang (long-term memory), sehingga
mempengaruhi stimulus baru (exposure, attention dan comprehension).
3. Pemahaman masalah
Perilaku konsumen pada prinsipnya untuk memahami ”why do
consumers do what they do” yang sangat menentukan dalam proses
pengambilan keputusan untuk membeli produk suplemen sebagai awal dari
pengenalan masalah, yaitu berupa desakan yang membangkitkan tindakan
untuk memenuhi dan memuaskan keinginan konsumen.
Menurut Kotler (2000) bahwa, stimulus yang kuat belum tentu
mempunyai pemecahan masalah bermanfaat. Hal ini menunjukkan tidak
semua stimulus mendapat tanggapan dari konsumen, hanya stimulus yang
telah teruji dan dapat memecahkan masalah yang akan dikonsumsi. Sementara
Mowen and Minor (1999) mengatakan bahwa, tahap ini merupakan pemberi
makna kepada stimulus, tergantung bagaimana stimulus diklasifikasikan dan
dielaborasi dalam kaitannya dengan pengetahuan konsumen.
Sumarwan (2003) mengemukakan bahwa, stimulus yang diterima
konsumen cenderung dikelompokkan menjadi satu kesatuan yang saling
berhubungan (perceptual organization atau stimulus organization) untuk
memperoleh makna menyeluruh (1) gambar dan latar belakang (figure and
ground), yakni obyek atau stimulus yang ditempatkan di latar belakang dari
tampilan iklan; (2) pengelompokan (grouping), yakni kemudahan untuk
mengingat informasi dalam bentuk kelompok dengan prinsip kedekatan
(proximity), karena dianggap memiliki hubungan yang erat, dan prinsip
kesamaan (similarity), karena kesamaan bentuk, nama, atau lainnya dan
prinsip kesinambungan (continuity), penyatuan obyek ke dalam satu kesatuan
tanpa terpisah-pisah; (3) closure, yakni konsumen dituntut untuk memahami
suatu objek dalam arti yang utuh walaupun ada bagian dari obyek yang hilang
atau tidak lengkap.
Evaluasi alternatif
Setiap alternatif harus dievaluasi (evaluation alternative) berdasarkan
suatu kriteria tertentu atau prioritas (Kotler, 2000). Kegiatan evaluasi berusaha
memisahkan antara alternatif yang dipertahankan (memenuhi syarat) dan yang
ditinggalkan (tidak memenuhi syarat), karena konsumen cenderung
mempertimbangkan satu atau lebih aspek-aspek, seperti aspek teknis,
ekonomis, gizi dan kesehatan (mutu dan kuantitas), sosial-budaya-agama, atau
kombinasi dari berbagai aspek tersebut (Peter and Olson, 2000).
Menurut Engel et al. (1998), kriteria yang digunakan konsumen selama
pengambilan keputusan akan bergantung pada beberapa faktor, yaitu pengaruh
situasi dan kesamaan alternatif pilihan, motivasi, keterlibatan dan pengetahuan.
Selain itu, (Nurismanto, 2000) evaluasi yang dilakukan konsumen terhadap
citra suatu produk dapat berupa penilaian merek, pelayanan, harga, mutu, toko
dan penilaian terhadap produsen secara keseluruhan.
Tingkat kerumitan proses evaluasi alternatif yang dilakukan konsumen
sangat tergantung kepada model pengambilan keputusan yang dijalani
konsumen. Jika pengambilan keputusan adalah kebiasaan, maka konsumen
hanya membentuk keinginan untuk membeli ulang produk yang sama seperti
yang telah dib eli sebelumnya. Apabila konsumen tidak memiliki pengetahuan
mengenai produk yang akan dibelinya, kemungkinan konsumen lebih
mengandalkan rekomendasi dari teman atau kerabatnya mengenai produk
yang akan dibelinya.
Menurut Mowen and Minor (1999), proses evaluasi alternatif akan
mengikuti pola apakah mengikuti model pengambilan keputusan (the
decision-making persepective), model eksperiental (the experiental
perspective), atau model perilaku (the behavioral perspective). Jika konsumen
berada dalam kondisi keterlibatan tinggi terhadap produk (high-involvement
dicision making), maka proses evaluasi alternatif akan melalui tahapan
pembentukan kepercayaan, pembentukan sikap, dan keinginan berperilaku
(behavioral intentions).
5. Tahap membeli
Pembelian produk suplemen yang dilakukan konsumen dapat
digolongkan ke dalam tiga jenis (Engel et al, 1998), yaitu (1) pembelian yang
terencana sepenuhnya, yakni konsumen telah menentukan pilihan produk dan
merek jauh sebelum pembelian dilakukan; (2) pembelian yang separoh
terencana, yakni keinginan konsumen untuk membeli suatu produk, namun
tidak mengetahui merek yang akan dibeli hingga dapat informasi yang
lengkap dari pramuniaga atau display di swalayan; (3) pembelian yang tidak
terencana, yakni keinginan untuk membeli sering muncul di toko atau mal.
Kotler (2000) mengatakan, pada tahap pembelian konsumen harus
mengambil tiga keputusan, yaitu apa yang dibeli, kapan membeli, dimana
membeli, siapa yang membeli dan bagaimana cara pembelian. Simamora
(2003) mengilustrasikan pembelian sebagai fungsi dari dua determinan (1) niat,
dikelompokkan atas (a) produk dan merek; (b) kelas produk. Niat pembelian
kategori satu disebut pembelian terencana sepenuhnya, karena seringkali
merupakan hasil dari keterlibatan tinggi dan pemecahan ma salah yang
diperluas. Engel et al. (1998) mengatakan, niat pembelian dapat dipandang
sebagai pembelian terencana, walaupun pilihan sering diputuskan ditempat
penjualan; (2) pengaruh lingkungan dan atau perbedaan individu.
Keputusan membeli berkaitan denga n kapan membeli, dimana membeli
dan bagaimana membayar yang ditentukan oleh mutu, merek produk. Apabila
membeli produk suplemen hanya sekedar satu proses yang bersifat low
involvement decision, maka untuk menjadi penggemar dan membeli merek
produk secara rutin, diperlukan proses habituation yang panjang.
6. Tahap perilaku setelah membeli dan konsumsi
Tahap ini menerangkan kilas balik atau tanggapan konsumen pada saat
dan setelah mengkonsumsi produk. Alternatif yang dipilih harus dievaluasi
terhadap pemenuhan kebutuhan dan harapan setelah menggunakan atau
mengkonsumsi, agar dihasilkan respon berupa keputusan menerima atau
menolak. Keputusan menerima produk suplemen setelah mengkonsumsi
disebabkan keinginan konsumen telah terpenuhi yang ditandai dengan
kepuasan. Sebaliknya, akan terjadi penolakan jika harapan konsumen tidak
sesuai atau bahkan menimbulkan masalah ketidak puasan.
Engel et al. (1998) mendefinisikan kepuasan dengan satisfaction is
defined here as a post-consumption evaluation that a chosen alternative at
least meets or exceeds expectations. Mowen and Minor (1999) mengartikan
kepuasan sebagai consumer satisfaction is defined as the overall attitude
consumers have toward a good or service after they have acquire and used it.
It is a postchoice evaluative judgement resulting from a specific purchase
selection and the experience of using/consuming it

Tidak ada komentar: